"Papa..."
Tio menoleh sekilas dan kembali menatap langit dengan bulan yang terlihat seperti pisang bertabur bintang yang gemerlap.
Malam ini memang terlihat gelap dan suram. Tapi ungkapan itu langsung Tio singkirkan jauh-jauh, karena sekarang ia memiliki permata yang harus di jaga agar tidak hilang meninggalkannya lalu menimbulkan rasa kehilangan.
Clara, permata yang di berikan oleh Liana sebagai pendamping masa tuanya. Sebagai pengganti karena telah di tinggalkan terlebih dahulu.
"Papa..." Tio menjawabnya dengan gumaman. "Papa kangen mama ya?" tanya Clara tepat sasaran.
Clara mengerakkan kepalanya yang berbantal lengan kokoh Tio, badannya mencari posisi nyaman karena mereka berdua tengah bebaring di sebuah tikar di taman seraya menatap langit malam.
"Paaa..." kesal Clara karena tak di respon sendari tadi.Tio menoleh kesamping menatap Clara yang sudah beranjak dewasa, tangannya terulur mengelus dengan sayang kepala Clara.
"Iyaa papa lagi kangen sama mama." jawabnya.
"Papa nggak mau nikah lagi?" mendengar itu Tio menarik tangannya yang tadi mengelus kepala Clara dan menatap langit kembali.
"Gimana papa mau nikah, orang tiap kali papa di godain cewek, ada betina lain yang marah." sindirnya.
Clara meringis menyadari bahwa betina yang di maksud Tio adalah dirinya. Clara sadar bahwa selama ini dia telah membatasi Tio. Bukannya tak mau Tio berbahagia dengan pengganti mamanya, tapi rasanya Clara enggan menerima kehadiran pengganti Liana.
Clara menghela napas. "Maafin Ara pa, kalo papa mau nikah lagi nggak papa kok. Ara tau papa perlu temen, papa juga perlu --"Ucapan Clara terputus kala Tio memotong perkataannya.
"Tidak. Papa tidak ingin menganti mama kamu yang begitu melekat di hati papa. Papa nggak perlu menikah dengan wanita lain selain mamamu, karena papa cuman cinta sama satu wanita. Dan itu, mama kamu. Tapi sekarang wanita itu sudah menunggu papa di surga, tapi papa nggak sedih karena sudah ada penggantinya. Itu kamu, Ara." ungkapnya penuh rasa kerinduan.
Clara mengeryit, mencoba memahami kalimat puitis penuh keriduan Tio. "Jadi, kalo penggantinya mama itu Ara, papa mau nikahin Ara?"
Tio mendelik dan menampar keningnya sendiri. "Salah apa papa punya anak kayak kamu, pikiran kamu dangkal banget sih!"
Setelah itu mereka tertawa, tawa bahagia penuh kerinduan pada sosok yang telah tiada.
Clara menatap Tio dari samping, memandamg wajah yang telah merawatnya, membesarkannya. Wajah yang telah berlinang keringat beribu tetes tanpa mengeluh.
Rasanya begitu banyak yang Tio berikan padanya namun balasan yang ia berikan tak seperti pemberiannya. Clara sering bermain kala Tio pulang, Clara sering membuat Tio merasa kesal, bahkan Clara baru menyadari satu hal.
Waktu yang ia habiskan dengan Tio tak lagi seperti dulu, waktu yang harusnya ia lewati bersama papanya ia gunakan untuk bermain dengan teman-temannya.
Disaat papanya pulang bisa-bisanya dirinya meninggalkan Tio bersenang-senang. Seharusnya ia memberikan waktu khusus untuk bersama papanya, ia lungkan waktu untuk berinteraksi dengan papanya, bukan untuk apa melainkan guna memberi kasih yang terjeda beberapa hari. Meleburkan lelah dan rindu untuk papanya.
"Maafin Ara ya pa. Pas papa pulang, Ara malah main. Padahal, papa kan juga perlu Ara." ungkapnya menyesal.
"Iyaa papa maafkan. Lagi pula, kamu seperti itu papa juga bisa maklum. Kamu remaja, masa mudamu bukan hanya untuk menemani papa, kamu juga perlu menghabiskan waktumu dengan yang lain."
Clara tersenyum sayang pada Tio dan memeluknya dari samping. "Ara sayanggggg banget sama papa."
"Papa juga."
Hening beberapa saat hingga Tio mengeluarkan suara. Tio menatap langit, pikirannya terlintas dengan ucapan Clara beberapa waktu lalu.
"Tina masih sering kejar kamu?" tanya Tio membuat Clara yang terpejam langsung membelalak dan duduk menatap Tio.
"Kok tiba-tiba papa ngomongin Tina?!" tanyanya balik dengan terkejut.
Tio menempatkan lengan kanannya menutupi mata. "Tina itu teman mamamu."
"HEH?!" Rasanya Clara tak percaya, mamanya? Punya teman seperti Tina? Oh ralat, temannya Tina?
Clara tertawa garing. "Papa kalo bercanda gak lucu banget sih.""Papa nggak bercanda, Tina memang teman mamamu."
"Seriusan?!" Tio mengangguk dan kembali membuka matanya, menatap langit. Menyelam dalam menuju ingatan masa lalu.
"Tina itu gila, karena dia punya rasa menyesal yang sangat tidak bisa dia lupakan pada mama kamu." Clara memilih diam, menyimak penjelasan Tio.
"Dulu, Tina itu sering main kesini. Dia dulu sering membawa anaknya kesini, Arifa, dan kamu sering bermain bersama."
"Anaknya? Arifa?" Tio mengangguk,membuat Clara melongo.
"Kamu ingat, perempuan yang dulu menolong kamu, menemani kamu, saat papa sama mama tinggalin kamu di rumah sendirian? Saat kamu kekunci di rumah?"
Clara seaakan tersentak pada masa itu, masa kedua orangtuanya lupa dan meninggalkan dirinya sendiri dirumah untuk membeli barang. "Kakak yang temenin aku itu?" lagi-lagi Tio mengangguk. "Itu anak Tina."
Clara tak lagi mengeluarkan suaranya, rasanya takjub sekaligus tak percaya. Dan tiba-tiba kejadian dimana Tina yang berubah cantik di tarik oleh seorang perempuan kala membantunya melawan preman yang menyerang Aneta, jadi itu kakak yang sering menemaninya dulu?
"Tapi, kenapa papa bilang Tina punya penyesalan yang nggak bisa beliau lupakan?"
"Saat itu, Liana sedang main di rumah Tina. Dan kebetulan saat itu mereka berdua tengah membuat kue bersama. Tina bilang Arifa minta padanya untuk menjemput ke sekolah. Tapi Tina sangat sibuk dengan adonannya. Tina meminta tolong pada mama kamu, dan mama kamu lah yang menjemput Arifa."
Tapi ternyata di jalan pulang, mama kamu mengalami kecelakaan." Tio menghirup napas dalam-dalam, suaranya mendadak parau membuat Clara meraih tangan Tio dan menggenggamnya erat.
"Mama kamu menyelamatkan Arifa, dengan memeluk Arifa saat sebuah truk menghantam mobil yang mamamu kendarai. Dan saat Arifa mengalami koma serta mama kamu meninggal, Tina stress, dia depresi hingga dia sampai berlutut pada papa untuk meminta maaf."
"Waktu itu papa merasa marah, tapi setelah melihat kamu tersenyum dan ikhlas menerima fakta bahwa mama kamu meninggal, papa jadi tidak kuasa untuk tidak memaafkan Tina."
"Tina itu bukan menganggu kamu, dia hanya berusaha melindungi kamu. Tina memang sudah tidak separah dulu, dimana kamu mengatakan bahwa dia gila. Dia sekarang hanya depresi, dan Arifa menjaganya. Karena suami Tina melarikan diri ketika mengetahui Tina di diagnosa gila sama dokter."
Clara tau sekarang mengapa Tina selalu mengejarnya. Mengapa Tina selalu mengikutinya. Tina hanya merasa menyesal telah membuatnya kehilangan sosok ibu, ya, Tina tidak mengganggunya. Dia salah menilai Tina.
"Papa datang saat mendengar Tina akan bunuh diri, papa datang saat Tina hendak menyayat tangannya. Itu karena Arifa datang, meminta papa untuk menghampirinya. Dan benar saja, saat itu Tina hampir saja menyayat nadinya. Jika papa tak datang tepat waktu, mungkin Tina tak lagi bisa melihat Arifa dan menyusul mama kamu.""Papa menjelaskan pada Tina, bahwa itu bukan salahnya. Beruntung, Tina langsung tidak punya niat kembali untuk bunuh diri dan merawat Arifa, anaknya."
Rasanya Clara begitu menyesal. "Papa, Ara boleh ke rumah Tina? Sekalian mau minta maaf, sama balikin keadaan kayak dulu." Clara menunduk. "Meskipun hanya sedikit." lirihnya.
Tio duduk dan menghadap Clara, tangannya terulur untuk menyentuh kepala anaknya itu dengan sayang.
"Pasti, papa bolehin kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCLA (Monochrome)
Ficção AdolescenteAKAN DI REVISI BERTAHAP JADI HARAP MAKLUM ATAS BEBERAPA TYPO ATAUPUN KATA YANG KURANG TEPAT. MAKLUM CERITA PERDANA YANG MASIH BANYAK KEKURANGAN 🙃 ❌ WARNING! CERITA INI BANYAK PARTNYA TAPI NGGAK PANJANG-PANJANG KOK! RESIKO BACA CERITA INI KALIAN BAK...