Kini Clara tengah bersiap untuk pergi ke sekolah. Berada di depan cermin dan tersenyum manis membuatnya menjadi lebih percaya diri.
Ketukan pintu terdengar membuat Clara terpaksa menyudahi pujiannya pada dirinya sendiri untuk membukakan pintu kamarnya yang kebetulan ia kunci.
Alasannya sederhana. Ia tak mau Tio mengerjainya ketika mandi. Seperti tempo hari, Tio mengambil handuk serta mematikan air rumah saat Clara tengah keramas. Dan saat itu Clara akan membilas rambutnya tapi airnya mati.
Bisa kalian bayangkan seberapa kesal Clara saat itu.
Ternyata di balik pintu itu ada bi Ijah yang kini tengah membawa nampan berisi susu hangat. Biasanya jam tujuh begini, Clara minta diantar susu coklat hangat karena enak saja rasanya.
Clara menyahut cepat nampan berisikan segelas susu itu dan langsung menaruhnya di meja kecil dekat ranjangnya. Bi Ijah sempat takut gelas itu akan jatuh, tapi syukurlah dugaannya salah.
Clara langsung mengandeng kedua tangan bi Ijah, mengajaknya berdansa, menari bahkan hingga ia memutar tubuh bi Ijah membuat beliau sedikit pening.
Setelah selesai bersenang ria, Clara memeluk bi Ijah. Bi Ijah hanya tersenyum, Clara sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri, ia tidak dapat memiliki momongan dengan mang Asep, mungkin masih belom rejekinya memiliki momongan. Lagi pula, Tuhan telah menggantikan harapan itu dengan kemunculan Clara.
Clara sudah sangat cukup untuk menghiburnya layaknya anak.
"Bi' Ijahhhhh... Aaaa!!! Clara jadi deg-degan Bi!" Bi Ijah mengernyit mengapa majikannya ini mendadak girang?
"Bi' tanya dong kenapa." kesal, Clara kesal jika lawan bicaranya hanya muter-muter dan tidak peka.
"Kenapa non?" terpaksa bi Ijah bertanya karena kalau tidak, bisa runyam nanti kalau terus Clara merengek-rengek.
"Gajadi deh," katanya sampai-sampai mengundang decakan sebal dari bi Ijah.
"Tapi bi ini darurat banget. Bibi kudu kongkalikong sama Clara, please bi', untuk hari ini aja. Clara mohon bi', Clara hari ini benar-benar akan menghadapi situasi sulit bi'. Clara harus berpura-pura--"
"Dosa, non." potong bi Ijah cepat.
Clara terdiam, memang ih. Tapi ini demi mewujudkan semuanya.
"Jangan bilang papa kalo Ara mau bolos sekolah ya, bi?"
"Loh kenapa mau bolos, non?"
Clara menempelkan telunjuknya pada bibir bi Ijah karena bi Ijah sedikit memekik saat bertanya, takut terdengar oleh papanya.
"Ara mau beli beberapa buku sama barang bi, Ara pengen refresing juga sig sebenernya."
Bi Ijah mengangguk mengerti. "Oke non." putusnya. "Tapi nom Ara harus bawa bekal yang bibi siapin, jangan makan sembarangan dan--"
"Deal!" potong Clara cepat.
***
Clara menapakkan kaki di depan sebuah mesin timezone. Ia lekas memasukkan koin yang ia miliki sesuai dengan ketentuan dan mukai menggerakkannya pengait mesin tersebut untuk mendapatkan boneka. Setelah kesal tidak mendapatkan boneka satu pun, Clara memilih mencari permainan lain.
Satu jam berlalu dan ia merasa bosan, koin yang berada di sakunya mungkin masih ada 50 keping. Tapi ia sudah lelah, perutnya pun sudah lapar.
Clara memutuskan rehat sejenak dan mencari food court. Sayangnya, food court dalam keadaan ramai dan padat sehingga Clara memutuskan untuk kembali ke timezone.
Binar wajah terukir spontan saat kursi dekat salah satu mesin timezone baru saja kosong karena yang duduk sebelumnya pergi. Dengan sisa tenaganya Clara bergegas duduk disana.
BUG.
Clara berhasil mendaratkan pantatnya namun bersamaan itu ia juga menabrak seseorang yang teryata juga ingin duduk di kursi ini.
BRUFFF.
Roti yang semulanya memenuhi mulut Clara langsung memyembur wajah orang yang duduk di sebelahnya. Orang itu kontak n memejamkan matanya dan terpaksa menerima kejorokan Clara.
Clara terbatuk-batuk dan berusaha mengambil minuman di tasnya. Roti yang bi Ijah bawakan dan ia makan rasanya berhenti di kerongkongan dan menghambat pernapasannya.
Tangan Clara tidak bisa membuka penutup minuman yang tiba-tiba saja terasa susah dibuka. Clara menyodorkan dengan panik botol minuman di tangannya pada orang di sebelah duduknya.
Orang itu terpaksa membantu Clara membuka penutup botol dan Clara lekas menyahutnya, meneguk minuman tersebut dengan rakus.
"Huffttt..." seru Clara lega, menghapus jejak air di sudut bibirnya. "Hampir aja mati konyol kesedak roti."
Sedetik kemudian Clara lekas mencekal pergelangan tangan Arfa yang beranjak dari duduknya. Ya, orang yang bersamaan duduk dikursi ini adalah Arfa. Kebetulan yang sangat menguntungkan.
"Makasih, tapi jangan pergi dong."
Arfa menghempaskan tangan Clara dan kembali berjalan. Niatnya ingin menghibur diri dengan membolos malah bertemu biang keladi di ketenangan hidupnya di sekolah. Benar-benar sial.
BRAKKK.
Suara itu berhasil menyita perhatian Arfa, ia menoleh ke belakang dan melihat Clara jatuh dengan isi kotak bekal berceceran di lantai. Bahkan ia bisa melihat luka lecet yang perempuan itu dapatkan hasil dari tergores mesin timezone yang ternyata berbentuk lancip.
Dengan santai Arfa berjalan ke arah Clara. Entah mengapa ia tergerak untuk membantu perempuan yang mengusik ketenangannya di sekolah. Mungkin hati nuraninya sedang upnormal.
Setelah membereskan kekacauan yang ada kini dua orang itu duduk di tempat yang sama seperti tadi. Hanya diam sambil mengamati beberapa orang yang asik bermain dengan mesin-mesin timezone yang ada.
Clara melirik Arfa, ia memandang Arfa dari samping. Lelaki ini terlihat tengah fokus mengamati seseorang yang bermain timezone.
Tiba-tiba terbesit ide untuk membuat Arfa menjadi teman belajarnya.
"Taruhan yok!"
Arfa menoleh, mengangkat satu alisnya.
Clara memgeluakan 50 keping koin timezone dadi sakunya. Ia meletakkan kepingan koin tersebut di antara duduk. Clara membagi dua jumlah koin tersebut.
"Taruhan dengan 25 koin ini."
"Gak minat."
"Cihh, bilang aja nggak berani, payah!"
Mendengar itu Arfa lantaa tersinggung dan menatap tajam Clara.
"Ouuu calm down Arfa. Clara cuman pengen taruhan aja, kok."
"Oke gue terima."
Yak! Berhasil!
"Tapi kalo gue menang, lo harus pindah sekolah," balas Arfa.
Tentu saja hal itu membuat Clara mendelik lebar, dia saja belum genap sebulan jadi murid baru, lahhh malah di suruh pindah.
"Kalo Arfa menang, Clara janji bakalan menjauh sejauh-jauhnya dari daerah kekuasaan Arfa di sekolah, tapi bukan berarti Clara pindah sekolah. Clara janji bakalan berhenti gangguin Arfa. Kita kembali seperti tidak saling mengenal."
"Emang sekarang gue kenal lo?"
Sabarrrr....
"Gimana?"
Arfa terlihat menimang tawaran Clara.
"Oke."
Clara tersenyum lebar, "Tapi kalo Clara menang, Arfa harus mau jadi temen Clara sekaligus mau ajarin Clara beberapa pelajaran kelas 11 ini. Deal?"
"Deal!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCLA (Monochrome)
Teen FictionAKAN DI REVISI BERTAHAP JADI HARAP MAKLUM ATAS BEBERAPA TYPO ATAUPUN KATA YANG KURANG TEPAT. MAKLUM CERITA PERDANA YANG MASIH BANYAK KEKURANGAN 🙃 ❌ WARNING! CERITA INI BANYAK PARTNYA TAPI NGGAK PANJANG-PANJANG KOK! RESIKO BACA CERITA INI KALIAN BAK...