Hiruk pikuk kota Jakarta rasanya sudah tak asing lagi. Sekarang sudah menginjak sore hari, dimana persiapan untuk prom night nanti semakin mepet.
Semua panitia sibuk dengan pekerjaannya, semua penampil sibuk dengan make up dan segalanya.
Begitu pula Clara, yang kini sedang menahan napas karena wajahnya tengah di sapu oleh sebuah kuas blush on. Berulang kali yang mendandani Clara harus menarik napas sabar. Pasalnya, yang di dandani berulang kali bersin.
"Hachiii...!" Clara merengek, "Sudah donggg, Clara udah nggak tahan lagi di dandanin." lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
Saat orang yang mendadani Clara hendak menjawab, sebuah seruan melengking membuat ucapannya tertahan.
"Eikeeee!!!"
Terlihat Sela dan Hanis tengah berlari menghampiri Clara.
"Sudah, biar saya yang dandani saja mas." kata Sela halus, takut mas yang agak eike itu marah.
Penata rias Clara itu menyibakkan rambut gondrongnya dengan elegan. "Maaf sebelumnya, panggil saya Mily saja."
Mendengar dan melihat itu lantas membuat Clara memasang wajah seakan mau muntah sambil memeletkan lidahnya.
"Yang bener itu sissy!"
Penata rias itu menenggok Clara yang berada di belakang tubuh Hanis. "Apa sis?"
Clara menggeser tubuh Hanis sehingga dia berhadapan dengan penata riasnya itu. "Sissy!"
"Artinya?" Clara tersenyum dan berdiri lalu meneliti penampilan mas-mas eikee itu. "Sis kan untuk cewek, nah kalo sissy itu untuk kamu. Yang cantik dan elegan."
Penata rias itu langsung merekahkan senyumnya lebar-lebar dan memukul bahu Clara dengan kemayu. "Ah bisa aja kamu sis, yaudah sissy mau kesana dulu ya." Pamitnya.
Clara mengangguk sambil menahan gelak, hingga penata rias itu menjauh langsung saja Clara terpingkal-pingkal membuat Hanis dan Sela menatap penuh heran.
Clara memukul-mukul meja karena begitu semangat tertawa sampai-sampai sudut matanya mengeluarkan cairan bening.
"Ra, lo kenapa sih?" tanya Sela membuat Clara mencoba mengurangi rasa gelinya.
Bukannya menjawab Clara malah balik bertanya. "Lo.. L-lo tau! Artinya sissy?" Sela menggeleng.Hanis menatap keduanya dengan keryitan di dahi. "Emang artinya sebegitu ngaruh ya? Sampe ngebuat lo ngakak gini?"
Clara yang sudah bisa mengendalikan tawanya mengusap sudut matanya dan mengatur napasnya.
"Jelaslah!" serunya. "Sissy itu artinya banci, nahh si abang tadi seneng banget di panggil banci."
Hanis dan Sela saling pandang, rasanya biasa saja setelah mendengar hal itu dari mulut Clara. Jadi apa lucunya?
Hanis dan Sela mengangguk, mungkin selera humor Clara terlalu rendah.***
Semuanya berkumpul di belakang panggung. Acara sudah di mulai sejak sepuluh menit yang lalu. Mc pun sudah membuka acara, dengan berbagai sambutan mulai dari sambutan kepala sekolah, ketua osis, ataupun lainnya.
Acara itu sangat meriah dan menyenangkan, rasanya begitu membuat hati benar-benar bahagia.
Namun, hal itu tak tak membuat hati Clara merasakan kebahagiaan yang di nanti-nanti.Hatinya serasa di remas dan di pukuli melihat kejadian tadi. Kejadian dimana dia memergoki Aneta dan Arfa berduaan. Saling berpelukan.
Clara menatap pantulan dirinya di kaca.
Rasanya begitu miris kisahnya. Pertama kali suka, pertamaka kali luka.
Apakah mencintai itu rasanya seperti ini?
Benar kata orang, cinta pertama itu banyak yang mengartikan hanya cinta monyet. Dan itu terjadi padanya, pada dirinya sendiri yang kini hanya bisa merenung, mengingat dan meratapi kisah yang sudah terlihat akhirnya.
Sepertinya keputusannya untuk ke Jerman sudah benar. Dai tidak akan menolak lagi ajakan tantenya yang disana, ya, demi melihat Arfa dan Aneta bahagia. Lagi pula Arfa juga terlihat menjauhinya, menciptakan jarak yang membuat dirinya dan Arfa tak bisa lagi seperti dahulu.
"Ra!" Clara terkesiap dan langsung menoleh pada Lilis.
"Ayo!" Clara menaikkan satu alisnya. "Ayo kemana?" tanyanya.
Lilis mendengus. "Waktunya kita tampil, noh, mc dari tadi teriakin kita tapi kita baru nyadar, kalo lo masih mejeng disini. Udah jangan banyak cincong. Ayok!"
Keduanya naik ke panggung, Clara melihat Arfa dan Aneta hingga yang di tatap balik membalasnya menatatap. Keduanya tersenyum membuat Clara semakin yakin bahwa mereka berdua akan bahagia, tanpanya.
Mata Clara memandang semua orang yang duduk di depan panggung. Menatap satu persatu gurunya, temannya, serta lainnya. Seakan-akan setelah ini ia tidak bisa melihat mereka lagi.
Pandangannya jatuh pada Tara yang melambaikan tangannya serta mengangkat kameranya. Clara mengangguk kala Tara menunjuk kamera yang di bawa, sebagai tanda Clara harus melihat kamera yang akan merekamnya itu.
Oke! Sekarang waktunya bersenang-senang bukan untuk bersedih! Sekarang anggap saja mereka berdua seperti lainnya. Penonton yang tak ada arti mendalam di dalam hati.
Musik dimaninkan dan tarian di tampilkan. Clara senantiasa menatap kamera yang Tara gunakan untuk menyorotnya.
Disisi lain tiba-tiba Tio datang dan berdiri di sebelah Tara, membuat Clara semakin tersenyum lebar, ia tau papanya itu bahagia. Karena semenjak Liana, mamanya itu meninggal. Clara meninggalkan dunia musik, karena jika harus di musik ia akan teringat mamanya, dan penyesalannya.
*NAH ITU TUH DI ATAS TUH, PENAMPILAN CLARA BAWAIN LAGU KOREA HASIL KEPUTUSAN TIGA CECENGUK WAKTU NEVA MENGUNDURKAN DIRI. *
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCLA (Monochrome)
Teen FictionAKAN DI REVISI BERTAHAP JADI HARAP MAKLUM ATAS BEBERAPA TYPO ATAUPUN KATA YANG KURANG TEPAT. MAKLUM CERITA PERDANA YANG MASIH BANYAK KEKURANGAN 🙃 ❌ WARNING! CERITA INI BANYAK PARTNYA TAPI NGGAK PANJANG-PANJANG KOK! RESIKO BACA CERITA INI KALIAN BAK...