Mereka bertiga segera beranjak ke tempat duduknya. Mereka sengaja mengabaikan rasa kesal atas tingkah orang tersebut sebelumnya, terutama Lidya. Gadis itu tengah mengumpat di dalam hati.
"Lo, kenapa lo yang ada di sini?" tanya Gino saat duduk di sebelah Devan. Devan memandang Gino dengan tatapan merendahkan.
"Iya, gue Rayn Devanartha," jawab Devan dengan segera, ia tengah berbangga hati.
"Gue ga nanya nama lo, gue cuma mendadak heran atas kehadiran lo," ketus Gino saat mendengar jawaban Devan atas keheranannya.
"Itu berguna bagi lo, harusnya lo senang duduk sama gue. Secara gue itu kan pinter sedangkan lo itu males jadi kemalesan lo bakal ketutup dengan adanya gue di sini," ujar Devan berbangga hati. Lidya hanya menatap Devan sesekali dengan sinis, lelaki itu pandai memuji dirinya sendiri.
"Terserah lo!" Gino memasang ekspresi datar, memandangi Pak Andi yang tengah menjelaskan beberapa pelajaran hari ini.
"Untung aja ya gue yang pindah, kalo misalnya gue yang duduk dengan nih orang, gawat banget!" cetus Alif sembari bergidik ngeri menatap bahu Devan.
"Lo bisa diem, ga? Kalian itu ganggu konsentrasi belajar gue," ketus Devan saat mendengar ucapan Alif.
"Bilang aja kalo lo ga mau dighibahin, kan? Ya dimana-mana orang tuh emang ga mau duduk sama lo," ujar Gino menyetujui ucapan Alif.
"Diem lo! Tambah berisik!" bentak Devan kian meninggi, selama ini ia tidak pernah bertemu dengan makhluk seperti mereka.
"Lo ga mau berisik? Sunyi senyap? Ayem adem? Gih sana ke perpustakaan. Di sana ada larangan 'Dilarang berisik', dan sayangnya ini kelas bukan perpustakaan," balas Alif dengan tetap memandangi Pak Andi yang sedang menerangkan pelajaran. Matanya lebih malas kala menatap Devan, siswa tersongong.
"Tutup ga mulut lo!" amuk Devan dengan gencar. Intonasi suaranya kian menambah, mereka benar-benar tengah menguji kesabarannya.
"Yeh, gimana mau ditutup? Gue punya mulut ya gunanya untuk berbicara, bicara ya pasti dibuka tuh mulut. Kalo mingkem aja entar dikira orang bisu. Gue juga punya hak buat bicara, lo ga belajar? Kasihan," cerca Alif dengan argumennya yang tidak bisa diganggu gugat.
"Kalian tuh bisa diem, ga?!" teriak Devan dengan menghiraukan Pak Andi yang sedang mengajar di depan kelas.
"Devan! Alif! Gino! Sudah puas ngobrolnya? Kalian ga setuju kalo Bapak mengajar di sini? Kalo kalian ga bisa diem, Bapak aja yang duduk dan kalian bertiga mengajar di sini!" Pak Andi murka karena aksi mereka yang tidak pernah Pak Andi harapkan, ia mengelus dada dan berusaha membuka pintu maaf sebesar-besarnya, itupun jika ia bisa.
*****
Bel istirahat telah berbunyi, perang dengan kebodohan dihentikan kala waktu istirahat dimulai, perang akan dilanjutkan beberapa saat lagi. Para siswa berbondong-bondong ke kantin, mengisi energi mereka dengan makanan yang diharapkan dapat membuat mereka mudah untuk berpikir.
"Ayo kita ke kantin!" ajak Alif seraya membereskan buku-bukunya yang masih acak-acakan. Buku itu kian berserakan di atas mejanya.
"Ayo!" angguk Devan menyetujui ajakan Alif.
"Siapa yang ngajakin lo?" ketus Gino seraya menatap sinis ke arah Devan
"Sekali ini aja, lagian gue baru pertama kali masuk di sekolah ini. Gimana kalo gue kesasar?" ujar Devan penuh harap.
"Yaudah gak masalah, lo boleh ikut," setuju Alif mengangguk seraya tersenyum miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]
Teen FictionHigh rank: #1 Fiksiremaja (24-6-19) Book-1 Lidya Vanessa, seorang gadis yang memiliki masa sekolah penuh dengan warna. Di setiap harinya ia jalani dengan keterlambatan, masalah, dan mencatat rekor sebagai siswi dengan masalah terbanyak di sekolah te...