5

5.5K 244 1
                                    

Devan beranjak pergi dari kelasnya sekaligus mencari sopir dan mobilnya. Ia menemukan mobil mewah yang telah terparkir, mobil itu siap meluncur ke luar gerbang dan melesat jauh ke rumahnya.

Devan langsung membuka pintu mobil, kehadirannya disambut hangat oleh sopirnya, Mang Dono.

"Gimana sekolahnya, Den?" tanya Mang Dono ramah seraya menyalakan mesin mobilnya. Ia telah terbiasa memanggil Devan dengan sebutan Raden.

"Buruk, Mang," jawab Devan dengan wajah lemas seraya menyenderkan punggungnya di kursi. Ia menghempaskan napasnya dengan dalam.

"Kenapa, Den? Harusnya hari pertama sekolah tuh menyenangkan karena bisa ketemu temen baru," ucap Mang Dono dengan penasaran, ia berusaha mendengar apa yang telah terjadi.

Mobil Devan telah berjalan dengan sangat lancar dari gerbang sekolah menuju rumahnya menuju Kompleks Perumahan Elite Air Intan.

"Ya, kalo seneng sih seneng aja punya temen baru. Devan juga banyak mendapatkan pujian," jawab Devan menghela nafasnya. Ia sengaja menghentikan kalimatnya

"Lah itu seneng, kok tadi bilangnya buruk, Den?" tanya Mang Dono lagi. Mang Dono adalah sopir Devan semenjak Devan kecil, karena itulah mereka terlihat akrab. Lagipun Devan tidak terlalu mempedulikan latar belakang ekonomi seseorang apabila orang tersebut dapat mengakrabkan diri dengan baik kepadanya.

"Ya gimana ga buruk, Mang? Awal pagi tadi Devan udah ketemu cewek aneh banget," ujar Devan seraya menggeleng kepalanya mengingat kejadian pagi tadi.

"Cewek aneh yang gimana, Den?" tanya Mang Dono penuh selidik.

"Tuh cewek aneh banget, masa sekolah aja telat mulu? Gimana masa depannya? Pasti suram. Dinasehatin malah ga terima," ujar Devan berkeluh kesah.

"Den Devan ga boleh gitu, mungkin dia nya banyak kerjaan di rumahnya. Bukannya kita tidak boleh menuduh orang sembarangan, kan?" nasehat Mang Dono mendengar pernyataan Devan.

"Mungkin bener yang Mang Dono bilang, tapi lebih anehnya lagi tuh cewek berantem sama temen kelas Devan. Bayangin aja mang, tuh cewek berani bener nyari masalah di sekolah. Mang Dono tau sendiri kan kalo SMA Bakti Nusa tuh sekolah dengan Akreditasi terbaik di kota ini.l," jelas Devan dengan penuh penekanan pada kata terbaik.

"Iya, Den. Mang Dono tau itu. Tapi siapa cewek aneh itu sampai ganggu pikiran Den Devan gini?" tanya Mang Dono dengan gaya seorang penyelidik.

"Namanya Lidya, Lidya Vanessa. Soal dia anak siapa Devan belum tau dan enggak mau tau. Devan yakin kalo orang tuanya nggak bangga dengan hidup tuh cewek yang nggak ada prestasinya, ulangan bahasa inggris aja dapet sepuluh," jelas Devan sembari menepuk jidatnya.

"Lah besar kalo sepuluh, Mang Dono dulu kalo dapet nilai 10 senangnya bukan kepalang, sampe loncat-loncat di depan rumah," sanggah Mang Dono dengan senyum kagum, ia membayangkan masa lalunya dan keindahan masa kecilnya.

"Aduh bukan itu, Mang. Maksud Devan sepuluh tuh sama kek nilai satu, Mang. Di mana nyenenginnya?" jelas Devan seraya menepuk jidatnya dan menggelangkan kepalanya.

"Oh satu toh, Mang Dono kirain sepuluh itu setara dengan seratus. Itu cewek kayak nya istimewa bagi aden? Den Devan nggak pernah cerita tentang cewek loh ke Mang Dono, sampai kehidupannya aja Den Devan pikirin," goda Mang Dono seraya terkekeh geli.

"Ih iya ya, kok Devan jadi gini? Udahlah Mang lupain aja lagian kita dah sampe," ujar Devan seraya melepaskan sabuk pengamannya.

"Eh tunggu, Den. Mang Dono aja yang buka pintu mobilnya. Entar kalo Papa lihat Den Devan buka pintu sendiri, Mang Dono bakal kena marah," cegah Mang Dono menghentikan gerakan tangan Devan untuk membuka pintu mobilnya.

"Iya, Mang. Maaf kelupaan," jawab Devan seraya tersenyum singkat lalu mengurungkan niatnya. Ia tetap menunggu sopirnya, bukan memanjakan diri tapi ada suatu aturan yang aneh tertancap kuat di tengah keluarganya.

Mang Dono turun dari mobil lalu membuka pintu bagi anak majikannya, Rayn Devanartha.

Rayn Devanartha seorang anak tunggal dari pengusaha yang mempunyai usaha meningkat di berbagai kota, sekaligus siswa berprestasi di sekolah yang pernah dijadikannya sebagai tempat menuntut ilmu.

Dia memasuki rumahnya yang berada di Kompleks Perumahan Elite Air Intan yang mengandung segala jenis rumah bak istana dan rumah Devan adalah salah satunya.

"Assalamu'alaikum Pa," salam Devan seraya membuka pintu rumahnya.

"Wa'alaikumussalam. Eh, anak mama udah pulang," sambut wanita yang kurang lebih berusia 40 tahun dengan wajah yang masih terlihat muda.

"Iya, Ma. Devan udah pulang. Mama kapan pulang dari Jerman? Kok mama nggak ngabarin Devan?" tanya Devan seraya duduk bersantai di sofa miliknya.

"Baru dua jam yang lalu, Mang Dono yang tadi jemput Mama di Bandara. Maaf ya Devan, Mama nggak ngabarin kamu terlebih dahulu soalnya mama tadi tergesa-gesa, kesehatan tantemu udah membaik lagipula pamanmu juga udah datang," jelas mamanya Devan.

"Oh gitu Ma. Papa mana, Ma?" tanya Devan dengan mata menulusuri setiap penjuru rumahnya.

"Papamu lagi ngurusin perusahaan barunya di area dekat perumahan ini. Kamu mau makan?" tanya Mamanya Devan, Tania.

"Enggak, Ma. Devan mau istirahat aja lagipula Devan sudah makan di sekolah," jawab Devan seraya berdiri dari posisi duduknya.

"Selamat istirahat anakku," ujar Tania sembari mengembangkan senyumnya seakan tengah mengantar anaknya.

"Iya, Ma," angguk Devan seraya melangkahkan kakinya menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Dia mengangkat tas punggungnya dengan lemas, pikirannya tidak bisa diajak berkompromi. Otaknya melemaskan sendinya.

"Baru aja sehari gue ketemu dengan tuh cewek, gue udah kayak ketiban sial gini," batin Devan

Pikirannya saat ini sedang terganggu dengan Lidya, gadis itu sangat berani berbicara dengannya. Gadis yang mempunyai banyak masalah itu telah mengganggu pikiran Devan. Salah satu cara untuk menenangkan pikirannya kali ini adalah berdiam diri di kamar, lalu tertidur.

Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang