73

2.7K 177 19
                                    

Lidya berusaha keluar dari tempat itu. Matanya terbuka gelisah mengecam pada dirinya ia berusaha tersadar dan membuka mata.

Air matanya mengalir walaupun tetap tertutup, rasa sedih menusuk tajam dalam hatinya.

"Shut..." seseorang mengusap ke puncak kepala Lidya, membuat Lidya semakin menyadari jika itu adalah mimpi buruk yang datang.

"Gak mungkin jadi nyata!" Ia terbangun, rasa sakit di kepalanya semakin membangkit dengan semena-mena. Kepalanya sangat terasa pusing.

Ia tidak mau menegakkan kepalanya, ia masih tidak menerima kenyataan yang akan ia lihat. Air matanya membasahi pinggiran tempat tidur Zhiro.

Sebuah tangan dingin menyentuhnya, membelai sedikit rambutnya. "Mimpi buruk?"

Lidya menoleh langsung mengamati pemilik suara tersebut, keyakinannya ternyata benar. Itu hanya mimpi dan mimpi.

"Lo masih hidup kan? Ini gak mimpi kan?" tanya Lidya memastikan, tangisnya pecah. Rasa sedih bercampur bahagia menjadi satu yang tidak bisa diungkapkan lewat sebuah ungkapan kata.

"Berhentilah menangis, lo seakan bunuh gue secara perlahan," ujar Zhiro menenangkan Lidya.

"Gue tadi mimpi lo pergi," isak Lidya mengeluh dalam tangis.

"Itu hanya mimpi, gue masih ada di sini. Gue masih dikasih kesempatan buat hidup di dunia dan nemenin lo. Ayolah jangan nangis," pinta Zhiro sembari menghapus titik air mata di pipi Lidya.

"Gue takut lo pergi," timpal Lidya memperjelas.

"Ga ada yang perlu lo takutin. Lo juga kenapa ada di sini? bukannya lo ada kamar sendiri," heran Zhiro dengan menaikkan satu alisnya menatap Lidya meminta jawaban.

"Gue khawatir sama kondisi lo, terlebih lagi dengan kondisi lo sesudah gue ga sadarkan diri lagi." Lidya masih saja menatap Zhiro, benar-benar memastikan jika dia tidak dalam khayalannya.

"Liat tuh, infus aja sampe numpang gitu. Sampe segitunya ngekhawatirin gue," kekeh Zhiro sambil tetap memandangi Lidya. Ia tidak menyukai kondisi ini, saat ia terlihat lemah di depan Lidya.

"Gimana kabar lo? Semakin membaik?" tanya Lidya sambil menegapkan tubuhnya, menahan rasa sakit di kepalanya. Kepalanya kini terasa teramat berat, seakan ada tambahan beban batu berkilo-kilo.

"Seperti yang lo liat, jauh lebih baik diawali dengan ngeliat lo di penglihatan pertama gue. Gimana dengan lo? Masih betah di rumah sakit?" tanya Zhiro menyelidik. Bukannya Lidya yang merasakan ketidaknyamanan, tetapi ia sendiri.

Lidya menggeleng singkat. "Gak betah, gak enak aroma obat semua."

"Ya namanya rumah sakit pasti aromanya aroma obat. Gak mungkin aroma minyak wangi. Kalo gitu kita rawat di rumah aja ya?" tanya Zhiro menunggu jawaban.

"Lah kondisi lo? Gak, gue gak mau. Gue gak mau keadaan lo tambah buruk karena gue," cegah Lidya segera.

"Gak. Keputusan udah di tangan gue, kita pulang dan gak bisa diganggu gugat." Zhiro meraih handphonenya yang berada di atas meja dekat segelas air untuknya.

"Mama sama Papa gimana?" tanya Lidya sembari memikirkan alasan yang tepat.

"Mereka udah pulang dari awal, gue yang minta. Kondisi mereka udah membaik dan ga diwajibkan lagi buat dirawat, tapi mereka masih bersikukuh untuk jaga gue. Dan satu-satunya jalan adalah itu," ujar Zhiro menghentikan aktivitasnya menscroll layar hpnya.

Zhiro menemukan sesuatu di layar handphonenya, menekannya dan menelepon seseorang. "Halo Cakra? Lo udah selesain urusan kepulangan gue? Kalo udah segera ke kamar gue."

Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang