Lidya membuka matanya perlahan, terasa sangat berat dengan rasa sakit di kepala yang semakin mencekam. Ia mengirup udaranya lagi, tidak sama dengan bau udara tempat ia memejamkan matanya dan tidak sadarkan diri.
Ia berhasil membuka matanya, berperang dengan rasa sakit. Ia menyusuri pandangannya ke arah sekitarnya, sebuah ruangan dengan cat putih di mana-mana.
Ia menggerakkan lehernya, menyusuri dengan jelas tempat ia berada kali ini. Ia melihat seseorang dengan senantiasa tertidur di sampingnya. Wajahnya teramat lelah, seakan Lidya merasakan apa yang ia rasakan. Wajahnya sedikit pucat, ia mengelus puncak kepala wanita itu. Wanita itu adalah sahabatnya, Revi Nadha Bhamakerti.
Ia melihat sekilas ke ruangan lagi, mengamati dengan cermat dan menyimpulkan jika dia telah berada di Rumah Sakit dengan tangannya yang telah terpasang infus.
"Ayolah gue ga lemah," gumam Lidya sembari mencoba untuk duduk.
Ia berhasil. Dengan perlahan ia meraih infus dan memegangnya kuat. Pelan-pelan ia menyelinap ke luar ruangan, mencari sahabatnya dan memastikan keadaan mereka. Ia membuka pintu kamarnya perlahan, agar ia tidak membangunkan wanita yang telah menjaganya.
Ia kian merambat dengan menopangkan tubuhnya dengan dinding rumah sakit. Lorongnya sangat sepi, ia melewati beberapa kamar, ia melihat mama angkatnya yang menjaga Ghany. Mereka sama-sama terlelap, Lidya tidak tega untuk masuk dan mengganggu mereka. Ia melewatkannya.
Lidya sekilas mendengar suara Damar yang bergumam dengan suara kecil, namun seketika suaranya menghilang. Lidya melirik ke arah kaca transparan pada pintu masuk suatu kamar, ia melihat Cakra sedang bergerak dengan bimbang.
Ia menyebrang antara lorong. Sekilas ia melihat ke arah jam dinding, pukul 4 pagi. Ia membuka pintu perlahan.
"Zhiro, lo harus bangun," gumam Cakra gelisah sambil membelakangi pintu masuk.
"Gimana kabar Zhiro?" tanya Lidya menguatkan suaranya agar terdengar di telinga Cakra. Ia cepat masuk ke dalam kamar dan menyenderkan punggungnya ke pintu. Rasa lelah menerpanya.
Cakra tersontak kaget dengan suara wanita tersebut, ia langsung berbalik arah dengan ekspresi yang sangat cemas dan memegang pundak Lidya.
"Lo kenapa disini?" tanya Cakra tidak habis pikir.
Sekilas senyum pucat tersurat di bibir Lidya, matanya terlihat sedikit menenangkan. "Gue gak apa-apa. Zhiro?"
Lidya tak lepas memandangi lelaki yang kini tengah berbaring di hadapannya, ia menguatkan kakinya lagi hendak menggapai tempat tidur Zhiro.
"Dia ga sadarkan diri dari tadi," jawab Cakra sambil membantu Lidya bergerak dan duduk di samping Zhiro.
"Kenapa gue bisa ada disini?" tanya Lidya sambil memandangi Cakra hendak meminta jawaban atas pertanyaannya.
"Gue kira tadi malem terakhir gue," kekeh Lidya terdengar teramat pahit.
"Semuanya begitu cepat terjadi. Lo pingsan, mereka ingin merajamkan pisau ke arah lo. Sontak, gue berdiri meninggalkan Zhiro sendiri dan menangkis pisau tersebut menjauhkan pemiliknya dari lo. Gue lupa kalo mereka berdua, dan gue baru berhasil ngalihin perhatian satu orang. Satu yang lainnya mengambil samurai hendak misahin kepala lo dengan badan lo, sekitar 10 senti lagi samurai itu memotong leher lo. Zhiro mencengkeram kaki lelaki tersebut hingga ia terjatuh dan samurainya terpental jauh langsung diamankan Damar. Lelaki itu mengamuk dan memukul kepala Zhiro hingga ia berdarah. Tepat saat kalian berdua ga sadar, polisi dateng ke lapangan itu dan mengamankan mereka. Sayang, mereka berdua berhasil lolos dan Arman sekarang tengah mengejar mereka. Liat perban itu! " ujar Cakra sambil menunjuk ke arah perban yang melingkari kepala Zhiro. Air mata Lidya tidak terbendung. Kakinya kian melemas, sendinya terasa sakit menjalar.
"Semua ini gara-gara gue," ujar Lidya melirih menatap lelaki itu yang kini terlelap.
"Ini semua bukan gegara lo. Lo yang bantu kami, kalo dari awal lo gak peka dengan anak panah itu pasti kita gak bakal tau jejak Zhiro dan yang lain. Kalo lo ga nerobos pepohonan itu pasti kita udah terjebak dan mati konyol di lapangan itu. Semua baik-baik aja, terutama lo. Untung aja lo gak apa-apa. Kalo sampe lo kenapa-kenapa, gue gak bakal tau cara ngasih tau ke Zhiro. Gue bakal nganter lo ke kamar lo, lo mesti istirahat di sana," tawar Cakra sambil menawarkan tangannya di hadapan Lidya. Lidya menggeleng singkat.
"Gue mau tetep ada disini," bantah Lidya dengan lekas.
"Tapi kondisi lo... "
"Lo harus istirahat Cakra, Lo udah jagain Zhiro," ujar Lidya memotong ucapan Cakra.
"Tapi, kesehatan lo jauh lebih penting," kilah Cakra. Lidya tersenyum dan kemudian menggeleng.
"Gue cuma mau istirahat disini, gue bakal istirahat disini. Dan lo juga mesti istirahat, gue gak mau lo kenapa-kenapa," ujar Lidya. Cakra tidak bisa membantah lebih jauh dia menghela nafas dan mengangguk setuju.
"Baiklah. Ini hp lo, kalo lo butuh apa-apa telpon gue, gue bakal balik ke sini." Cakra memberikan hp Lidya ke pemiliknya, ia berbalik arah membuka pintu dan meninggalkan Zhiro dan Lidya berdua.
Lidya menggantungkan infusnya ke tiang yang sama tempat berada infus Zhiro. Ia kini memandang lelaki itu lagi. Ia memandangnya lekat, dengan tatapan penuh rasa yang teramat berbeda.
"Andai gue bisa ngerasain rasa sakit yang lo rasain. Andai bisa gue pindahin rasa sakit lo ke gue, biar gue aja yang ngerasain semuanya dan biarin gue yang tertidur dan terlelap disini. Ayolah Zhiro! Bangun dan sadarlah dari tidur lo!" tangis Lidya meledak, terdengar sangat mengharukan bagi siapa aja yang mendengarnya.
Tangan Lidya menggenggam tangan Zhiro yang kini terbuka dan teramat pucat. Lidya mengamati tangannya, sebuah perban putih menggulung secara diagonal, menutupi luka yang ia buat ketika menahan bilahan pisau mengarah ke arah lelaki itu. Namun luka itu sekarang terasa sia-sia.
Tangan Lidya meraih wajah Zhiro. "Lekaslah sadar."
Lidya melelapkan matanya, rasa kantuknya dan sakit di kepalanya kian menjalar dan tidak terelakkan. Ia tertidur dengan tangan yang senantiasa menggenggam tangan Zhiro.
Lidya mengerjapkan matanya, sebuah taman yang indah. Ia sedang duduk di tengah taman itu tanpa infus dan bau obat rumah sakit.
"Di mana gue?" heran Lidya sembari mengamati sekitarnya.
"Di mana Zhiro?" Lidya langsung berdiri, ia tidak merasakan rasa sakit apapun. Tubuhnya terasa teramat ringan.
"Lo nyari gue?" tanya Zhiro yang berada di belakang Lidya.
"Lo udah sehat? Gimana bisa? Ah! Kita di mana sekarang?" tanya Lidya terlihat teramat riang dengan kehadiran lelaki yang teramat ia cemaskan.
"Udah dong. Kan ada lo. Kita lagi di suatu tempat sekarang, karena gue mau ngomong sesuatu sama lo," ujar Zhiro sembari menarik Lidya duduk di sampingnya.
"Ngomong apaan? Serius amat dah," gumam Lidya seakan merutuki bahasa yang Zhiro gunakan.
"Gue mau pamit sama lo, gue mau pergi," ujar Zhiro. Suasana tiba-tiba menjadi sendu, air mata Lidya tiba-tiba menggenang dan meloloskan air matanya.
"Pergi? Ke mana?" tanya Lidya sembari menjernihkan pikirannya, pikirannya kacau.
"Ke sesuatu tempat yang jauh. Lo juga harus pergi! Karena gue juga pergi. Gak mungkin kan lo disini sendirian," ujar Zhiro masih tiada beban diucapannya.
"Lo tega ninggalin gue?" tanya Lidya terisak.
"Gue terpaksa Lid. Mohon agar lo ngerti," ujar Zhiro sambil mengelus pipi Lidya dengan lembut.
"Tapi Zhiro …"
"Udah Lid. Waktu gue udah habis, ini sangat indah di waktu terakhir gue sebelum kepergian gue. Gue bisa lihat lo disini," ujar Zhiro sambil melangkah bebas menjauhi Lidya sembari melambaikan tangannya.
"Zhiro!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]
Teen FictionHigh rank: #1 Fiksiremaja (24-6-19) Book-1 Lidya Vanessa, seorang gadis yang memiliki masa sekolah penuh dengan warna. Di setiap harinya ia jalani dengan keterlambatan, masalah, dan mencatat rekor sebagai siswi dengan masalah terbanyak di sekolah te...