23

3.6K 166 0
                                    

Lidya teramat terkejut ketika yang berdebat dengannya sedari tadi adalah seorang laki-laki yang menurutnya pemalas dan sok pintar, Devan.

"Lo?" tanya Lidya dengan wajah yang menurut Devan aneh. Devan terkekeh puas.

"Lucu juga ya muka lo malem ini, kusut," kekeh Devan berusaha menahan tawanya. Lidya langsung membelalakkan mata mendengar ucapan Devan yang terang-terangan.

"Lo yang kusut!" tegas Lidya kesal membalikkan ucapan Devan lalu kembali duduk dan meredam emosinya yang semula naik karena niat ribut sama Mas yang nyatanya adalah Mas sok pintar yang selalu ia temukan di sekolah.

"Mau apa lo ke sini?" tanya Lidya dengan tatapan tajam dan sadis ke arah Devan. Devan masih saja terkekeh karena sikap Lidya.

"Gue mau ngapelin lo," jawab Devan dengan percaya diri.

"Ngapelin? Lo kira gue tukang buah apa?" heran Lidya sambil meletakkan kepalanya di atas meja kembali.

"Elah lo, gue tuh lagi pengen ngeromantisin lo. Lo tuh cewek pertama yang gue deketin, gue bilang cantik, trus gue apelin trus apalagi ya, banyak deh. Jadi harusnya lo tuh seneng," ujar Devan terang-terangan. Lidya mengangkat kepalanya lalu menatap Devan dengan wajah datar.

"Terus gue peduli? Nggak! Mau gue pertama, terakhir, tengah-tengah gue ga peduli," jawab Lidya ketus. Lidya mengalihkan pandangannya ke jalan raya yang masih tampak ramai walaupun jam telah menunjukkan pukul 20.00.

"Jalan yuk," ajak Devan berhasil membuat Lidya menatapnya.

"Ogah," jawab Lidya singkat dengan penuh penekanan.

"Kenapa ?" heran Devan. Selama ini banyak cewek yang mengajaknya jalan-jalan namun Devan yang selalu menolak mereka, kini saat Devan pertama kali mengajak seorang cewek untuk jalan-jalan, ia mengalami penolakan. Apakah ini sebuah Karma?

"Capek," jawab Lidya singkat

"Kan naik mobil," ujar Devan memperjelas.

"Oh naik mobil kirain jalan kaki," jawab Lidya cengar- cengir membuat Devan ingin sekali mencubit pipinya yang diperkirakan terbuat dari Formalin.

"Ayo" ajak Devan lagi.

"Nggak, gue belum mandi sore," ujar Lidya dengan wajah yang sengaja dibuatnya agar terlihat lelah.

"Apa hubungannya?" tanya Devan mencoba mengerti hubungan jalan sama mandi sore.

"Ya entar pas kitanya jalan-jalan, lo malu. Lo ga liat nih muka kusam banget dah kek lap dapur," jelas Lidya lalu menunjuk wajahnya sendiri.

"Kenapa harus malu? Kalo ada yang nanyain siapa lo ke gue, gue jawab aja pembantu gue. Selesai, kan?" tanya Devan sambil terkekeh melihat wajah Lidya yang bersungut-sungut mendengar ucapannya.

"Jahat lo!" ketus Lidya

"Ayo jalan-jalan" rengek Devan yang langsung membuat Lidya bergidik ngeri melihat tingkah Devan yang teramat berbeda 180 derajat.

"Nggak, buang-buang waktu enakan gue nungguin pembeli  beli nih makanan terus gue bisa tutup nih toko," tolak Lidya lagi.

"Kalo ga laku?" tanya Devan menyelidik.

"Ya lo jangan doain ga laku, jahat lo," kesal Lidya dengan ucapan Devan.

"Gue borong semua, tapi lo harus jalan sama gue," ujar Devan dengan senyum bangga.

"Lo curang," sindir Lidya memasang ekspresi kesal walaupun dalam hati senang, makanan yang ia jajah hari ini tiada bersisa.

"Ya daripada lo duduk ga ada kerjaan, mending gue borong nih makanan terus lo ikut gue jalan-jalan," ujar Devan sambil tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya.

"Ya udah gue terpaksa. Makasih," ujar Lidya sambil bergerak malas membungkus makanan-makanan itu untuk Devan.

"Nih," ujar Devan sambil memberikan uang yang baru saja dia ambil dari dompetnya lalu mengambil bungkusan makanan tersebut.

"Habis lo makanan sebanyak itu?" tanya Lidya terheran.

"Ya nggak lah, kan bisa gue bagi. Ayo!" ajak Devan sambil menarik tangan Lidya mengikutinya.

"Lo serius ngajak gue gini?" tanya Lidya sambil menahan langkah Devan mengajak pergi dirinya.

Devan memandangi Lidya dari atas. Lidya dengan rambut yang diikat sehingga rambutnya tidak terlalu panjang, baju kaos putih, Celana jeans biru, dan sandal jepit warna kuning.

"Yakin. Ayo lah!" ajak Devan lagi lalu menarik tangan Lidya lagi tanpa persetujuan pemilik tangan.

"Bentar, gue mau ngunciin nih ruko dulu, bisa habis barang diambil maling," henti Lidya sambil melepaskan genggaman tangan Devan. Devan hanya terdiam menunggu Lidya mengunci pintu ruko. Setelah selesai Devan langsung menarik tangan Lidya menuju mobilnya.

"Kenapa sih lo kayaknya ngefans banget dengan tangan gue?" tanya Lidya heran dengan perasaan yang risih.

"Iya gue ngefans banget," jawab Devan sambil membalas pintu mobil untuk Lidya. "Masuk gih," perintah Devan yang mau tidak mau dituruti oleh Lidya.

Lidya dan Devan telah berada di dalam mobil. "Mau ke mana kita?" tanya Devan mengawali

"Ya kan lo yang ngajak gue, lo harusnya yang berinisiatif nentuin ke mana kita pergi. Kalo lo ga ada inisiatif gue mau turun aja," jawab Lidya dengan nada bicara yang malas

"Eh nggak. Kita ke taman," ujar Devan tanpa berbasa-basi langsung menancapkan gas ke arah taman yang tidak jauh dari RM. Pelita.

"Kenapa lo ngajak gue?" tanya Lidya yang masih tidak percaya dengan sikap Devan kali ini.

"Karena lo istimewa," jawab Devan Sambil mencubit pipi Lidya, Lidya hanya mendengus kesal.

Setelah beberapa menit Lidya dan Devan akhirnya sampai di Taman. "Ayo kita duduk di bangku taman yang ngehadap Air mancur itu," ajak Devan sambil menunjuk air mancur. Lidya akhirnya melihat bangku tersebut.

"Ayo," ujar Lidya membalas ajakan Devan. Devan langsung menggenggam tangan Lidya. Lidya merasakan perbedaan pada genggaman tangan Devan kali ini, rasa yang berbeda.

Devan tidak menggenggam tangan Lidya untuk menariknya secara paksa, tetapi genggamannya kali ini membuat mereka berjalan sejajar. Rasa yang berbeda kini dirasakan oleh Lidya yang tidak pernah ia rasakan selama ini.

Jantungnya berdetak lebih cepat dan dia tidak mampu untuk melepaskan genggaman itu. Apakah ini yang disebut dengan cinta? Hal yang tak pernah mereka rasakan selama ini.

Lidya dan Devan duduk bersebelahan di bangku taman itu. Semuanya menjadi hening, Lidya membisu.

"Lidya," panggil Devan lirih. Lantas pemilik nama pun langsung menoleh.

"Ada apa?" tanyanya berusaha menstabilkan detak jantungnya.

"Gue boleh jujur sama Lo?" tanya Devan hati-hati.

"Boleh aja, ada apa?" tanya Lidya yang semakin heran dengan sikap Devan akhir akhir ini setelah dia membantunya membersihkan kelas waktu itu.

"Gue suka sama lo"

Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang