Seketika tatapan Lidya terpancar ke Devan, mencoba mencari celah kebohongannya, namun tidak ada. Semua yang terlihat adalah ketulusan dan hanya ketulusan.
"Lo ga harus nerima, kok" ujar Devan melihat tatapan Lidya kini seperti berbeda. Jantung Devan kali ini berdegup teramat kencang, terlintas di pikirannya apakah yang dia lakukan baru saja akan membuat jaraknya dengan wanita yang telah mengetuk pintu hatinya akan semakin membentang.
Lidya mengalihkan pandangannya ke air mancur yang semula berada di hadapan mereka. Tatapannya teramat fokus menatap rintikan air mancur itu seakan tatapannya membuat gumpalan air itu akan pecah.
Jantung Lidya berdetak lebih kencang, apa yang ia rasakan kali ini belum pernah sama sekali ia rasakan. Bukan kekesalan yang selalu menyelimuti hatinya, tetapi perasaan yang teramat berbeda. Apakah ini yang dinamakan Cinta?
Lidya berusaha mencari sebuah balasan untuk perasaannya sendiri, mencoba menelusuri hatinya, lalu mencari nama siapa yang tersimpan di dalamnya. Lidya tertunduk lemas.
"Gue gak bisa jawab," balas Lidya dengan tidak memandangi mata Devan. Raut wajah Devan semakin kecewa.
"Kenapa? Bagas?" tanya Devan menduga. Dia menatap Lidya dengan khidmat namun Lidya tidak membalas tatapan mata Devan ia hanya tertunduk.
"Nggak." Lidya menggelengkan kepalanya ia masih tetap saja mencari siapakah yang ada di hatinya, namun hatinya masih tetap kosong.
Devan menghela nafas berat, harusnya dia tidak menyatakan cintanya kepada Lidya. "Setidaknya beri gue satu alasan," pinta Devan.
"Hati gue belum ada siapapun, apalagi lo. Gue gak bisa nerima lo saat gue tau gue gak punya perasaan sama lo," jelas Lidya.
"Kalo gue berusaha buat lo cinta sama gue? Lo bakal bisa mencintai gue?" tanta Devan sambil mengumpulkan semangatnya yang tadinya bercerai berai.
"Mungkin saja" gumam Lidya membuat mata Devan langsung berbinar-binar.
"Baiklah, gue bakal berusaha buat lo mencintai gue," balas Devan sambil melemparkan senyum ke arah Lidya, Lidya pun membalasnya.
"Lo ngajak gue keluar cuma buat ini? Buat apa" tanya Lidya menduga sambil memasang wajah datarnya.
"Biar ada kesan romantis, Kalo gue bilang hal ini di rumah makan yang ada lo ngusir gue secara langsung," balas Devan sambil cengar - cengir.
"Van, gue mau pulang," ujar Lidya sambil memaksa melihat arloji yang terpasang di pergelangan tangan kiri Devan. Saat ini telah pukul 21.46
"Kan udah malem gini," timpal Lidya seketika telah melihat waktu yang tertera di Arloji tersebut.
"Nggak malem kok, tuh masih rame." Devan dengan tiada rasa bersalah menunjuk keramaian berusaha membuktikan jika ini belum malam.
"Devan ini udah malem banget bagi gue. Besok jam 4 pagi gue mau pergi belanja di pasar? Lo mau gue bangun kesiangan? Lo mau tanggung jawab kalo gaji gue dipotong habis karena ajakan lo ini?" tanya Lidya dengan cepat.
"Ya udah kalo lo mau pulang, pulang aja sana," usir Devan sambil memasang wajah tidak peduli membuat Lidya hanya bisa berekspresi datar. Lidya langsung beranjak berdiri untuk berjalan walaupun jarak yang ia tempuh sangatlah jauh, 20 Km.
"Mau ke mana?" tanya Devan sambil menangkap tangan Lidya guna menahannya.
"Mau pulang," ketus Lidya.
"Sendiri?" tanya Devan menggoda
"Iya, lo ga usah ngulur waktu gue mau pulang!" jawab Lidya ketus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]
Ficção AdolescenteHigh rank: #1 Fiksiremaja (24-6-19) Book-1 Lidya Vanessa, seorang gadis yang memiliki masa sekolah penuh dengan warna. Di setiap harinya ia jalani dengan keterlambatan, masalah, dan mencatat rekor sebagai siswi dengan masalah terbanyak di sekolah te...