60

3.4K 232 35
                                    

Zhiro menuruni tangga dengan segera, menuju dapur. Ia melihat ke arah arlojinya 00.15 dan gadis yang berada di dalam kamarnya belum makan. Ia mengambilkan sesuatu teruntuk gadis itu.

Dia melirik ke arah sisi yang lain, melihat ke arah Claudia yang tengah diinterogasi oleh Farah dan Ghany, orang tuanya. Dia tengah sendirian di depan kedua orang tuanya tanpa Bu Marni. Zhiro tidak tertarik tentang apa saja yang mereka katakan, ia lebih tertarik untuk kembali ke kamarnya.

Ia menuju dapur, ia mencari makanan yang Lidya suka. Namun hasilnya nihil, dia teringat jika dia lupa memesan sesuatu kepada Bu Marni sebelum ia memasak untuk makan malam. Ia membawa beberapa helai roti, mungkin cukup untuk ia dan Lidya berdua serta segelas susu. Dia kembali menaiki tangga.

Matanya melirik lagi ke arah orang yang berada di ruang keluarganya. Terlihat dari raut wajah Farah sangat kesal dan Ghany sedang meredam amarahnya sendiri. Memang, kedua orang tuanya adalah orang yang ramah dan baik. Namun jangan mengetes murkanya mereka, karena Zhiro yang tau siapa mereka. Siapapun yang mengusik kehidupan mereka, akan sengsara. Mereka tak segan memanfaatkan kekuasaan mereka, jika mereka mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan, anggap saja hadiah karena telah mengusik mereka.

Bu Marni datang tergesa-gesa dari kamarnya, terlihat dari raut wajahnya ia sangat murka. Ia menghadapkan wajah Claudia di depan wajahnya, menatapnya dengan tatapan penuh amarah. Ia menampar keras anaknya, semua tersentak kaget termasuk Zhiro.

Semua bercampur dalam hati Zhiro, emosi dan iba. Emosi bahwa gadis di pandangannya telah berani berbuat di luar batas, dan iba terhadap Bu Marni yang memiliki anak seperti itu. Ia tau perjuangan Bu Marni untuk anaknya, namun apa balasannya? Hanya mereka yang tau.

Claudia memegangi pipinya, matanya bergenang air mata. "Apa salah Claudia?! Hingga kalian menghakimi Claudia seperti ini?!"

"Ibu susah payah besarin kamu bukan untuk jadi orang yang suka melukai orang lain ataupun pembunuh! Bu Farah yang nyekolahin kamu! Tapi dimana terima kasihmu?!" bentak Bu Marni, air mata kecewa mengalir deras di pipinya.

"Dan dengan beraninya kau mengecewakan ibu dengan mencoba menghabisi Lidya?! Hanya karena kau menyukai Zhiro, dan kau iri pada Lidya. Kau lupa dia itu siapa?" timpal Bu Marni sambil mengelap butir-butir air matanya.

"Apa bedanya aku dengan dia?! Dia cuma cewek yang asal usulnya gak jelas sama sekali lalu dateng kesini dan dia sangat diistimewakan," bela Claudia terhadap dirinya.

"Lo berharap bisa sama dengan Lidya? Sayangnya Lidya bukan lo. Apa masalah lo kalo gue bawa Lidya kesini? Mama sama Papa juga ga terlalu mempersalahkan, siapa lo yang berani ikut campur kehidupan gue?" Zhiro mengurungkan niatnya, rasa kesalnya datang tanpa ia minta. Ia meletakkan piring dan gelas yang ia bawa.

"Karena gue pengen lo perhatian sama gue? Emang gue cuma anak pembantu lo, tapi gue pengen temenan sama lo!" balas Claudia dengan nada tinggi terhadap lelaki idamannya yang kini tengah berdiri tepat di hadapannya.

"Temenan? Lo inget gak lo dibawa kesini pas kapan? Pas lo mau masuk TK dan gue sama lo se-TK. Lo lupa kita pernah temenan, dan saat gue liat lo terlalu egois, gue ga mau temenan sama lo. Bener, lo sangat egois. Mentingin diri lo sendiri," ucapan Zhiro tenang namun mendalam. Amarah terlihat jelas di air mukanya, Claudia merasakan aura yang sangat dingin.

"Baiklah. Kamu telah selesai berbicara dengan anakku? Maaf Bu, saya tidak ingin menerima resiko seperti ini lagi. Lidya hampir saja celaka karena terjatuh dari tangga, itu sangat membuat kami khawatir. Dan tingkah Claudia tidak bisa kami maafkan, karena telah mencoba membunuh putri kami, Lidya. Untung saja, ia tidak sampai terbunuh," lerai Farah.

"Maafkan Claudia, tuan," mohon Bu Marni.

"Bela saja wanita ga jelas itu! Aku tidak butuh maaf dari kalian!" balas Claudia.

"Diam kau!! Kami akan menjatuhkan pengaduan kepada pihak berwajib atas perencanaan pembunuhanmu! Kau lupa kami ini siapa?! Dari tadi saya diam, bukan karena saya menghormati anda! Saya menyegani Bu Marni! Disini suara anda tidak dibutuhkan sedikitpun, diam atau rasakan akibatnya!" kecam Ghany murka.

Tangis Bu Marni meledak, mengharapkan agar majikannya yang membantu hidupnya selama bertahun-tahun memaafkan anaknya. Ia seperti orang yang terkena bencana, mengharapkan belas iba kepada Zhiro, Farah, dan Ghany.

Luka lama Zhiro kembali terbuka lagi, hal yang membuatnya selama ini tetap bungkam. Diam, dan menyendiri. Hal itu kembali berputar di pikirannya, beriringan dengan terlukanya Lidya. Di pikirannya terlihat jelas, darah Lidya mengalir deras dari lengan dan telapak kakinya, namun ia harus memaafkan Claudia. Ia terpaksa, ketika melihat Bu Marni, wanita paruh baya yang merawatnya sejak kecil menangis dengan air mata pilu yang tiada tandingnya. Zhiro menundukkan kepalanya dalam, mencoba mencari jawaban tepat di hatinya, ia terpaksa.

"Saya tidak bisa memaafkan, kepercayaan tidak memiliki garansi yang bisa diganti ketika rusak," ujar Ghany dengan murka.

"Saya juga, sepertinya kami tidak akan memenjarakannya," ujar Farah menimpali. Bu Marni menatap Zhiro penuh harap. Zhiro menundukkan kepalanya, merapalkan sebuah kalimat.

"Zhiro maafkan. Tapi dengan satu syarat, Claudia harus pergi dari sini, karena aku tidak ingin melihat rupanya lagi. Jika besok dia masih ada disini, jangan salahkan aku jika ada pengajuan ke polisi," ujar Zhiro lega.

"Bu Marni jika masih ingin kerja disini kami masih menerimanya," ujar Ghany menimpali.

"Sepertinya tidak, karena dia hanya punya saya," jawab Bu Marni patah semangat.

"Sepertinya masih bisa.  Jika Bu Marni mau, saya akan memindahkan Claudia ke suatu pesantren. Kami akan tetap membiayainya," usul Ghany sambil memperhatikan layar handphonenya. Bu Marni mengangguk dengan semangat.

"Sekali lagi terima kasih," balas Bu Marni dengan riang. Zhiro berbalik arah, telah lima belas menit ia meninggalkan Lidya sendiri di kamarnya. Arlojinya telah menunjukkan pukul 00.35. Ia segera mengambil gelas dan piring yang ia letakkan, lalu kembali ke kamarnya.

***

Lidya terlalu bosan menunggu, pemilik kamar tidak kunjung memiliki tanda-tanda akan kembali. Ia terlihat gelisah kini, tidak ada yang ia ajak berbicara menghabisi waktu malam, setidaknya menemaninya menjelang ia tidur. Ia merutuki dirinya sendiri, rasa kantuknya belum kunjung datang.

Dering handphone berbunyi, ia yakin sekali jika itu bukan handphonenya. Lantunan musik dengan judul You Are The Reason, itu bukan berasal dari handphonenya. Ia tidak memiliki lagu berbahasa asing. Suaranya terdengar sangat jelas, ia memiringkan kepalanya dan melihat sebuah handphone di samping Zhiro.

"Siapa sih yang nelpon malem gini? Kek kurang kerjaan banget," gerutu Lidya sambil mengambil handphone tersebut. Sebuah panggilan masuk dari Farhan.

"Farhan? Mana lagi sih Zhiro, gak mungkin kan gue ngangkat," gerutu Lidya. Panggilan itu seketika terputus.

"Baguslah kalo terputus. Nelpon orang kok malem-malem gini," ujar Lidya sembari meletakkan handphone tersebut kembali ke tempat semula. Baru saja ia hampir meletakkannya, handphone tersebut telah bergetar. Dengan cepat ia melihat notifikasi.

3 pesan baru dari Farhan.

"Nih orang keknya penting banget. Ada apa ya? Atau gue liat aja sekalian ngehibur diri. Kali aja ada sesuatu gitu di dalem sini," kekeh Lidya. Ia membuka kunci, dengan pola yang ia ingat. Huruf G, hampir mirip dengan 6. Kunci telah terbuka.

Sebuah pesan kembali masuk, dari Farhan lagi. Lidya menggelengkan kepalanya lalu sedikit mempertimbangkan.

From : Farhan

P

Zhir

Lo belum tidur kan?

Ada kabar baru nih gue.

Lidya tidak mempedulikan, kabar baru dari Farhan, ia masih terfokus mengetahui segala privasi Zhiro. Matanya membelalak lebar, fokus matanya seperti orang yang sedang terkejut ketika melihat sesuatu yang berada di pandangannya.

Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang