33

3.4K 145 0
                                    

"Ternyata, suasananya lebih bagus di siang hari," ujar Lidya ketika mobil Zhiro dan beberapa motor yang lainnya memasuki Gate Air intan.

"Lo kesini itu terlalu malem," jawab Cakra yang seakan mengetahui jawaban tepatnya.

"Lo mau tau gak,Lid?" tanya Cakra berbasa-basi. Lidya melihat intens ke Cakra, penasaran dengan apa yang dikatakannya.

"Apaan?" tanya Lidya langsung dengan nada yang bersemangat. Cakra menarik senyum lebarnya.

"Nih Komplek Perumahan, punya Zhiro—"

"Cakra… harus berapa kali gue bilang? Punya keluarga Groye, lebih tepatnya papa gue," sanggah Zhiro segera. Cakra memutar bola matanya.

"Iya sama aja Zhir. Lo juga milikin nama Groye, gimana enggak?" tanya Cakra yang seakan tidak mau kalah dengan perdebatan yang akan terjadi.

"Serah—" Zhiro lebih memilih fokus dengan aktivitasnya, menyetir. Mobilnya terparkir ke depan Kafe The ~D yang didominasi warna hitam dan hijau. Mata Lidya berbinar melihat warna-warna tersebut serta tanaman yang menggantung menghiasi teras depan.

"Serasa hidup," gumam Lidya tanpa diminta. Cakra melirik lalu mengerenyitkan dahi. Katanya,"ya emang lo hidup lid,"

Lidya memandang Cakra datar atas ketidakpahaman Cakra terhadap maksud kalimatnya, dia melirik sekali ke arah Zhiro yang telah beranjak dari mobilnya. "Kapan dia keluar?" tanya Lidya menggumam.

"Sejak lo sadar kalo lo hidup," ledek Cakra lalu segera membuka pintu mobil dan menjauhi Lidya. Lidya memasang wajah datar melihat tingkah laku lain dari Cakra.

Lidya memasuki Kafe dan mengguman terkagum dengan keindahan penataan yang tidak dia lihat ketika datang malam tadi. Ia menemukan meja The~D dengan para anggota nya saling menatap dengan serius, terlihat sangar termasuk lelaki yang baru ia ketahui sisi lainnya.

Zhiro dan Cakra langsung berdiri ketika melihat Lidya hampir mendekati meja. "Ayo ikut kita." Zhiro mengintruksi lalu meninggalkan Lidya berdiri heran.

"Baru aja gue masuk," gumam Lidya lalu melirik Zhiro, namun tak ada jawaban. Tampaknya Zhiro sedang tergesa-gesa kini. Lidya melirik ke arah ketiga belas lainnya, semuanya tersenyum dan mengisyaratkan 'Ikut aja sana' dengan tangan mereka.

Lidya berbalik arah keluar dari Kafe, dan mobil telah terparkir tepat di depannya. Ia masuk dan mobil memacu begitu cepat.

"Kalian mau ajak gue ke mana?" tanya Lidya tiba-tiba setelah memperhatikan rumah-rumah besar berderet dengan ukuran yang bermacam-macam.

"Ikut aja entar lo bakal tau," jawab Cakra masih fokus ke Hpnya. Lidya melirik ke arah Zhiro yang berada di sampingnya dan sedang menyetir tidak memberi jawaban apapun.

Lidya mendengus kesal lalu memperhatikan rumah-rumah besar itu lagi. Sekilas pikirannya terpenuhi dengan pikiran yang menurut aneh.

"Jangan-jangan —" Lidya masih memikirkan tentang apa yang akan dikatakannya setelah ini. Cakra lalu mengerenyitkan dahinya dan menjauhkan pandangannya dari Handphone.

"Apa?" tanya Cakra heran.

"Jangan-jangan kalian mau ngejual gue," kata Lidya. Tiba-tiba kalimat itu melesat keluar dari mulut Lidya. Lidya melirik ke arah Zhiro dan Cakra, di wajahnya terlihat sebuah senyuman. Senyuman yang terlihat aneh, seperti senyum kemenangan.

"Kalian kenapa senyum gini? Dugaan gue bener?" tanya Lidya langsung dengan nada kecemasan yang begitu brarti. Tidak ada yang merespon kecuali dengan senyuman kemenangan, menurutnya.

"Berhenti gak! Atau gue loncat dari sini," ancam Lidya. Tetapi, sepertinya tidak ada yang mendengarkannya.

"Dikunci," jawab Cakra singkat lalu memasukkan Handphone ke sakunya. Wajah Lidya diselimuti rasa takut, kekecewaan yang sungguh besar.

Mobil masuk ke pekarangan rumah yang besar, taman kecil menghiasi di belakang pagar. Sebuah air mancur terhias di tengah taman tersebut. Berdiri tegak dengan air yang tetap mengalir tanpa henti.

Rumah didominasi cat warna biru dan putih, menyejukkan mata untuk melihatnya. Namun, kesejukan Itu tidak mampu menghilangkan rasa takut Lidya.

"Kok ke sini? Lo mau jual gue disini? Gue gak nyangka sama Lo Zhir," ujar Lidya dengan nada kecewa.

"Ini rumah Gue," jawab Cakra lalu membuka dan menutup pintu dengan segera. Cakra melambaikan tangan lalu masuk ke rumahnya. Mobil Zhiro bergerak memutar arah keluar dari pekarangan rumah itu.

"Zhiro, jawab gue jangan diem gini," ujar Lidya dengan nada keputusasaan. Namun, yang diajak ngomong tidak merespon apapun.

"Kenapa gue tolong Gue malem tadi, kalo akhirnya gini?" tanya Lidya. Matanya memerah seperti menahan tangis.

"Gue bener-bener kecewa sama lo Zhir, mending lo ga usah tolong gue kalo akhirnya jadi gini," ujar Lidya tetap menggumam. Dadanya terasa sesak, sesak yang teramat sangat sesak. Dia ketakutan, tangannya menggigil, tiba-tiba tubuhnya teramat sangat dingin, dingin yang sangat mencekam dan terasa sangat mematikan baginya.

Tidak beberapa lama mobil Zhiro masuk ke sebuah gerbang yang begitu besar, sedikit lebih kecil daripada gate Air Intan. Dua satpam menunduk hormat ketika mobil Zhiro melintas di depan mereka.

"Ini? Ini rumah orang yang mau beli gue?" tanya Lidya dengan air mata yang telah meloloskan diri dari waduk air matanya. Kepalanya menyender di pintu, rasa lemas mulai menyelimuti tubuh Lidya. Hanya satu hal yang berada di pikirannya, dia tidak ingin hidup kalo hanya mengalami masa seperti ini.

Zhiro kini melihatnya dengan mata birunya. Memang, terlihat menenangkan tetapi tidak bisa menenangkan Lidya yang matanya kini telah dilanda kekecewaan yang besar.

"Ayo turun," ujar Zhiro melepaskan sabuk pengamannya. Lidya menggeleng singkat. Zhiro langsung memutuskan turun dan mengambil tas yang berada di belakangnya. Ia membuka pintu Lidya.

"Turun," perintahnya singkat. Lidya menggeleng.

"Ikut gue atau lo bakal mati karena kurang oksigen disini," ujar Zhiro lagi, Lidya memandangnya lemas lalu memulai untuk membuka pintu. Mengikuti Zhiro yang berjalan disisinya.

Seorang lelaki yang terlihat berusia 40 tahunan dengan gaya kekinian menyambut kehadiran Lidya. Lelaki itu duduk di Sofa, dan Zhiro mengikutinya dengan menarik lengan Lidya agar ikut duduk.

Lidya duduk di samping Zhiro dan lelaki itu berada di hadapannya.

"Lidya?" panggil lelaki itu.

"Iya. Om yang mau beli Lidya? Lidya mau dijual disini?" tanya Lidya dengan hati-hati.

"Hah? Jual-beli? Zhiro —" lelaki itu menatap heran ke arah Zhiro. Tawa Zhiro meledak seketika mendengar gumaman lelaki Itu.

Seorang wanita datang. Terlihat anggun dan cantik menuruni tangga lalu menggelengkan kepala melihat sikap Zhiro. Wanita tersebut ikut duduk di salah satu kursi.

Sebuah bantal melayang ke wajah Zhiro oleh wanita tersebut. "Apa aja yang dibilang nih anak?" tanya wanita itu.

Zhiro masih melanjutkan tawanya tanpa mendengarkan pertanyaan lelaki dan wanita tersebut.

"Kalian siapa? Dan ada apa ini?"......

Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang