43

3.5K 158 0
                                    

Zhiro duduk di lantai sudut ruangan rumah sakit, menunggu keluarnya dokter yang sedari tadi memeriksa Lidya.

"Zhir, gimana kabar Lidya?"

Dhika dan lainnya datang dengan terengah-engah. Dia sedikit mundur dan mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih rinci.

"Udahlah Zhir, lo gak perlu sedih. Lidya pasti gpp."

Pandu mendekat ke arah Zhiro, sosok Pandu lebih mengerti hal ini. Tubuh Zhiro menegap, dengan suara lemah ia membisikkan sesuatu.

"Kenapa lo bisa yakin dengan sesuatu hal yang tidak pasti?"

Pintu ruangan sedikit terbuka, dokter itu berusaha keluar dengan perlahan.

"Bagaimana keadaan Lidya, dok?" tanya Revi sedikit mendesak.

"Dia hanya Shock tapi dia telah pulih, kalo kalian mau masuk silahkan tapi jangan membuat keributan. Ada keluarga Lidya? Bisa sekarang mengikuti saya?"

Dokter itu meninggalkan, Zhiro langsung bangkit dan mengikuti langkah dokter tersebut. Sebuah tubuh yang sama, tetap tegap dengan ekspresi menenangkan hanya saja matanya sedikit berwarna merah.

Dhika dan yang lainnya memasuki ruangan, tidak begitu sempit. Kamar yang dipilih juga cukup luas, mereka memasuki dengan terburu-buru.

"Kalian di sini?" tanya Lidya menyambut kedatangan mereka.

"Kami khawatir sama lo. Lo baikan kan?" tanya Bobby mewakili. Yang lainnya langsung duduk di bawah.

"Jauh lebih baik." Lidya tersenyum sambil memperhatikan mereka satu persatu.

"Puas gue, Lid." Revi berusaha membuat obrolan yang akan membuat Lidya sedikit tertarik.

"Kenapa?" heran Lidya.

"Semua telah dibalas secara semestinya, terutama tuh nenek sihir." Revi mengepalkan tangan dengan ekspresi teramat senang. Dhika menatap aneh adik tirinya.

"Seneng amat," sindir Dhika. Mata Revi langsung menajam dan membuat kilatan.

"Serem amat," ledek Dhika lagi sambil terkekeh geli.

"Serah lo." Revi memilih berhenti untuk bercerita. Ia melirik ke arah jam, telah menunjukkan pukul 11 malam.

Lidya tertawa kecil dengan kelakuan mereka yang susah akur. "Maksudnya Rev?"

"Maksudnya..." Penjelasan Revi langsung terpotong ketika melihat pintu kamar terbuka dan kedua orang masuk secara beriringan.

"Lidya, kamu baik-baik saja kan?" tanya Farah dengan cepat ketika memperhatikan Lidya berbaring di atas tempat tidur.

"Iya ma." Lidya tersenyum teramat ikhlas ketika orang tua angkatnya datang mencemaskannya.

"Ma pa.. Kami pamit ya," ujar Ivan ketika melihat keakraban Lidya dan Farah.

"Pamit? Baru saja kami sampai kalian udah mau pamit?" heran Farah dengan sikap anak angkatnya.

"Udah malem Ma, Pa," jawab Bobby. Farah mengangguk mengerti. Mereka bersalaman sambil beranjak keluar dari kamar.

"Ini siapa Dhik? Pacarmu?" tanya Farah ketika melihat Revi berada di samping Dhika, berdekatan.

"Pacar? Ini adik tiri Dhika yang pernah Dhika ceritain ke Mama," jawab Dhika semangat.

"Namamu siapa?"

"Revi, te." Revi langsung mendekat ke arah Farah, lalu mengambil tangannya untuk bersalaman.

"Kamu anak yang pemberani, mama salut kepadamu. Jangan panggil saya dengan kata 'Tante' panggil saya dengan sebutan 'Mama'."

Revi mengangguk. "Baiklah, Ma."

Dhika bersalaman dengan mereka berdua. "Kami pamit pulang, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab Farah, Ghany, dan Lidya serentak.

"Kamu tidak apa-apa Lidya?" Tanya Ghany mencemaskannya.

"Enggak apa-apa kok Pa. Maafin Lidya ya," ujar Lidya melirih.

"Maaf? Buat apa?" heran Ghany.

"Karena Lidya, keluarga Groye jadi malu kan Pa, Ma?" tanya Lidya sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit.

"Malu? Gak akan. Gimanapun kamu itu anak kami. Apapun pandangan orang kami gak peduli, kami yang mengenal kamu bukan orang lain."

"Mama sama papa yakin?"

"Yakin sayang. Kamu istirahat dulu sana," ujar Farah sambil mengelus puncak kepala Lidya.

"Assalamu'alaikum." Zhiro datang dengan nafas terengah-engah setelah berlari kecil.

"Wa'alaikumussalam, dari mana kamu?" tanya Farah melihat kedatangan putranya, Zhiro.

"Membayar Administrasi. Mama sama papa kapan nyampe? Udah malem Ma, Pa biar Zhiro aja yang jagain Lidya."

Farah dan Ghany serentak melihat ke arah jam yang hampir mendekati pukul 12 malam.

"Baiklah. Lidya, kami pamit ya. Soalnya, besok pagi kami ada rapat penting."

Lidya sedikit mengangguk lalu tersenyum mengiringi kepergian orang tua angkatnya.

"Lo gak apa-apa?" Zhiro duduk setelah melihat kedua orang tuanya meninggalkan ruangan.

"Udah sedikit membaik, Zhir. Lo gak perlu khawatir," ujar Lidya mencoba menenangkan.

"Gak perlu khawatir gimana? Lo sampe pingsan kek gitu cuma karena mereka berdua! Dia gak punya hati nurani, bisa-bisanya dia ngehina lo di depan banyak orang."

"Udah malem Zhir, ga baik marah-marah gini."

"Gue cemas karena lo, Lid."

"Tuh, ada sofa tidur sana udah malem." Lidya menunjuk ke arah sofa biru yang berada di sudut ruangan.

"Ya udah, tidur sana." Lidya mengulangi perkataannya lagi.

Zhiro melangkahkan kaki mendekati sofa, duduk diam dan memperhatikan Lidya berusaha untuk terlelap dan tidur.

***

"Zhir, kapan gue boleh pulang? Udara disini ga enak banget, bau obat."

Zhiro langsung mengerjapkan mata ketika mendengar Lidya berbicara dengan sedikit nada tinggi. Ia melihat ke wanita itu, raut wajahnya terlihat gelisah.

"Ya namanya rumah sakit pasti bau obat, kalo bau makanan namanya rumah makan." Zhiro terkekeh geli, lalu berdiri menatap Lidya yang berusaha duduk lalu menatapnya datar.

"Kan gue udah baikan." Lidya mencari argumen untuk keluar dari rumah sakit, bau obat menyengat masuk ke dalam indra penciumannya.

"Ya tetep aja, tunggu instruksi dari dokter," ujar Zhiro lalu beranjak keluar dari ruangan.

"Lo mau ke mana?" tanya Lidya sembari menghentikan langkah Zhiro.

"Cari dokter."  suara langkah kaki Zhiro semakin lama semakin lemah, hingga tidak terdengar oleh Lidya.

"Ini yang lo maksud dulu, maaf gue ga selemah apa yang lo bayangin. Lo pikir gue akan terpuruk rapuh dalam shock ini, gue bakal nunjukkin lo gimana caranya membalas sesuatu yang sepadan menurut Lidya Vanessa Groye, tuan Rayn Devanartha."

Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang