59

3.2K 239 42
                                    

"Menyingkir dari gue! Atau gak gue yang bakal bunuh lo disini!" ancam Lidya, ia berdiri menahan rasa sakitnya.

"Silahkan saja!" balas Claudia dengan penuh amarah. Ia langsung menendang kursi yang di dekat Lidya tepat ke pergelangan kaki Lidya. Rasa sakit semakin memuncak kuat.

"Aw," ringis Lidya sambil memegangi pergelangan kakinya, ia terduduk lemah. Claudia semakin mendekat memperlihatkan gemilau ujung pisau di hadapan Lidya.

"Berhenti disana!" teriak Lidya lagi, Claudia hanya menyunggingkan senyumnya menggeleng singkat.

Claudia menggenggem segelas susu yang ia bawa tadi, ia membantingnya di dekat kaki Lidya, pecahan kaca terlempar dan mengenai kaki Lidya, semuanya remuk.

"Atau lo mau pake pecahan kaca ini daripada pisau yang gue pegang? Coba lo lihat, cuma karna kaca kecil kaki-kaki lo udah darah gitu. Atau gue pake yang ini aja buat mempercepat kematian lo?" tanya Claudia sambil memperhatikan sudut tajam dari pecahan kaca yang berukuran lebih besar dari yang lain dan menatap Lidya dengan tatapan iba.

Lidya membalas tatapan iba Claudia dengan tatapan sinis yang meremehkan. Amarah Claudia semakin melonjak naik, Lidya mengumpulkan tiap-tiap emosinya di satu titik temu. Ia mengukur lawannya kini.

Pengkhianatan, sebuah hal yang sangat tidak ia sukai. Air mata meggenang, mengutuk dirinya sendiri karena ia terjebak pada tiap pengkhianatan. Kini, yang ada di hadapannya adalah seorang pengkhianat! Pantas saja dia sering merasakan keganjalan jika berada di dekat Claudia. Lupakan semua rasa sakit! Hidup sedang dipertaruhkan.

Lidya kini tersenyum sinis, mengumpulkan segenap tenaga di kaki kanannya sebagai tumpuan tubuhnya saat ini. Claudia juga ikut berdiri, memandang Lidya heran.

"Masih punya tenaga lo?" sinis Claudia meremehkan.

"Pengkhianatan lo menambah tenaga gue lebih banyak," balas Lidya lalu melonggarkan kedua kakinya, agar leluasa ia bergerak.

"Bagus, setidaknya ketika pisau ini mulai nyabut nyawa lo. Gue bisa liat semua tenaga lo itu lenyap," tukas Claudia sembari menyiapkan pisaunya menancap di tubuh Lidya.

"Gue pastiin sesuatu ke lo, kalo ujung pisau itu dengan lancang nyentuh kulit gue, gue bakal melontarkan lo jauh dari sini!" ancam Lidya. Wajahnya sangat tenang, namun itu sangat mengecohkan. Ujung matanya menajam, seakan dapat melemparkan tubuh Claudia dari hadapannya.

Claudia membalasnya dengan senyum sinis, pisau itu mengarah ke lengan Lidya, namun dengan cepat serangan Claudia melesat. Lidya menjauhi ujung pisau itu, tanpa ada keinginan untuk menyerang lebih awal. Licik, Claudia menendang kaki kiri Lidya. Keseimbangan Lidya terganggu, pisau itu mengarah tepat ke wajah Lidya. Namun dengan cepat tangan Lidya menangkisnya, hingga ujung pisau tersebut menggores di lengan putihnya, membuat jalan keluar darahnya terbuka.

Gemerlang di sudut matanya yang tajam. Ia langsung menghentakkan kaki kirinya, menahan rasa sakit dan cideranya. Hentakkan itu mengenai pecahan kaca di dekatnya, namun rasa sakit tak lagi ia pedulikan. Ia menggerakkan kaki tersebut tepat mengarah ke perut Claudia hingga Claudia terpental. Ia terpelanting dengan memegangi perutnya.

Telapak kaki Lidya telah mengeluarkan banyak darah, sedangkan Claudia dengan cepatnya berdiri lalu mengarahkan pisau itu lagi, ia tidak menyerah.

Sebuah tangan menarik bahu Claudia, hingga ia kembali di posisi sebelumnya, menghempaskannya dengan sangat kuat. "Enyah!!"

Sebuah wajah dengan amarah berkobar yang terlihat di sudut matanya, seketika aura terlihat sangat mencekam.

"Sekali lagi gue bilang. Enyah lo!!"

Mata Claudia berbinar, yang telah membentaknya adalah lelaki yang ia kagumi, Loizhiro Zachary G. Lelaki itu kini mengarah ke Lidya, yang menyenderkan tubuhnya di dinding dengan perasaan lega.

"Are you okay?" hanya kalimat itu yang bisa dikatakan Zhiro saat ini. Ia tau, percuma mengatakan kalimat itu karena ia bisa melihat darah Lidya mengotori kamarnya. Lidya mengangguk lemas, Zhiro menarik tubuh Lidya menjauh dari pecahan kaca. Zhiro melingkarkan tangannya, menenangkan Lidya. Lidya kini berada dalam dekapannya.

"Lidya!" panik Farah histeris, Farah masuk ke kamar dengan tergesa-gesa setelah menuruni tangga mencari Ghany dan pembantunya, Bu Marni.

Zhiro langsung mengangkat Lidya yang kini melemas, darahnya semakin menghilang dari tubuhnya, bercecer di lantai dan baju tidur Zhiro.

"Urusan kita belum selesai." Zhiro meninggalkan kamar Lidya menuju ruangan yang jaraknya tidak terlalu jauh, kamarnya sendiri. Zhiro membuka pintu kamarnya, sedikit berantakan.

Zhiro masuk ke dalam kamarnya, bersama Lidya yang telah ia angkat. Darah dari telapak kaki Lidya membuat jejak dari kamarnya, sampai di posisinya saat ini, di tepi tempat tidur Zhiro. Rasa perih yang sangat menyakitinya.

"Jangan disini, liat aja darah gue udah netes," tolak Lidya sambil mencoba berdiri dan berjalan ke arah kursi yang tidak jauh darinya.

Ia mulai membersihkan darah dari kulit Lidya, di telapak kakinya. Sesekali Lidya terlihat meringis menahan sakit, suatu hal yang menyebabkan aktivitas Zhiro kian terjeda.

"Pegang pundak gue," ujar Zhiro sambil menggenggam tangan Lidya dan meletakkannya ke pundaknya.

"Buat apa?" heran Lidya. Lidya sejenak berpikir, namun ia tak mengerti.

"Kalo lo sakit, lo cengkeram aja pundak gue. Biar gue bisa ngerasain sakitnya lo," jawab Zhiro singkat lalu membersihkan darah luka Lidya lagi.

Luka telah dibersihkan, Zhiro kini tengah melilit perban di telapak kaki Lidya, sejenak ia teringat ringisan yang terdengar di telinganya waktu dia tidak boleh berbuat apa-apa oleh mamanya, Farah.

Ia bangkit lalu membersihkan luka di lengan Lidya.

"Udah gue aja, lo ga perlu repot-repot. Gue bisa sendiri, lagian di lengan. Eh Zhir maaf, tuh tempat tidur lo ada tetesan darah gue," ujar Lidya sambil menengadahkan tangannya meminta perban di tangan Zhiro.

Namun Zhiro menghiraukan permintaan Lidya, ia kemudian tetap saja mengambil lengan Lidya.

"Baiklah gue nyerah," ujar Lidya mencoba membuat Zhiro membalas perkataannya. Namun  Zhiro tetap diam. Zhiro memilin perban tersebut dengan hati-hati.

Zhiro meletakkan kembali perban dan obat-obatan yang telah ia ambil dari kotak P3K. Ia kembali ke hadapan Lidya, mengelus pipinya.

"Lo gak apa-apa? Ada lagi yang luka? Lo ngomong aja sama gue," ujar Zhiro dengan nada khawatir. Lidya terkejut dengan air muka Zhiro, seketika ia membisu dan seketika lagi ia terlihat khawatir.

Lidya menggeleng. "Gue gak apa-apa, gue yakin selama ada lo gue bakal gak apa-apa."

"Lo istirahat dulu," ujar Zhiro lalu berdiri.

"Dimana? Kamar gue berantakan," bingung Lidya. Ia menatap Zhiro dalam.

"Tuh kasur gue ada," jawab Zhiro sambil menunjuk tempat tidurnya.

"Lah liat baju gue darah semua entar kasur lo juga. Kalo gue tidur disini, lo tidur di mana?" tanya Lidya lagi.

"Udah gak apa-apa, tidur di lantai juga bisa," jawab Zhiro ngasal. "Udah lah gue mau keluar bentar."

"Ke mana?" tanya Lidya lagi. Langkah Zhiro semakin tertahan.

"Ada urusan," jawab Zhiro singkat, lalu melangkahkan kakinya lagi.

"Gimana dengan Claudia?"

Just Cause You, Just For You [Lathfierg Series] ✔ [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang