1. Mukadimah

1K 129 7
                                    

Happy Reading, guys. Maaf kalo bahasanya masih ada yang berantakan atau apalah. Silakan komen kalo ada ada sesuatu yang ganjil. Jangan malu-malu, ya.

***

Aku taat pada peraturannya Papa-

Ehem, begini ...

Ayah menganggap, berpacaran ketika kita masih duduk di jenjang bangku pendidikan itu terlalu awal ...

"Teramat sangat terlalu awal malah!" 

... Tekan papaku, menyadari kalau anaknya ini punya sifat yang .... yaa kau tau, lah. 

Ayah mengatakan kalau kita sudah merasa memiliki seseorang yang disukai, sukai saja dia dan berhenti sampai di situ dan jangan mengambil langkah lagi. Tak ketinggalan Ayah menambahkan dan demikian pula menjelaskan risiko-risiko yang menunggu kita kalau kita berani-berani mencobanya.

Aku tidak pernah mengakui perasaan ku pada siapa pun. 

Aku juga tidak pernah menolak perasaan siapa pun karena aku tidak akan membiarkan diriku sampai menerima pengakuan perasaan oleh satu pun laki-laki di sekolah.

Aku tolak mereka sebelum mereka mau menyatakan perasaannya padaku.

Eh? Kau mau aku mencontohkannya?

Hmm ... 

Ah, kebetulan sekali ...

Kebetulan ada laki-laki yang mau melakukan itu lagi padaku ...

Dia mendekat! Dia mendekat!!

Wow ... 

Kali ini adalah Ketua Kelas? 

Aku tidak mengira dia punya perasaan seperti itu padaku. 

Jujur saja, dia laki-laki yang cuma fokus sama pelajaran dan urusan sekolah. 

Dia juga cuma bersosialisasi sekenanya saja pada teman-teman laki-laki sebayanya. 

Sapa. Balas sapa. Udah. 

Kalau teman-temannya bicara soal hobi atau game, dia cuma listening.

Kalau teman-temannya bicara soal perempuan, dia cuma listening.

Ketika teman-temannya bercanda, dia juga cuma listening ... and give little bit of smile.

Sisanya buku, kedua buku, dan ketiga buku.

Dan jangan tanyakan soal perempuan, ya. 

Dia pasif.

Tapi baiklah.

Tantangan diterima. 

Sini, kemari kau.

Ok, perhatikan baik-baik, ya. Semoga kalian mengerti apa yang aku maksud diawal-awal tadi.

Ketua kelas sekarang sudah ada di hadapanku. 

Mata kami bertemu. 

Pandangan matanya serius. Tidak ada keraguan atau rasa gugup sedikit pun terdeteksi pada sepasang organ bulat yang ada di wajahnya tersebut. 

Seolah-olah ia sudah berlatih melakukan ini beratus-ratus kali di depan cermin sampai bayangannya di cermin itu resign.

"Frida. Aku mau bicara sesuatu sama kamu, boleh?" 

Nah, ini dia.

"Engga." Jawabku, datar.

" ... Huh?"

"Enggak. Cari perempuan lain."

"Eh?"

"..." Aku lalu beranjak dari kursiku. Menjauh darinya seperti ibu-ibu yang sedang melakukan proses "diplomasi tingkat tinggi" dengan salah satu pedagang di pasar. 

"Hei." Dia tiba-tiba meraih tanganku.

Hei! Beraninya!?

"Apaan, sih? Stubborn banget." Jawabku, ketus sambil melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tanganku.

Aku menatapnya tajam.

Dia agak terkejut dan menunjukkan ekspresi kebingungan, namun tak lama setelah itu ekspresinya kembali normal dan dia menghela nafas.

"Hah .... aku tidak sedang melakukan hal seperti yang kau kira, Frida. Kamu belum bayar uang kas."

"Eh?"

"..." Ketua Kelas kemudian menadahkan tangannya padaku. Mana uangnya-mana uangnya dia bilang kalau gesture-nya itu boleh diartikan.

"B-berapa kali aku belum bayar?" Tanyaku dengan nada gemeteran, menahan rasa malu yang aku buat oleh diriku sendiri sambil mengambil dompetku.

Dia beritau nominalnya, aku mengambil uangku di dalam dompet, dia menerimanya lalu pergi.

E-ehem ... 

Intinya. Mmm ...  

...

......

Hei, kamu mau tau fase seseorang kalo mau nembak gebetan itu seperti apa?

Aku membuat tahapannya seperti ini:

1. Kamu bersiap untuk nembak dia. 

2. Kamu bilang ke gebetan kamu kalau kamu mau bicara sesuatu sama dia. 

3. Trus, kamu menyatakan perasaan kamu ke dia.

4. Ditolak atau Diterima.

Gitu, 'kan?

Nah, aku mulai melakukan tindakan ketika mereka baru pada tahap yang ke-dua. Intinya itu.

"..."

Aku hanya tertarik pada Erza. 

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang