22. Penyakit Apa?

45 16 4
                                    

Kami akhirnya sampai ke dalam area sekolah. Tampak di sini para orang tua dan calon peserta didik banyak yang tengah mengisi sebuah kertas formulir pendaftaran pada meja yang terbuat dari semen yang menempel di pepohonan sekolah dekat lapangan basket dan tempat-tempat lainnya di area sekolah yang memiliki permukaan yang lebih rata untuk memudahkan mereka menulis.

Para orang tua dan anak-anak mereka juga ada yang pergi ke dalam ruang kelas-kelas, di jendela kelas-kelas tersebut, ditempel kertas bertuliskan loket nomor sekian serta jurusannya. Dan di dalam kelas, kulihat sudah ada beberapa petugas yang menjaga, sama mereka yang mendaftar.

Bibi bilang padaku, bisa jadi pemeriksaan kelengkapan berkas pendaftaran ada di salah satu kelas itu.

Bibi, aku dan orang-orang tua calon siswa/siswi lain kemudian melihat papan informasi yang menerangkan alur pendaftaraan penerimaan peserta didik baru yang di taruh di halaman sekolah.

Ada total tujuh loket yang dimulai dari angka 1 sampai 7 yang mewakili masing-masing jurusan. Jurusan TKJ (Teknik Komputer dan Jaringan) ada di loket satu, jurusan Akuntansi di loket tiga, jurusan Administrasi Perkantoran di loket empat, jurusan Pemasaran di loket lima, jurusan Farmasi di loket enam, jurusan Tata Busana di loket tujuh.

Dan, ya, angka yang kulewati adalah untuk jurusan Multimedia. Loket nomor dua.

Bibi dan aku menunggu giliran di loket tersebut, di luar ruang kelas lebih tepatnya, dan berdiri.

Ada satu loket lagi yang tidak diberi nomor di sebelah tulisan loket nomor satu. Di situ hanya tertulis "Jalur Khusus" saja.

Digabung?

Ketika aku mendekat ke jendela kelasnya, melihat ke dalam ruang kelas loket satu yang digabung tersebut, meja "jalur khusus" tadi, orang yang berdiri berderet, menunggu untuk dilayani tidak sebanyak seperti loket-loket yang lain.

"..."

Tidak lama setelah itu, antrean loket dua jurusan multimedia terus berkurang dan berkurang, dan kemudian, giliran aku sama bibi menyerahkan map kertas berwarna biru kepada petugas di loket tersebut. Petugas itu menerima kemudian mulai membuka map itu, memeriksa kelengkapan berkas di dalam, lembar demi lembar.

Petugas yang menjaga loket tersebut adalah wanita dan sepertinya ini tidak akan berjalan dengan mulus.

Kata ibu, bibi lumayan panikan kalau berbicara dengan wanita yang lebih tua dari dia. Tapi kuharap yang satu ini berjalan lancar-lancar saja. Ibu tersebut tampak berusia akhir empat puluhan.

"Sekolah asal anak ini dari luar daerah, apa ada surat rekomendasinya?"

"Eh? I-Iya, bu. Di sana sudah ada."

Ah, ternyata benar. Padahal paras ibu ini tidak menyeramkan atau bibi adalah cenayang yang punya kekuatan melihat wajah sebenarnya dari riasan wajah yang menutupi muka ibu ini? Make-up beliau terlihat cukup tebal.

Petugas wanita tadi kemudian menemukan surat yang ia cari. "Oh ini." Lalu dia lanjut memeriksa kelengkapan berkas yang lain. "Kartu pendaftarannya?" Tanya ibu itu lagi.

"J-juga ada di sana, bu." Jawab bibi.

Ibu tersebut tampak membolak-balik lembaran berkasku. "Mana? Tidak ada?" Tanya ibu itu.

"Eh? Tadi ada di sana, bu. Barangkali terselip." Aku dan bibi lalu saling berpandangan. Bibi kemudian ikut membantu mencari kartu pendaftaran tersebut. Aku dan bibi panik.

"Penyakitmu masih belum sembuh ya, Amara." Tebak ibu itu yakin sambil menyebut nama bibi, membuat bibi berhenti sebentar kemudian ia lanjut melakukan pencarian kembali. 

"S-saya cuma berusaha menghormati anda." Jawab bibi

Sudah saling kenal ternyata mereka berdua. Membuat gugup saja.

"Ada apa? Jangan terlalu formal."

"Maaf. Masalahnya saya lupa nama anda." Bibi tampak sudah menemukan kartu pendaftaranku lalu menyerahkannya ke ibu itu terus beliau menerimanya.

"Kukira apa tadi. Anak zaman sekarang. Baru delapan tahun jadi alumni sudah lupa nama."

"Itu hitungannya sudah termasuk lama malah, bu. Tapi saya tahu ..." Bibi mengorbitkan jari telunjuk dia ke wajahnya sendiri. "Itu-nya ibu."

"Itu-nya apa."

"Pokoknya itu lah."

"Ada-ada saja kamu ini." Ibu tersebut lalu mengalihkan pandangan padaku kemudian menatap Grisnald "Anakmu?" Tanya ibu itu.

Bibi melihat ke arahku. "Ah, ini anaknya kakak saya. Masa saya baru delapan tahun-"

"Bukan, maksudku yang ini." Tunjuk ibu itu ke arah Grisnald.

"Eh!? Iya. Bu."

"Siapa namanya?" Tanya dia sambil mengecek berkasku lalu menatap ke arah bibi lagi.

"Grisnald Amara Putra." Jawab bibi.

"Bukan."

"Eh?"

"Anak kakakmu ini." Kata ibu itu lalu menyeringai sesudah berhasil menggoda bibi, kemudian mereka berdua melihatku.

"Frida Halisyah." Kujawab sambil tersenyum lalu aku menyodorkan tanganku ke beliau terus kami berdua berjabatan tangan. Ibu ini boleh juga menggoda orang.

"Oh, bagus-bagus ya, nama keluargamu ini, Amara." Puji beliau kemudian ibu tersebut terkekeh. "Dan kapan penyakit gugupmu itu sembuh?"

"Jangan khawatir, bu. Khawatirkan penyakit anda saja."

"Penyakit apa?"

"Anda masih suka membuat orang mengobrol lama tanpa memperdulikan situasi dan tempat."

Ibu itu tampak melihat sekitarnya yang sibuk bekerja namun beliau tidak. "Oh, maaf." Ibu itu menyeringai lalu lanjut mengurus berkasku lagi.

"B-Bagaimana, Bu?" Tanya bibi lagi ketika melihat ke berkas yang ibu tersebut pegang.

"Lengkap." Jawab ibu itu.

Aku menghela napas lega dan di waktu yang bersamaan, aku turut mendengar bibi menghela napas dengan panjang seusai mengetahui hal tersebut.

"Helaan napasmu berat sekali." Komentar ibu itu lagi dan kemudian Bibi terlihat tersipu kembali.

Ibu ini benar-benar penggoda yang ulung.

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang