94. Sip. Berhasil!

16 1 0
                                    

"Bagaimana kalau Kak Frida pinjam uangnya sedikit dan kakak bakalan menemani Grisnald membeli paket internet? Bagaimana dengan itu?"

Grisnald melihatku. "Kalau uangnya dikurangi, Grisnald tidak bisa beli paket yang Grisnald inginkan. Tadi Grisnald sudah beritahu kalau paket internet yang terlihat-"

"Beli saja itu dulu sementara, nanti Kak Frida ganti semua." Potongku.

"Tidak." Jawab Grisnald menggeleng-geleng. "Kak Frida nanti akan melupakannya. Aku tidak mau."

"Tidak akan, sayang."

Grisnald melihat ke arahku. Dia melihat raut wajah yang kubuat seterus terangnya seperti keadaan yang sedang melanda bagian perutku sekarang.

.... Dan dengan berat hati, ia akhirnya menganggukkan kepala.

Sip, berhasil!

"Nah gitu dong. Grisnald the best lah. Laki-laki itu harus peka sama perempuan sejak dini." Jelasku senyum-senyum "Tunggu sebentar, ya. Kakak siap-siap dulu."

Aku bergegas pergi ke kamar untuk mengganti seragam sekolah ini.

Duh! Aku baru ingat pakaian keluarku belum dikirim semua oleh Ibu, yang baru datang hanyalah piyama ini.

Arghh! Aku pakai piyama kiriman ini saja dulu kemudian kulapisi dengan sweater milik bibi. Aku lalu keluar dari kamarku kemudian masuk ke kamar bibi.

Aku melihat ke setiap sudut-sudut kamar.

Di mana, ya sweater bibi?

Lalu aku mendapati sebuah gantungan pakaian-pakaian di belakang pintu kamar ketika mataku mau memandang ke arah lemari pakaiannya.

Ah ini dia, ada sweater menggantung di belakang pintu kamar bibi. Segera kupakai itu kemudian aku keluar dari kamar bibi, pergi ke ruang tamu tempat Grisnald tadi berada, lalu menyuruh anak itu untuk menunggu di luar, sementara aku pergi ke belakang dulu, mengeluarkan sepeda lipat yang ada tempat duduk tambahan dan keranjang di depan, milik bibi husband, sebagai alat transportasi kami.

Uangku semuanya ada pada bibi sebenarnya. Kartu ATM-ku juga ada di dia. Salahku sendiri, aku meminta bibi memegang uang serta kartu-ku untuk menghindari isinya tidak kupakai pada sesuatu yang random, tapi malah melahirkan persoalan-persoalan seperti ini.

Walaupun ada banyak lusinan kartu itu atau media perantara lainnya di tanganku sekarang, aku lebih memilih memohon pada seseorang untuk memberikanku sesuatu pada apa yang ada di dalam sana, yakni uang tunainya. Sebab, ketika aku keliling mencari barang-barang untuk MOS beberapa waktu yang lalu, tempat untuk menarik uang tunai terdekat, jaraknya itu tidak bisa dibilang dekat. Apalagi tidak banyak orang bayar pakai sistem gesek di sini, terkecuali minimarket. Harus cash.

Aku menutup pagar lalu naik ke sepeda lipat yang baru saja ku keluarkan tadi.

"Ayo naik." Ajakku pada Grisnald. "Tempat membeli paket internet yang Grisnald maksud tidak jauh, 'kan?" Tambahku.

Sedikit ada rasa penyesalan juga aku menawari Grisnald bantuan. Yah, takutnya tenagaku tidak bisa sampai ke sana. Aku kelaparan, 'kan ini ceritanya ....

Untungnya Grisnald menganggukkan kepala kemudian ia memegangi sweater yang kupakai, sebagai pegangan untuk menaiki tempat duduk sepeda yang ada di belakang.

"Ada di mana memangnya?" Tanyaku kembali.

"Di minimarket depan. Kita jalan saja terus dari sini ke sana melewati pasar depan komplek lalu jalan sedikit lagi dan minimarket tersebut sudah bisa kelihatan."

"Ok ...."

"Sudah. Ayo cepat berangkat." Suruh Grisnald memberitahu kalau ia telah duduk.

"Baik. Pegang yang erat, ya."

"..."

Saat kami melintasi pasar yang ada di depan komplek. Kepadatan orang-orang di pasar tersebut semakin bertambah dibandingkan waktu aku pulang tadi. Pedagang kaki lima dan ibu-ibu banyak bertransaksi di bahu jalan. Jalan dua arah yang lebarnya kira-kira cuma enam meter ini juga dilalui pengendara sepeda motor, becak motor dan mobil yang mau lewat. Otomatis keadaannya tambah sesak dan tentu saja, macet.

.... Dan aku juga ikut-ikutan terjebak di sini.

Seharusnya sebelum berangkat tadi aku mesti bertanya dulu pada Grisnald apakah ada jalan alternatif atau jalan pintas selain jalan ini untuk ke tempat membeli kouta, sekalian mengirit tenaga.

Hadeh.

Meninggalkan sepeda ini begitu saja di pinggir jalan juga hanya akan memperburuk keadaan.

Aku lalu mencari celah di antara sekumpulan bokong-bokong para ibu-ibu, sepeda motor, becak setta mobil yang bersesak-sesakan di jalan untuk dapat keluar dari situasi kemacetan ini. Dan sewaktu aku melakukan itu, aku tidak sengaja mendapati Erza ada di pasar tersebut sedang menenteng belanjaan.

Tunggu ....

Bagaimana bisa ada Erza di sini!? 

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang