14. Tidak Adil!

60 29 0
                                    

"Awalnya itu, 'kan. Sebelum ibu memesan tiket pesawat, aku meminta ibu untuk memesan kursi di dekat jendela."

Bibi terlihat manggut-manggut di depan sana sementara Grisnald kulihat tampak masih mencerna apa yang baru saja kujelaskan.

"Namun tempat duduk di samping jendela sudah habis semua terpesan dan hanya tersisa deretan kursi dekat lorong saja lagi yang biasa digunakan orang buat lalu-lalang itu."

"Karena aku duduk di bagian terluar, orang yang duduk di samping jendela biasanya selalu minta izin permisi pada orang yang mungkin sudah duduk duluan di tempat duduk dekat lorong saat ia mau duduk di tempat duduknya yang di dekat jendela tadi."

Bibi dan Grisnald tampak memproses ceritaku yang mulai ku luaskan.

"Terus?" Kata bibi.

"Perjalanan ke sini menghabiskan waktu satu jam menggunakan pesawat. Mengetahui satu jam tersebut, aku mencari cara bagaimana waktu satu jam tadi itu bisa kulewati tanpa membuatku tambah lelah, sebab aku sudah lelah sedari pagi. Jadi aku berniat untuk tidur saja dengan memakai penutup mata yang kebetulan aku temukan di belakang kursi penumpang ketika aku mau memejamkan mata, jadi aku manfaatkan."

"Lalu?"

"Waktu aku mau terlelap, ada seorang pria yang suaranya terdengar berat gitu, meminta izin padaku membukakan jalan agar ia bisa ke tempat duduknya yang di dekat jendela, tempat duduk di samping tempat dudukku."

"Dan aku saat itu mempraktekkannya, bi. Aku mempersilakan dia memakai kode tangan sekenanya dan merapatkan sementara kedua kakiku saat ia lewat dalam keadaan gugup sekali sambil manggut-manggut lalu mengatakan "Y-ya, silakan." "

"Karena aku mengijinkan orang itu tanpa mengetahui bagaimana orangnya, aku membuka sedikit penutup mataku untuk melihat orang tersebut dan aku baru tahu bahwa orang itu adalah dia."

Bibi sekilas sempat kulihat mengerinyitkan dahi dari sini kemudian ia mulai mengerti apa yang coba mau ku ketengahkan di cerita ini.

"Aku tidak membuka penutup mataku lagi karena aku takut itu akan memberikan kesempatan agar orang tersebut bisa melakukan dialog denganku. Bahkan duduk di sampingnya saja aku gemetar sekali.

"Ciee!" Seru bibi, namun Grisnald kulihat tidak bereaksi apa-apa. Dia dengan polos memiringkan kepalanya ke samping, kebingungan dengan topik apa yang kugunjingkan dengan bibi.

"Menurut bibi aku kesal karena apa?"

"Dianya itu siapa dulu? Aktor film?" Tebak bibi.

"Apa itu?"

"Kau tidak tahu?"

"Oh yang itu. Orang yang main film?"

"Ya."

"Tapi masa mereka di kelas ekonomi?"

"Sedang menghemat barangkali?"

"Agaknya."

"Iya juga, ya ... Oh! Bule, ya, Frida?"

"Yaa ...." sahutku lirih. Badanku kembali menggigil karena mengingat kejadian itu lagi.

"Ahahaha!"

"Untung ada penutup mata waktu itu, Bi. Jadi aku bisa pura-pura terlelap."

"Jujur, bi. Aku gugup sekali sepanjang perjalanan. Gemetar terus badanku menahannya sampai pesawat mendarat. Mana dia juga sempat mengajakku untuk mengobrol lagi, tapi bukan mengobrol juga sih, itu lebih ke mengingatkanku untuk memasang sabuk pengaman ketika pesawat mau lepas landas. Aku lupa waktu itu saking parnonya."

Kudapati bibi menahan tawa dia.

"Aku sangat ingin tahu kenapa dia bisa ada di situ padahal waktu aku masuk ke dalam pesawat aku itu adalah penumpang yang sudah mendapat panggilan terakhir keberangkatan pesawat dan dia masih sempat masuk, itu ajaib sekali." Terangku, dengan nada heran.

Bibi masih menahan tawa dia yang semakin menjadi.

"Dan suaranya itu, bi, agak gimana gitu waktu dia menyebutkan permisi-nya padaku waktu itu. Bibi bisa bayangkan, 'bukan? Bagaimana orang asing mengucapkannya dalam bahasa kita? Sudah kuberitahukan? Berat-berat gimana gitu tadi."

" "Pechrmissi?" Kataku mengubah nada suara menjadi berat. "Boulech schaya duouduokch dichsachana?" " Aduh, bi. Aku gemetaran sekali waktu itu." Lanjutku lagi.

Bibi tidak bisa menahannya lagi. Ia akhirnya tertawa. "K-Kenapa tidak meminta untuk pindah?" Tanya dia masih terkekek-kekek.

"Maunya begitu. Bisa ya, Bi?"

"Ya ... Tidak tahu juga sih. Haha. " Bibi tidak bisa berhenti tertawa. "Tapi kalau keadaannya darurat seperti kamu mungkin bisa." Terang bibi dengan nada masih terkekeh-kekeh.

"Memangnya dia berpenampilan seperti apa?" Lanjut bibi lagi.

"Dia tinggi, rambut kecoklatan, celana pendek. Normal sih. Dia memasukkan tas yang lumayan besar ke dalam bagasi kabin pesawat. Aku juga melihat dia membawa sesuatu seperti powerbank ukuran standar pada salah satu sisi kantung tasnya."

"Oh traveller." Tebak bibi.

"Barangkali-"

Grisnald mendadak menyela. "Memangnya kenapa, Kak? Menurut Grisnald itu biasa-biasa saja."

"Kak Frida takut sama orang asing, Grisnald." Bibi menjawabkan dengan nada masih tertawa-tawa.

"Kenapa?" Tanya Grisnald, heran.

"Pas Kak Frida masih kecil dulu, dia mengalami hal yang kira-kira tidak terlalu menyenangkan di Bali-"

"Sudah, jangan dilanjutkan, Bi. Konsentrasi saja mengemudikan mobilnya."

"Baik-baik."

"Tidak adil! Kasih tahu karena apah, Mah?"

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang