56. Orang-Orang Belanda Semua

13 3 0
                                    

"Menurutmu siapa tokoh bapak pengobatan modern?"

Kemudian aku melihat kembali melihat ke arah Kak Kamal.

Mengetahui kalau aku sudah selesai membaca seluruh tulisan diponselnya. Beliau lalu mengeluarkan mik dari saku celana dia, terus beliau memberikanku mikrofon sembari menyimpan kembali ponsel dia ke dalam saku.

Terus kakak tersebut mempersilakanku untuk menjawab sambil pergi menjauhi barisan distrikku, berjalan ke tengah, menungguku, tanpa memberitahu aku diberikan masa tenggat waktunya sampai berapa lama untuk dapat menjawab pertanyaan ini.

Mikrofon ini kupegangi dengan erat.

"..."

Aku mengetahui nama orang yang ada di pertanyaan tersebut, namun yang menjadi kendala adalah jawabannya sedang menyangkut di ujung lidahku! Sangat-sangat di ujung lidah! Sungguh, kenapa itu harus terjadi pada saat-saat genting seperti ini. Arghh ... aku tidak bisa membawa ini keluar.

Aku menengok ke belakang, meminta pertolongan pada anggota distrikku yang dari tadi mereka juga sudah menyentil-nyentil, menawariku bantuan, sejak Kak Kamal mulai pergi menjauh sekaligus menjerai aku sambil tertawa terkekeh-kekeh karena aku meminta sebuah permainan, namun aku tidak bisa mengatasinya sendiri.

Aku merasa kesal mendengar hal tersebut, sebab aku tidak merasa angkat tanga-

Mendadak aku menyadari sesuatu.

Ohhh! Dasar! Ternyata ini semua ulah mereka!? Ya ampun kalian jahat sekali ...

Tapi lupakan hal tersebut dulu, kesampingkan itu dulu. Nanti saja mengurusi itu. Aku harus menjawab pertanyaan ini dulu, ini lebih penting.

Aku mengembalikan gaya dudukku seperti sedia kala, meringkuk lagi baru berbicara dengan nada pelan membelakangi mereka. Kepala masih kutundukkan, menjaga situasi agar Kak Kamal tidak terlalu mengetahui aku sedang meminta bantuan.

"Apa pertanyaannya?" Tanya perempuan berisi.

"Bapak pengobatan modern." Jelasku pada perempuan yang perawakannya berisi.

Dan aku mengulangi itu lagi saat menyadari perempuan lain sebanyak dua orang ikut bergabung. Itu adalah perempuan digodai dan temannya perempuan digodai. "Menurut kalian, bapak pengobatan modern itu siapa?" Tanyaku ke mereka.

Mereka lalu membalas dengan menunjukkan ekspresi ringan, yang artiannya lebih ke keadaan bahwa mereka juga tidak tahu akan hal tersebut. Aku kemudian memberikan petunjuk tambahan, barangkali saja itu akan bisa membuat mereka menangkap sesuatu.

"Dia seorang filsuf, ilmuwan, dokter. Ia dari timur-tengah. Laki-laki, lahir 10 abad silam."

Tapi mereka tetap tidak menangkap apa-apa dan barangkali malah menambah mereka makin kebingungan kurasa. Lihat saja mereka saling memandang satu sama lain sekarang, terus mereka kemudian menutup ketidaktahuan itu dengan memberikanku gelengan kepala sambil tersenyum.

Aku lalu melihat tag nama mereka.

Arillia: "Kau mampu mendeskripsikannya, pasti kau sudah mengetahui itu."

Lydia: "Ya!"

Frida: "Ya, tapi itu berada di ujung lidahku. Kau paham seberapa susahnya kalau suatu hal sudah ada di sana?"

Lydia: "Filsuf, kah?"

Alma: "Apa dia terkenal?"

Frida: "Sebegitu terkenalnya sampai aku saja yang remaja tahu."

Alma: "Ya, tapi, 'kan kami tidak demikian!"

Frida: "Sebutkan saja tokoh filsuf yang kalian ketahui."

Arillia: "Mmm ..."

Alma: "Plato, Aristotoles, Hippocrates ... Leonardo da Vinci?" Ketika menyebutkan nama tokoh terakhir, Alma mengatakannya sambil menyeringai.

Arillia: "Mereka siapa lagi?"

Lydia: "Iya. Orang-orang Belanda semua."

Alma: "Tidak ada satupun orang berkebangsaan Belanda yang tadi kusebutkan."

Lydia: "Masa?"

Alma: "Jujur. Aku yakin dia ada di salah satu dari tiga orang Yunani yang kusebutkan tadi."

Aku kemudian sedikit menemui beberapa petunjuk berkat omongan Alma barusan. Aku berusaha menggali terus memoriku ini biar bisa mengingat itu, dengan bertanya lagi padanya.

"Di-dia terpengaruh dengan Hippocrates, Alma."

Alma menunjukkan muka bingungnya ke aku. Lalu dia berpikir sambil memegangi kepala, tapi ternyata dia menggeleng lagi. "Sebenarnya aku cuma mengetahui hanya sebatas namanya saja. Aku menyebut itu secara serampangan juga sebetulnya." Terang Alma, menggeleng.

Begitu, ya ... sayang sekali.

Terus ia kemudian melanjutkan memegangi kepalanya lagi. Kurasa aku membuat Alma tersinggung karena ia tidak dapat menjawabkan itu untukku.

"Maaf." Kataku ke dia.

Alma tertawa pelan "Kau membuat sejarahku tambah jelek, santai saja."

Aku menunduk lebih ke bawah lalu menengadah terus menggeser pandangan, melihat ke arah Kak Kamal berdiri.

Dan ia kudapati juga melihat ke arahku.

Terus ia tersenyum lalu berjalan ke tengah lapangan.

Oh, tidak. Jangan lagi ....

"Sepertinya dia tidak mendapatkan jawaban." Beritahu Kak Kamal memakai mik.

Tuh, 'kan. Arghh ... dasar! Padahal jawabannya aku tahu!!

Ughh ... gregetan rasanya. Kak Kamal mungkin mengartikan tatapanku tadi adalah tanda bahwa aku menyerah dan tidak bisa menjawab pertanyaan yang ia beri.

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang