64. Terima saja, Itu Nasibmu

15 3 0
                                    

Sekarang kami memasuki Game 1. Sempat ada sambutan-sambutan dulu dari ketua panitia tadi, namun sambutan-sambutan tersebut tidak terlalu lama.

Kulihat tidak ada raut wajah yang sedang berada di situasi mencekam pada peserta-peserta MOS seperti hari pertama MOS kemarin. Mereka terlihat biasa-biasa saja sekarang. Barangkali karena efek baru selesai tur. Suasananya jadi netral dan mereka melupakan acara game 1 ini.

Tapi, hei? Apa tidak ada yang menyadari kalau gadis dari distrik putih dan distrik merah bersitegang barusan? Apa cuma aku yang merasa begitu dan kalian, para peserta MOS ini tidak?

Ok. Move on ya, 'kan? Setelah dipikir-pikir itu termasuk masalah sepele kurasa.

"..."

Oh ya, masih ingat dengan kakak panitia yang membawa amplop kemarin? Dia saat ini menjadi pembawa acara dan ia mengundang seseorang ke atas panggung, yang katanya akan menjelaskan rincian lebih lanjut mengenai acara ini.

"Untuk Kak Wahyu, dipersilakan."

"Terima Kasih. Selamat pagi!!"

"PAGI!!!"

Susunan acara MOS hari kedua hari ini adalah Apel pagi, Tur Sekolah, Game 1, Istirahat, Game 2 kemudian Promosi Eskul?

Aku mau tahu apa yang akan dilakukan di Game 1 dan Game 2, dan yel-yel kapan itu akan diminta.

"Hari ini kita ada kegiatan yang sangat ditunggu-tunggu,"

Ditunggu-tunggu hanya oleh kalian, panitia, tentu saja.

"Isi acara pada game 1 yakni adalah sebuah pentas keterampilan antar distrik. Akan ditampilkan di sini, di atas sini."

Kakak laki-laki itu menunjuk panggung yang saat ini dia tengah berpijak sekarang.

"Mau menampilkan apa, itu sesuka hati kalian. Ingin memberikan pertunjukkan tari, nyanyi, paduan suara, apa saja boleh sesuai kesepakatan masing-masing kelompok. Penampilan kalian akan mendapatkan nilai. Kelompok yang paling banyak mengumpulkan dan yang tidak, hasilnya akan diumumkan saat penutupan acara pada hari ketiga MOS. Ada pertanyaan?"

Semua anggota distrik kebanyakan cuma menanggapi itu dengan gumamam dan menaik-turunkan bahu.

"Baiklah kalau tidak ada yang bertanya. Kami beri waktu lima belas menit untuk bersiap."

Kakak tadi mengembalikan mik pada kakak panitia pembawa acara. Kemudian kakak pembawa acara meminta semua anggota distrik untuk duduk membentuk lingkaran agar lebih mudah berdiskusi. Lalu kami kemudian memecah barisan kami lalu mencari posisi masing-masing sekiranya dapat menyerupai bentuk tersebut.

Asal kau tahu, kelompok distrikku lagi-lagi berhadapan dengan pengeras suara. Namun beruntung kali ini letak barisan kami memiliki jarak aman dengan pengeras suara di dekat panggung tersebut. Logis, sih, lapangan upacara lebih luas daripada lapangan basket.

Akan tetapi masih ada anggota-anggota distrikku yang saling minta ganti tempat dengan rekan-rekan mereka yang posisinya lebih jauh dari alat itu saat membuat barisan menjadi lingkaran.

"Kamu di sini, ya. Ku mohon."

"Ihh, enggak ah."

"Ku mohon."

"Kamu ini kenapa, sih? Terima saja, itu nasibmu."

"Huaa ... kamu kejam sekali ...."

Ketika barisan kami mau selesai membuat barisan melingkar, kami mendapati para kakak-kakak panitia sibuk berlalu-lalang di belakang barisan kami, terus masuk ke suatu kelas terdekat yang kebetulan ada di belakang kami lalu mengeluarkan meja-meja serta kursi dari kelas tersebut terus ditaruh di belakang barisan kami.

Kemudian mereka buat kursi-kursi itu berbanjar dan menghadap ke panggung. Terus kulihat mereka duduk di sana, lalu panitia gendut mendekat dan juga duduk di situ, di tengah-tengah.

"..."

Setelah kami selesai membuat barisan melingkar, Kak Fauzio diikuti Kak Aldi pergi ke tengah. Kak Aldi terlihat membawa sebuah wadah dokumen.

Kak Fauzio kemudian melihat ke barisan kami, para perempuan.

Kami penasaran mengenai apa yang mau Kak Fauzio sampaikan dengan wajah seserius itu.

"..."

"Kita nyanyi, lagu luar." Dia bilang begitu kemudian mengedarkan pandangan ke arah kelompok laki-laki.

Mendengar hal tersebut, aku dan para anggota perempuan lainnya langsung keheranan.

Kami berusaha mencerna apa yang baru saja Kak Fauzio sampaikan ke kami dan kami baru paham setelah menghubungkan itu ke pertunjukan keterampilan barusan. Ketika kami menyadari hal tersebut, kami lebih terkejut lagi.

"Apa-apaan kakak ini!?" Seru Alma dan anggota-anggota perempuan yang lain bersamaan.

"Kenapa memangnya?"

"Mestinya kami berhak mendengarkan lebih dulu tawaran semacam ... Gimana? Nyanyi? Joget? Atau apa? Tapi kakak tidak melakukannya, Kak Fauzio langsung meloncati itu. Menentukannya tanpa meminta izin terlebih dahulu dari kami." Jelas Alma diikuti "Ya, ya!" oleh anggota perempuan sedistrik yang lain, yang sependapat dan juga komplain pada keputusan Kak Fauzio. Mereka tampak tidak senang sama sekali.

Sementara kelompok laki-laki sepertinya tidak ada masalah dengan keputusan tiba-tiba yang Kak Fauzio berikan. Mereka tampak santai-santai saja dan mengobrol dengan rekan-rekan mereka di kanan dan kiri, mereka tidak ada yang protes.

Alma meminta Kak Fauzio memberikan opsi lain untuk dipertimbangkan lagi bersama-sama. Anggota perempuan mendukung ide Alma, akan tetapi Kak Fauzio masih menolak semua keluhan-keluhan mereka.

Alma tidak menyerah dan mencoba cara lain, salah satunya yang ia coba sekarang adalah memicu perasaan keragu-raguan muncul pada Kak Fauzio dengan memberondonginya pertanyaan yang membuat Kak Fauzio bimbang serta membuat dia berpikir kalau ide dia menyuruh kami membawakan nyanyian yang ia pilih tersebut akan gagal.

"Kalau banyak yang berpikiran sama seperti kakak, bagaimana? Penampilan kita mungkin nilainya akan dibagi-bagi bersama distrik lain yang juga membawakan nyanyian yang serupa."

Tapi pendirian laki-laki ini benar-benar kuat. Kak Fauzio tetap menolak dan masih tidak mau merubah keputusan yang sudah ia tentukan. Terus Kak Fauzio entah kenapa lalu menunjuk ke arah Kak Aldi yang sedang mengeluarkan beberapa kertas dari wadah dokumen yang Kak Aldi tadi pegang.

Para kelompok perempuan bertanya apa maksud Kak Fauzio dan ternyata Kak Fauzio ternyata menyuruh para perempuan untuk meminta dukungan pada Kak Aldi. Katanya ia akan memikirkan ulang untuk mengubah keputusannya kalau Kak Aldi keberatan.

Anggota kelompok perempuan terlihat banyak yang geleng-geleng kepala setelah itu.

Aku tidak tahu apakah Kak Fauzio sadar kalau apa yang ia lakukan tersebut dapat menggores reputasinya sebagai laki-laki dihadapan kami, para perempuan, karena dia begitu terang-terangan membebankan seseorang untuk menjawab keluhan yang seharusnya dapat diselesaikan oleh ia sendiri.

Mana memindahkan tanggung jawab ke perempuan lagi.

***

Makasih, ya buat yang udah baca. Kalo bisa sebarin cerita ini ke teman-teman kamu :) Barangkali aja mereka suka. Sampai jumpa di chapter selanjutnya. Bye-bye.

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang