54. Eh? Eh? Tu-tunggu dulu!? Serius ini?

22 5 0
                                    

Pak Abid kemudian menjelaskan latar belakang kunjungan instansi mereka ke sekolah. Beliau juga memberitahu peserta MOS kalau mereka datang lebih awal dari agenda yang sudah dibuat karena mereka juga diharuskan hadir pada acara yang sama di sekolah lain di waktu yang sama pada jadwal kami semula. Oleh sebab itu mereka memajukannya jadi hari ini, takutnya ada yang tidak bisa didatangi.

Suara di dalam tenda makin menjadi seusai mengetahui hal tersebut. Sebagian dari kakak panitia MOS lalu turun ke tenda, pergi ke setiap sela-sela barisan untuk menertibkan peserta MOS yang bicara. Dengan nada rendah mereka mengingatkan kami. "Harap tenang. Pemberian materi akan segera dimulai."

Pak Abid melanjutkan pembicaraan beliau setelah suasana-nya cukup mendukung, terus aku kemudian berusaha menyimak materi yang diberikan bapak itu.

"..."

Dan penyampaian beliau sesuai ekspektasi rata-rata remaja. Pokoknya tidak cocok untuk ukuran tengah hari. Topik yang beliau kemukakan sebenarnya menarik menurutku. Itu soal 'kehidupan remaja sepulang sekolah'.

Sangat berpotensi sekali menambah ilmu dan wawasan sekaligus dapat membuat para peserta MOS ini terus memperhatikan cerita bapak itu sampai selesai. Namun masalahnya, beliau terlihat tidak memiliki ... pengorbanan untuk mengajak para peserta MOS melakukan interaksi balas-membalas atau pun memberikan candaan dalam menyampaikan materi.

Acap kali aku mendengar rentetan komplain bernada rendah, terlontar dari mulut peserta MOS yang mengeluh dan bosan.

"Sudah habis, 'kan waktunya ini?", "Lapar".

Seperti itu ...

Kupikir kode-kode yang mereka bunyikan sudah cukup nyaring, apalagi hampir semua melakukan gerutuan. Aku yakin beliau dapat mendengar hal itu, tapi bapak tersebut tetap meneruskan materi dengan pembawaan yang datar.

"..."

Sebagian dari peserta MOS, apalagi rekan distrikku sendiri banyak yang saling menyenggol badan untuk membuat satu sama lain terjaga. Beberapa peserta ada juga yang colong-colongan pergi ke keran air terdekat untuk mencuci muka lalu kembali lagi ke barisan.

Air ... aku juga ingin membasuh muka untuk menyegarkan diri supaya tidak mengantuk, namun aku tidak sampai hati melakukannya. Prosedur yang dilakukan untuk melaksanakan hal tersebut, semuanya bisa dilihat oleh bapak itu. Takutnya bisa menambah sakit hati beliau.

Astaga. Kantukku tambah kuat lagi. Kalau saja ada orang ketiga yang menceritakan keadaan wajahku saat ini, akan terlihat seperti apa kira-kira mukaku sekarang.

"Ada yang ditanyakan?" Pak Abid kemudian selesai membawakan materi, terus beliau memberikan kesempatan pada kami untuk bertanya. Namun lagi-lagi para peserta MOS memberikan umpan balik berbentuk gumamam.

"Jangan bertanya, katakan 'tidaak' langsung." Bisik salah satu peserta MOS di belakang.

"Bebas saja, silakan bertanya." Pak Abid masih sabar menunggu peserta yang ingin mengacungkan tangan. Beliau celinga-celinguk dan mondar-mandir di tengah sana, menundukkan kepala, memutar pergelangan tangan kanannya perlahan lalu menyisingkan lengan baju sedikit, melihat jam tangan.

"Katakan 'tidak' kalau kalian ingin cepat pulang." Perempuan di belakangku berbunyi lagi.

"Ayo, jangan sungkan-sungkan." Ulang Pak Abid.

"Nah, jangan sungkan-sungkan kata bapak itu. Ayo katakanlah 'tidak' "

"Ppfft. Kau saja lakukan."

"Kalau satu-dua orang yang melakukannya tidak akan berhasil."

Obrolan berlanjut.

"Aku takut diketawain nanti."

"Kau juga takut dengan rumor itu, 'kan"

"Makanya."

Nampak mata Pak Abid menggeser pandangan ke seluruh penjuru barisan distrik, masih tidak menyerah mencari peserta MOS yang mau mengacungkan tangan dan mau bertanya. Tapi tidak ada satupun, itu tidak ada satupun yang mengangkat tangan.

Aku lalu mencoba mengetahui bagaimana reaksi Ibu Kepala Sekolah mengetahui calon siswa-siswi dia yang keadaannya seperti ini. Aku yakin beliau merasa terbelah hatinya melihat ...

Eh? K-kenapa beliau jadi melihat ke arahku.

"Ya kamu, silakan." Ucap seseorang, yang setelah kudapati itu adalah bapak kacamata tadi, Pak Abid tadi, yang sekarang ini juga turut melihat ke arahku.

Eh!? Aku? Bagaimana bisa jadi aku yang kena. Apa aku melewatkan sesuatu? Aku berani menjamin dari tadi ini tangan tidak aku angkat ke atas. Apa beliau mengubah formatnya dari "acung tangan" ke sistem "siapa beruntung" untuk bertanya?

Aku masih tidak mempercayai ini. Pasti bukan aku, 'kan?

Aku lalu bertanya pada Pak Abid yang masih ada di tengah lapangan sana, dengan gesture tanganmenunjuk-nunjuk diriku sendiri untuk mengonfirmasinya ...

 ... dan beliau menganggukkan kepala!?

Eh? Eh? Tu-tunggu dulu!? Serius ini? Yang benar saja.

Aku kemudian melihat sekeliling.

Astaga Frida, kau ditunggu semua orang sekarang.

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang