23. Arrgh!! Kumohon jangan Di Dekat Fotoku!

39 14 0
                                    

Lalu ibu tersebut selesai dengan berkasku kemudian beliau mengambil kartu pendaftaran tadi dan kumpulan cetakan foto ukuran 2x3 satu lembar dari berkasku kemudian menempelkannya ke suatu bagian di atas kertas kartu pendaftaran, dia mengisi sesuatu di kartu pendaftaran tersebut kemudian ia beri stempel di bagian-

Arrgh!! Kumohon jangan di dekat fotoku!

Ah ... dia sudah memberikannya.

Ibu itu kemudian mengembalikan kartu tersebut pada Bibi. "Nanti tes wawancara. Wawancaranya nanti face-to-face."

Eh? Tes wawancara? Face-to-face? Mendengar hal itu aku langsung panik. Aku kemudian menyikut pelan bibi dari belakang, bermaksud untuk menanyakan perihal tes wawancara itu, namun bibi tidak mengerti-ngerti.

"Bawa kartu pendaftaran ini, nanti ditandangani petugas di sana. Silakan menunggu panggilan ya, bu, ya." Tambah ibu itu masih dengan nada bergurau.

Aku menyikut pelan bibi lagi. Paham-pahamlah, Bi! Tanyakan soal tes wawancara itu!

"Di-di ruangan mana, ya? Tesnya?" Tanya bibi.

Aduh! Bukan itu! Aku ingin tahu apakah ada pengecualian untuk tes wawancaranya! Tapi sudahlah. Aku tidak tega menyiksa bibi yang sudah terlihat kengerian.

"Tes wawancara di sana, Bu Amara." Beliau menunjuk jarinya lurus ke arah belakang kami terus kami menengok ke belakang, melihat telunjuk tersebut yang mengarah pada bangunan di luar kelas yang berada di paling ujung, yang di antaranya ada lapangan basket dan lapangan voli.

"Lab Akuntansi." Tambah ibu itu lagi.

"Ah, itu. Baik, terima kasih, bu. Kami permisi dulu." Jawab bibi sambil memberi senyuman.

"Sama-sama, Bu Amara. Silakan." Jawab ibu tersebut masih dengan nada bercanda tadi dan juga sambil memberikan senyuman.

Bibi beranjak dari tempat duduk kemudian dia memberikanku kartu pendaftaran yang ia terima dari ibu tadi lalu mengajakku dan Grisnald berjalan ke luar kelas menuju Lab Akuntansi. Kupandangi kartu pendaftaraanku. Uwah, dugaanku benar. Cap stempelnya mengenai bagian wajah. Mukaku seperti memiliki tato garis dan huruf-huruf yang membuat tulisan SMK di sana.

"Itu ibu guru bibi waktu SMK? Dulu bibi sekolah di sini juga?"

"Iya. Wali kelas sekaligus guru Bahasa Indonesia."

"Oh."

"Ingat, Frida."

"Yaa ..?"

"Waspadalah terhadap ib-" Bibi mendadak berhenti menjelaskan "lupakan saja." Lanjut bibi.

"Baiklah." Jawabku. Bibi mengurungkan sesuatu.

"Kau juga, Grisnald."

"Soal apa? Mama ini kenapa?"

Aku menatap ke depan, ke Lab Akuntansi. Dari sini terlihat di situ banyak sekali para orang tua dan calon peserta didik yang sedang menunggu.

Tes wawancara, ya ...

Aku tidak mengira kalau mendaftar di sekolah menengah kejuruan, yang sederajat dengan sekolah menengah atas, harus ada tes wawancaranya, seperti mau melamar pekerjaan saja. Seingatku, ketika aku mendaftar sekolah SMP dulu, aku tidak melakukan tes wawancara seperti ini. Atau apa aku saja yang lupa dan kekurangan informasi?

Tapi ini mendadak sekali, aku belum siap. Apa itu akan mempengaruhi diterima atau tidak di sekolah inik kalau aku gagal?

Akan tetapi aku harus mengisi kartu pendaftaran ini, mendapatkan tanda tangan petugasnya di kolom-kolom yang bertuliskan "Tes Wawancara" dan juga mendapatkan tanda tangan lagi di kolom sebelahnya, yaitu kolom "Tes Tertulis" pada kartu pendaftaran. Aku harus melaluinya dulu.

Sesampainya di lab Akuntansi, bibi dan aku langsung mencari tempat duduk kosong dan kami berakhir dengan duduk di atas tembok taman depan kelas bersama orang tua/wali murid lain yang tidak kebagian tempat duduk sebab kursi tunggu yang disediakan sekolah semuanya telah terisi.

Sesekali aku melihat ruangan tempat tes wawancara tersebut berlangsung. Siswa-siswi yang keluar dari sana banyak yang mengelus dada dan menarik napas.

Karena menyaksikan pemandangan tersebut menambah kepercayaan diriku makin rusak, aku mengedarkan pandangan ke lingkungan sekolah yang memiliki situasi yang lebih menenangkan untuk mengurangi kegugupan.

Seperti menonton tayangan langsung seorang anak kecil di pojok sana, yang sebentar lagi akan menjatuhkan scope es krim dia dengan beberapa jilatan lagi.

Plop!

(Suara tangis terdengar, terus orang-orang banyak yang menoleh ke situ.)

Pintu gerbang sekolah berjarak sekitar 60 langkah dari sini, Frida. Cukup jauh untuk bisa kabur dari tes wawancara ini.

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang