102. Atau Otak Mereka Sedang Mereka Nonaktifkan

11 1 0
                                    

Kak Fauzio dan Kak Aldi mengumpulkan kami di kelas untuk persiapan acara terakhir MOS hari ketiga, yaitu Game 3. Dan sama seperti kami, kelompok-kelompok dari distrik-distrik, mereka juga berkumpul di kelas mereka masing-masing untuk melakukan persiapan.

Apa yang dikatakan Alma sebelumnya benar. Kami diwajibkan untuk mendapat tanda tangan dari orang-orang penting yang ada di sekolah dan kulihat totalnya itu ada dua puluh kolom lebih di kertas tanda tangan ini, ada 20-an kakak kelas.

Katanya kalau kami tidak melakukan ini, tidak mengumpulkan tanda tangan mereka. Catatan kehadiran kami pada hari-hari sebelumnya akan diabaikan, alias tidak dinyatakan hadir.

Kami terkejut, terus ada beberapa anggota kami yang menanyakan itu ke Kak Aldi dan Kak Fauzio apa itu sungguhan, lalu Kak Aldi dan Kak Fauzio kemudian mengangguk mengiyakannya.

Jadi berarti rumor kalau ada siswa dikeluarkan pas MOS itu benar.

Diantara beberapa anggotaku yang terlihat memikirkan itu ada juga dari mereka yang kulihat menunjukkan raut wajah tersenyum serta yang tidak percaya sepenuhnya akan hal tersebut.

"..."

Kemudian anggota laki-laki bertanya pada Kak Fauzio apakah kami nanti akan diberikan suatu kemudahan agar bisa mengetahui orang yang akan kami mintai tanda tangan, sebab di kertas tanda tangan kata kelompok laki-laki, cuma ada nama  ... dan sudah itu saja, tidak ada bantuan sama sekali selain hal tersebut. Tidak ada foto.

Terus Kak Fauzio terlihat geleng-geleng.

Kami pun menyadari anggota laki-laki sama sekali tidak punya rasa apa, ya ... pokoknya suatu kesadaran semacam itu, atas apa yang ada di sekitar mereka.

Atau otak mereka sedang mereka nonaktifkan? Mode pesawat? Mode hemat baterai?

Kemudian salah satu perwakilan dari kelompok perempuan lalu menjawabkan keluhan yang keluar dari kelompok laki-laki tersebut dengan mengingatkan kembali apa yang sudah terlewat.

"Semua panitia dan kakak pembimbing pakai tanda pengenal. Apa di sini tidak ada yang mengingatnya? Cocokkan saja nama yang ada di kertas ini dengan yang ada di identitas mereka. Habis perkara."

Lalu kelompok laki-laki mengangguk sambil mengatakan. "Oh iya-ya.", "Benar-benar."

"Eh? Tapi itu masih menyusahkan!" Seru mereka lagi.

"Sudah-sudah. Kalau diberitahu semua jadi tidak seru." Terang Kak Fauzio menengahi.

Kemudian kelompok laki-laki mengeluh sebentar, lalu mereka berhenti mengeluh tidak lama setelah itu.

"..."

Aku pasang kertas tanda tangan tersebut di papan penjepit. Kak Fauzio dan Kak Aldi kudapati ada di daftar tanda tangan di kertas ini. Itu berarti kakak-kakak pembimbing Erza juga ada di sini. Baiklah, kalau begitu aku akan ke kelasnya Erza-nya saja langsung, barangkali saja aku bisa barengan mencari tanda tangan bersama dia.

Senangnya.

Lalu aku disadarkan oleh Arillia yang mengajakku ke depan kelas untuk meminta tanda tangan kak Aldi dan Kak Fauzio.

Kudapati di depan kelas, sudah banyak sekali rekan-rekan anggota distrik kami yang menggerumbungi mereka berdua, meminta tanda tangan.

Oh, iya benar juga. Aku harus mendapatkan tanda tangan mereka terlebih dahulu karena kalau ini ditunda-tunda itu nanti pasti akan menyulitkanku sendiri.

Pintu kelas kemudian kulihat ditutup rapat oleh rekan-rekan laki-laki untuk sementara waktu agar ketika kami mengantre meminta tanda tangan Kak Fauzio dan Kak Aldi, tidak ada anggota-anggota dari kelompok lain yang tiba-tiba menginvansi masuk ke dalam kelas kami.

"..."

Setelah kami semua selesai meminta tanda tangan. Pintu kelas baru kami buka lagi dan ketika pintu tersebut di buka, kami terperangah sekali saat melihat keadaan di luar yang awalnya lengang saat kami pertama kali menutupnya, kini keadaan di sana seperti mengalami kepanikan besar-besaran.

Para peserta MOS, dari hulu ke hilir berlarian seperti prajurit-prajurit pada film perang abad pertengahan. Memburu, menghadang dan mengepung para kakak senior mereka.

Dan ada juga beberapa peserta MOS laki-laki yang badannya lebih besar dari kakak-kakak kelas yang mereka temui, terlihat menakut-nakuti kakak kelas itu untuk segera memberikan tanda tangan dia, terus membantu mereka menemukan kakak-kakak lain yang ada di daftar.

Sementara peserta-peserta MOS lain, yang tidak melakukan hal se-ekstrem mereka, mereka kebanyakan cuma berjalan menyisiri kelas-kelas distrik. Dan kalau mereka menemui orang yang lebih tua dari mereka, alias kakak pembimbing atau kakak panitia, mereka dengan sopan meminta izin pada kakak-kakak tersebut untuk melihat tanda pengenal atau bertanya nama kakak itu siapa, terus mereka mencocokannya dengan nama yang ada di kertas tanda tangan, seperti aktivitas yang kira-kira ada sekarang di kelas kami.

Kelas distrik kami mulai dimasuki sejumlah peserta MOS yang ingin meminta tanda tangan Kak Fauzio dan Kak Aldi secara tertib dan mengantre.

Tidak lama setelah itu, kelompok distrikku kulihat sudah menjalar semua ke seluruh penjuru sekolah tanpa dikomando.

Lydia, Arillia sama Alma, mereka juga melakukan itu dan pamit duluan padaku.

Tapi dari cara mereka menyebar, sepertinya mereka berkeliling sendiri-sendiri mencari kakak-kakak yang ada di daftar untuk dimintai tanda tangan, tidak berkelompok seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan perempuan yang lain. Tidak tahu alasannya kenapa mereka melakukan itu.

Aku? Aku tentu saja ke kelas distriknya Erza lebih dahulu sesuai rencana sambil nanti menyisiri kelas-kelas distrik lain untuk minta tanda tangan kakak-kakak pembimbing dalam perjalanan menuju ke situ. Istilah kerennya kata orang, mmm ... satu batu dilempar dua burung kena?

Baiklah. Mari kita langsung berangkat saja!

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang