39. MOS. Hari Ke-1

33 10 0
                                    

Sebenarnya istilah MOS tidak dipakai secara langsung di sekolah ini. Pihak sekolah menyingkat acara itu menjadi MOPDB, hasil memendekkan kalimat "Masa Orientasi Peserta Didik Baru".

Aku penasaran bagaimana kalian mengeja "MOPDB" tersebut. Apa langsung dibaca mentah-mentah atau seperti ini kalian membunyikannya.

Em-O-Pe-De-Be.

MOPDB.

Yah, tapi itu tidak penting.

"Syukurlah tidak terlambat."

"Hehehe."

Sekelompok laki-laki berlari mendahuluiku sambil terkekek-kekek saat memasuki gerbang sekolah. Lalu bertambah banyak lagi siswa-siswi lain yang menyalip, namun mereka tidak ikut terkekek-kekek, cuma menyalip.

"..."

MOS di sekolah ini juga tidak sedramatis dari apa yang semua orang pikirkan mengenai MOS pada umumnya. Kegiatan MOS-nya sendiri baru akan dimulai pukul tujuh pagi. Tidak seperti cerita MOS-MOS yang dibagikan pada blog-blog pribadi di internet, yang rata-rata sudah disuruh berbaris sebelum matahari terbit.

Pakaian kami hari ini juga, ya ... masih beradab? Mengenakan kaos olahraga sekolah dengan lengan dan celana yang panjang, siku-lutut-tumit kaki tertutupi dengan baik. Tidak memakai penutup kepala dari bola plastik yang dibelah dua dan tidak mengenakan atribut tak wajar lainnya di badan.

Barangkali apa yang membuat MOS di sini masih dianggap MOS adalah tas karung yang kami bawa dan barang lain yang langsung menimbulkan kecurigaan mengapa benda tersebut dibawa oleh seorang pelajar. Serius ini begitu mencolok sekali menurutku.

"Kenapa aku mau saja menurutimu menggunakan jalan pintas palsu itu."

"Iya-iya. Aku minta maaf."

Banyak jalan alternatif yang barangkali sudah dicoba oleh peserta-peserta MOS di depanku ini, soal bagaimana caranya sampai ke sekolah tanpa menjadi pusat perhatian masyarakat sekitar. Seperti yang kemungkinan sudah dilakukan oleh dua laki-laki yang berjalan di depanku. Sebab salah satu dari mereka terus menyalahkan teman di sampingnya karena membuat ia merasakan bagaimana tersesat karena menggunakan jalan pintas yang sama sekali tidak dia ketahui dulu.

Oh ya. Dalam perjalanan ke sini tadi, aku juga sempat menjumpai beberapa siswa-siswa sekolah lain yang lewat di depan sekolahku, yang level pelaksanaan MOS mereka kurasa berkali-kali lipat levelnya daripada MOS yang sekolah ini lakukan. Kenapa aku bisa yakin mereka adalah peserta MOS sekolah lain? Karena bibi yang memberitahu.

Aku juga sebelumnya tidak percaya mereka itu adalah pelajar sebab mereka naik motor sudah berboncengan bertiga, mereka juga berpakaian layaknya orang hendak bercocok tanam terus kena angin puting beliung di tengah perjalanan.

Baju yang mereka kenakan robek-robek, astaga! Dan mereka juga mengaplikasikan bedak basah warna kulit di seluruh wajah. Mereka juga memakai topi dari tanaman purun dan pakaian robek-robek tadi. Hal-hal tersebut sangat mendukung sekali.

Hebatnya. Meski mereka dipermalukan se-ekstrem itu, bahkan sejak mulai berangkat dari rumah dan besar kemungkinan akan dipermalukan lagi di sekolah, remaja-remaja tadi kelihatan sangat menikmatinya. Tak ada raut kekhawatiran yang sedikitpun kulihat pada wajah mereka. Tidak seperti yang ditampilkan oleh peserta-peserta MOS di sekolah ini.

Sekelompok laki-laki yang mendahuluiku tadi di gerbang, mereka sudah bisa dikatakan tidak menikmatinya, 'bukan? Malahan kedua-duanya sekarang masih saling mencurahkan isi hati mereka, betapa tidak siapnya mereka menghadapi MOS hari ini.

"Ahh ... bagaimana MOS-nya nanti, ya?"

Mereka laki-laki padahal. Bagaimana dengan perempuannya kalau laki-laki-nya saja sudah begitu.

Aku tidak tahu apa yang mereka takutkan. Sampai sekarang aku juga belum mendapat informasi apapun mengenai penyelenggaraan MOS di sekolah ini seperti apa. Apakah memang layak membuat mereka ngeri atau hanya mereka sendiri yang melebih-lebihkan.

Kalau iya, aku memuji bagaimana sekolah pilihan Elisha ini menutup-nutupi kegiatan MOS mereka sampai berita negatifnya tidak bisa keluar.

MOS mungkin akan menjadi pengalaman yang akan sangat dikenang pada masa-masa tua kelak menurutku. Dia akan mempengaruhi penilaian mengenai masa remajamu di sekolah, apakah menyenangkan atau tidak? Memang masa-masa seperti ini kemungkinannya sangat kecil sekali untuk bisa diulang dan bagi remaja yang tidak menikmati itu sampai akhir, mungkin saja akan berbuntut penyesalan di kemudian hari.

Untuk individu yang sudah lenyap urat malu dan suka bersenang-senang, barangkali itu akan jadi masalah kalau MOS ini tidak dinikmati. Namun bagi anak yang memiliki sifat yang berkebalikan serta memikirkan harga diri, akan jadi seperti apa kedepannya jika ini tidak ditutup-tutupi, semua permasalahan tersebut harus ditangani secara serius.

Contoh kasusnya aku. Tempat tinggal dekat, jaraknya cuma berkisar 300 meter dari rumah ke sekolah, tapi pergi ke sini pakai mobil.

Ketahui saja. Aku jujur tidak bisa menahan rasa maluku lagi ketika baru beberapa langkah aku keluar dari rumah bibi, salah satu tetangga bibi dan anaknya sudah mendapatiku berpenampilan ke sekolah dengan tas karung dan satu benda lainnya yang kubawa. Kapasitas rasa malu ku langsung penuh saat ibunya menyapa ku dengan muka menyeringai sambil menutupi mulut anaknya yang saat itu sudah mengatakan lebih dahulu dari sapaan ibunya barusan, yakni "Wah! Apa itu, Mah?" sambil berusaha menurunkan tangan anaknya yang sedang menunjuk tas yang kupakai dengan tangan dia yang lain.

Lantas akupun segera putar balik ke dalam, kembali ke dalam rumah dan meminta bibi untuk mengeluarkan mobil SUV milik suaminya, untuk kesekian kalinya lagi, dari tempat mobil yang sempit tersebut, untuk segera mengantarkanku ke sekolah

Meskipun anak itu tidak mengucapkan sesuatu yang tidak perlu. Sebagai orang yang sudah beranjak dewasa dan sudah mengerti banyak hal. Aku mengerti sebab anak tersebut bereaksi, apalagi pas ibunya menambahkan hal barusan.

Sudah kubilang, 'kan tadi, ini menyangkut harga diri. Aku tidak membohongi siapapun, 'kan? Aku cuma memaksimalkan apa yang ada.

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang