87. Ayo. Tidak diapa-apain, kok.

18 1 0
                                    

Sehabis acara perkenalan, promosi eskul berakhir. Kakak panitia pembawa acara langsung mengumumkan kegiatan selanjutnya, yakni Game 2 sebentar lagi akan dimulai di sini, di lapangan basket. Lantas, semua peserta MOS, termasuk Alma, Lydia dan Arillia sama aku, yang mengira game 2 tidak dilaksanakan karena panitianya lupa, kulihat banyak yang saling berpandangan dan bergumam mendengar pemberitahuan tak disangka-sangka tersebut. Panitia berusaha meredakan keramaian kemudian menyuruh mereka untuk duduk manis menantikan apa yang selanjutnya akan dilakukan di acara tersebut.

Kudapati Alma geleng-geleng kepala dan mengeluarkan beberapa keluhan, sementara Lydia mengusap-ngusap punggung Alma. Arillia tersenyum melihat apa yang dilakukan kedua temannya itu.

Kakak pembawa acara kemudian mengundang seseorang ke atas panggung tenda lapangan basket dan yang-

Dasar ....

Yang ternyata dipanggil dan naik ke sana rupanya adalah si kakak dari distrik putih.

Selesai kakak genit tersebut naik ke atas panggung, sambil berdirian di situ memegang mik, kakak genit tersebut kemudian menegaskan bahwa kali ini giliran dia yang mengambil alih kemudi kepemimpinan acara MOS dan yang menyelenggarakan Game 2.

Oh ... barangkali urusan ini yang membuat kakak genit itu dipanggil pas dia mendekatiku saat itu.

Kemudian dari belakang panggung, tampak beberapa kakak panitia laki-laki datang membawa kotak kardus yang kira-kira besarnya menyamai kulkas satu pintu, sama satu stoples transparan.

Mereka meletakkan kotak kardus barusan di tengah lapangan basket dengan cara direbahkan, sementara stoples-nya, mereka taruh di atas meja di tenda lapangan yang ada di belakang kakak genit. Kuperhatikan di dalam stoples tersebut berisi kertas-kertas yang dilipat-lipat.

Setelah panitia yang membawakan barang-barang tadi selesai. Kakak genit memerintahkan kami untuk mengirim perwakilan distrik untuk pergi ke tengah sana, ke tengah lapangan, minimal dan maksimal berjumlah dua orang per satu kelompok distrik. Kakak itu melanjutkan lagi kalau kakak pembimbing distrik juga boleh ikut serta. Sebagai contohnya, dia sendiri, kakak pembimbing distrik putih. Dia ikut ambil bagian dalam permainan.

"Tapi kakak pembimbing yang mewakili kelompok tidak boleh dua-duanya, ya. Yang main."

Larang kakak genit pakai mikrofon.

Setelah itu, kudapati anggota-anggota laki-laki dan perempuan dari distrik merah, distrik biru dan anggota laki-laki serta perempuan dari distrik-distrik lainnya banyak berdiskusi dan tak lama kemudian yang beberapa dari mereka ada yang bangkit beridri, terus keluar dari barisan kemudian pergi ke tengah lapangan situ, namun ada pula kelompok-kelompok lain, yang kulihat anggota-anggota mereka saling dorong-dorongan dan tunjuk-tunjukkan satu sama lain, menyuruh rekan-rekan mereka untuk pergi mewakili distrik untuk ikut Game 2, demikian juga dengan anggota kelompokku.

Di tengah keramaian ini, aku merasa ada yang menginvansi personal space-ku lagi seperti yang kakak genit lakukan sebelumnya, mengetahui hal itu aku dengan cepat, langsung menoleh ke sumber terkuat dari perasaan tersebut berasal, menoleh ke sebelahku dan setelah aku menoleh ternyata itu adalah Kak Aldi.

Kak Aldi yang sebelumnya kulihat berdiri di barisan kelompok laki-laki kami di belakang, sudah ada di depan sini sekarang, memperhatikan ... kakak genit itulebih dekat?

Kelompok perempuan lainnya juga mulai menyadari keberadaan Kak Aldi di sini, dan bebera dari mereka tampak berdiskusi sambil melirik ke Kak Aldi lalu mulai mengajak kakak itu bicara.

"Ikutan yuk, Kak. Hehe ..." Ajak salah satu anggota perempuan distrikku dengan nada bercanda.

Dia mengajak Kak Aldi untuk mengikuti event tersebut, ke tengah lapangan untuk ikut main.

"A-ayo." Sahut Kak Aldi malu-malu, namun ada kesuguhan pada nada jawabannya.

Ah ... dia menanggapi itu secara serius.

Mengetahui itu mereka yang berdiskusi tadi, apalagi perempuan yang mengajak Kak Aldi barusan, terkejut.

Mereka mungkin tidak mengira kalau Kak Aldi akan memberikan jawaban seperti itu. Mereka tahu betul kalau Kak Aldi tersebut adalah tipe perempuan yang pemalu, dan aku tadi juga sudah menempatkan dia di urutan terakhir untuk peringkat orang yang mau ikut dalam game ini tadi, namun ternyata dia menerima ajakan mereka.

Hah! Sebenarnya kalau kalian lebih memperhatikan keadaan sekitar, logis Kak Aldi mau melakukan itu. Ada kakak genit di sana. Crush-nya Kak Aldi. Ini adalah kesempatan dia lebih dekat dengan kakak genit itu dengan mengikuti lomba ini karena kakak itu juga ikut ambil bagian.

Para anggota distrik oranye yang barusan dorong-dorongan dan tunjuk-tunjukkan satu sama lain untuk menjadi perwakilan distrik untuk main, tampak terlihat makin dorong-dorongan lagi, dan kali ini mereka memaksa satu sama lain untuk mendampingi Kak Aldi.

Mereka kelihatan termotivasi sih dari apa yang Kak Aldi lakukan tadi, untuk ambil bagian dalam permainan itu. Sekaligus dibarengi rasa waswas, sebab jujur, kami semua tidak punya petunjuk serta curiga, game ini maunya apa dengan peralatan yang ada di tengah lapangan tersebut.

"Tidak, ah. Kak. Tidak jadi-tidak jadi." Ucap perempuan yang barusan mengajak Kak Aldi, sambil menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan cepat sekali. "Saya tidak berani. Kalo ada apa-apanya." Lanjut perempuan itu.

"Ayo. T-tidak diapa-apain, kok." Ajak Kak Aldi tersenyum.

"Iya. Tidak digigit, ya, 'kan Kak Aldi?"

"Yasudah, kamu saja sana, gih!"

"Kak Aldi ..."

Tiba-tiba ada seseorang bersuara di belakangku, setelah kutengok ke sana, aku melihat Arillia sudah mengangkat tangannya.

Eh? Ada apa dengan hari ini? Kok perasaanku agak bagaimana gitu ....

"..."

Singkat cerita, Kak Aldi sama Arillia kemudian pergi ke tengah lapangan, ikut bergabung bersama peserta-peserta lain.

Aku sepintas melihat ada dua peserta MOS berpakaian ungu di depan sana sedikit terhalang badan Arillia dan Kak Aldi. Kuperhatikan sekali lagi ke arah situ setelah badan Kak Aldi serta badan Arillia berhenti menghalangi, dan ternyata ada Erza di depan sana!

Ya ampun!? Erza juga ikut!

Lantas, aku langsung beranjak dari tempat dudukku, bangkit, mencari kakak pembimbingku yang satunya, Kak Fauzio, untuk minta izin.

(Aku melihat sekitarku dan Kak Fauzio tidak ada sejauh mata memandang).

Eh? Pergi ke mana kakak itu? Kok tidak di sekitar sini.

(Aku kemudian mendapati kakak kelas random, yang kebetulan posisinya berdiri dekat dengan barisan distrikku, terus aku cepat mendekati dia).

"Anu, kak?" Tegurku ke kakak laki-laki tersebut.

Kakak itu berpaling. "Ya?"

"Apa saya masih boleh ikut game?"

Kakak itu melihat ke tengah lapangan lalu kembali melihatku lagi. "Maaf. Sudah tidak bisa."

"Eh? Kenapa kak?" Tanyaku, masih berusaha agar bisa diikutsertakan dalam game ini.

"Perwakilan distrikmu sudah pas, 'kan? Jumlah pemainnya nanti tidak cukup dengan talinya kalau kamu ikut."

Tali?

(Aku melihat ke tengah lapangan sana lalu melihat ke kakak genit itu yang tampak sekarang sedang mengatur-ngatur alat di sana).

Memangnya yang kakak ini mau lakukan itu apa, sih? Aku tidak bisa menangkapnya sedikitpun.

.... Dan melihat dari suatu kesepadanan di depan sana, yaitu jumlah laki-laki dan perempuannya berimbang. Aku semakin merasa tidak enak dengan game ini.

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang