27. Jawaban Di Hati & Jawaban Di Mulut

22 10 0
                                    

Para pendaftar yang berbarengan denganku kulihat ada empat orang, tambah aku jadi lima. Dan dari lima orang tersebut hanya aku dan satu perempuan lainnya yang perempuan.

Aku bersengaja menjadi orang yang masuk paling terakhir setelah keempat dari mereka masuk semua ke dalam lab saking berhati-hatinya aku saat ini. Dan suasana di dalam ruangan nyaris sama seperti yang aku khawatirkan.

Para pewawancaranya itu ada lima dan kelimanya tersebut adalah laki-laki semua. Dan mereka kelihatan ... menikmati pekerjaan mereka. 

Wajah-wajah para pewawancara itu rata-rata membuatku gugup. Aura yang mereka keluarkan agak bagaimana begitu, apalagi pendingin udara di dalam sini sedang dinyalakan, jadi tambah lumayan mencekam keadaan di dalam sini.

Aku tidak tahu ini sifat bawaan lahir mereka atau karena ini sudah berada di nomor ratusan jadi mereka terlihat seperti itu.

"..."

Teguk ....

Wah, itu nyaring sekali.

(Aku menolah ke laki-laki di sebelah karena ia tadi meneguk air liur sampai kedengaran olehku).

Laki-laki yang berada di sampingku ini, perasaan gugup dia terlihat begitu nampak. Dan aku sekarang sudah berulang-ulang melihat anggota tubuhnya mengkhianati dia sendiri dengan beberapa kali membuka lalu mengepalkan tangannya.

Para pendaftar lainnya barangkali mengalami hal itu juga, tapi tidak kelihatan jelas dari sini karena tertutup badan besar laki-laki yang gugup di sebelahku tadi.

Ya, kami sekarang masih belum duduk di tempat duduk di sana dan kami kompak berdirian di pinggir ruangan menunggu dipanggil, sebab pewawancara-pewawancara itu, mereka masih terlihat sibuk mengurusi berkas-berkas di atas meja mereka masing-masing.

"Ahh, kalian silakan duduk duluk." Kata salah satu laki-laki dengan setelan putih-hitam yang memakai tag nama di leher, menghampiri dan menegur kami.

"Ah!? Mmm ... d-di mana, ya kak?" Tanyaku gemetar, mewakili kami berlima.

"Yang mana saja boleh." Jawab staf laki-laki tersebut.

Akupun kemudian cepat-cepat mencari pewawancara yang aku yakini paling tidak menyeramkan di antara mereka dan aku sudah mendapatkan itu terus aku segera ke tempat duduk tersebut untuk diwawancarai.

Namun ketika aku berjalan cepat ke sana, aku bertabrakan dengan para pendaftar lain, yang ternyata mereka juga memilih pewawancara yang ada di tengah. Akibatnya salah satu dari kami ada yang terjatuh.

Petugas yang menegur kami tadi menegur kami lagi untuk hati-hati. Lalu kami diminta untuk duduk dan mulai untuk diwawancarai.

Aku bermaksud hendak duduk di tengah, namun tempat duduk itu cepat ditempati oleh seorang perempuan dan dia terlihat tidak mau pergi dari sana, aku dan yang lainnya pun mengalah kemudian menyebar ke pewawancara lain, duduk, memberikan berkas masing-masing ke pewawancara lalu mulai diwawancarai.

Aku mendapatkan pewawancara bapak-bapak kacamataan dengan frame kacamata yang ketebalannya sedang, yang duduk di sebelah kanan pewawancara yang ada di tengah tadi.

Dia: (pewawancara membuka map berkasku lalu melihat isi map itu). "Frida Halisyah?"

Aku: "..." (mengangguk)

Dia: Kamu juga mendaftar di sekolah lain?

Aku: Tidak, pak.

Dia: (pewawancara melihat berkas-berkasku yang satunya. Dan dia berhenti dan memandangi sesuatu di sana setelah dua sampai tiga kali membalik kertas). "Kamu dari luar daerah. Kenapa sampai jauh-jauh mau sekolah di sini?"

Aku (jawaban di dalam hati): "Karena Erza lah, pak."

Aku (jawaban di mulut): "Anu ... itu ... Eee ... ingin mencari pengalaman baru, pak."

Dia: "Pengalaman baru?"

Aku (jawaban di mulut): "Iya. Hehehe."

Dia: "Sekolah SMK di sini banyak, 'kan? Kenapa jadi memilih sekolah ini?"

Aku (jawaban di dalam hati): "Sama, pak. Karena Erza."

Aku (jawaban di mulut): "Kebetulan keluarga saya ada yang tinggal di dekat sini."

Dia: "Keluarga yang mana?"

Aku (jawaban di mulut): "Adik ibu saya."

Dia: "..." (mengangguk paham) "Kenapa mau memilih jurusan multimedia?"

Aku (jawaban di dalam hati): "Karena Erza. Urghh ini jawaban bisa ku karang barangkali. Tapi kalau jawabanku tidak meyakinkan apakah mereka akan menimbang-nimbang meluluskan siswa/i yang memilih jurusan ini karena ingin belajar atau cuma sekolah biasa saja dari hasil wawancara? Arghh!! Jawab saja yang bagus!"

Aku (jawaban di mulut): "Sebenarnya saya juga tidak tahu, pak. Tapi keluarga menyarankan jurusan itu karena saya kritis menilai sesuatu kata mereka jadi ..."

Beliau: "Sesuatu yang bagaimana?"

Aku (jawaban di dalam hati): "Hadeh."

Aku (jawaban di mulut): "Itu pak, kayak semacam desain kemasan produk makanan-minuman dan lain-lain. Saya baca di jurusan multimedia ada belajar soal perancangan grafis."

Beliau: "Oh itu ada pasti.", "Ehem. Bisa beritahu bapak apa itu "desain"? "

Aku: (dengan raut wajah kebingungan dan merangkai-rangkai kata di otak) "Desain?"

Beliau: (mengangguk-angguk pelan) "..."

Aku: "Mmm, desain adalah ... " (mendadak aku mendapati dua buah jenis pulpen berbeda di meja. Segera kuambil itu dan kutunjukkan kedua pulpen tersebut ke hadapan bapaknya) "Ini desain." (aku majukan sedikit sebuah pulpen yang ada di tangan kiri ku yang jenis pulpennya ada pegangan karet di bagian dekat ujung pulpen dan dilengkapi klik-klik itu. Itu loh kalau di-klik keluar mata pulpennya), "Ini desain." (Kemudian kutunjukkan lagi sebuah pulpen yang ... biasa, tanpa karet serta tanpa klik-klik). "Menurut saya desain tersebut adalah suatu rancangan yang dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing." (Jelasku sambil berusaha menahan tawa. Dan kuperhatikan beliau termangu dengan jawaban ngarang ini. Duuhh, semoga saja itu tidak terlalu jelek).

Beliau: "Lumayan.", "Nah, kalau multimedia tidak lolos, kamu akan memilih jurusan apa?"

Aku: "Itu sudah tertulis di pilihan kedua."

Beliau: "Kalau jurusan Akuntansi juga mengalami nasib yang sama?"

Aku: "Pilihan pertama tak akan saya biarkan lepas dari genggaman."

Beliau: (bapak tersebut terlihat menutupi kertas yang ada di meja beliau dengan tangannya dan di sana ia tampak menuliskan sesuatu). "Baik, selanjutnya."

Aku: "Eh? Sudah selesai?"

Beliau: "Ya. Ini." (pewawancara mengembalikkan berkasku dan kulihat kartu pendaftaran di kolom tes wawancara sudah dibubuhi tanda tangan).

Lantas akupun pamit keluar lalu dan ketika aku sudah dekat diambang pintu, aku langsung belok ke kanan dan menoleh ke tempat Bibi dan Grisnald tadi duduk.

Ya ampun ....

Dan Elisha kulihat masih mengobrol dengan bibi sama Grisnald ketika aku sudah keluar dari Lab.

***

Adiknja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang