91

677 62 2
                                    

[Sejumput Kenyataan]

Kamu adalah riuh yang aku bicarakan pada tinta dan kertas sedangkan kata-kata adalah saksi yang berdiam dalam sunyi. Perihal rasa, mereka adalah teman setia. Tentang rindu, adalah ia yang tak pernah jemu mengendap syahdu. Lalu kamu, menjelma senandika yang kusimpan rapat-rapat. Tanpa isyarat; tanpa syarat.

Walau kita sudah lama tak bertemu dan menyapa, kamu tetap hadir menjadi bayang-bayang di kepala. Berharap hanya sementara, lalu hilang tak bersisa. Semoga. Tetapi sayangnya, justru tetap merua saat tak lagi berjumpa. Tanpa titah; tanpa aba-aba mulai mempertanyakan segala logika.

Kamu adalah tentang apa-apa yang tak pernah tersampaikan. Dari segala kata dan jeda yang tak kunjung terlihat habisnya. Mengalir ke satu tempat tujuan. Lalu berkumpul pada sebuah fakta, bahwa inilah yang aku rasakan.

Kemudian aku jatuh, berkali-kali diruntuhkan oleh realita.

Aku yang menginginkanmu, harus sadar bahwa kamu ternyata menginginkan seorang yang lain.  

Bahkan setelah banyak purnama; setelah banyak tuan datang menawarkan cinta, rasaku tetap tak berubah. Tetap sama. Tetap bermuara padamu.

Kamu adalah tentang kata yang kuharapkan menjadi "kita". Sejumput kisah yang ingin kutuliskan dari doa yang aku langitkan. Sebuah ketidakmungkinan yang terus aku semogakan.

Jika nanti aku dan kamu tidaklah bersama pun kisah kita tidak digariskan menjadi nyata.

Aku harus tetap bahagia.

Karena memang tak semua yg diinginkan dapat sesuai dengan kenyataan. Kamu yang kuharap akan menjadi rumah adalah sebuah fatamorgana yang tiada nyata, bukan tempatku berpulang apalagi untuk tinggal. Diantara itu semua, kamu dan aku berarti bukanlah suatu cerita yang bisa tercipta.

Maka dari itu, aku harus belajar untuk rela.
Rela dalam mengikhlaskanmu dan mengikhlaskan kenyataan.

—p.s

18 Mei 2020

ruang ilusi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang