Aku rela jadi buta sekalipun asal aku tak pernah melihat wajahmu itu lagi. Karena tiap detik saat mataku tertuju padamu adalah tiap saat hatiku hancur menjadi abu. Lebur aku dalam api, hancur aku menjadi debu.
Aku rela tidak bisa mendengar apapun selamanya asal aku tak pernah mendengar suaramu. Karena tiap kali nadanya memasuki ruang telinga, saat itu juga aku mulai membenci keadaan dimana semuanya tak lagi sama. Pada saat itu aku lebih nyaman jika hening saja.
Aku rela untuk tidak pernah bernapas selama-lamanya asal aku tidak pernah lagi mengetahui keberadaanmu. Karena selama aku hidup, selama aku bernyawa, selama aku masih di bumi, sang mentari kan tetap menyinari dan bulan tetap menemani. Selayaknya memori yang tak akan beranjak pergi.
Sungguh jikalau aku bisa mengulang waktu, aku akan mengulang ke hari pertama kali kita bertemu. Nantinya aku saat itu akan pergi melaju, meninggalkanmu terlebih dahulu, tak pernah menuliskan kisah pada relung kehidupan. Karena aku telah tahu bahwasanya nanti kita akan berpisah.
Jika tahu pada akhirnya jadi begini, lebih baik sedari awal aku pergi. Tak pernah jatuh hati, tak pernah mengenal patah hati, tak pernah merasa sakit yang tak terobati, dan tak perlu bingung mau dikemanakan kepingan kenangan ini. Aku rela dan sanggup mencintaimu dalam diam. Tak terurai lewat kata maupun tindakan, cukup dalam hati saja.
Aku mencintaimu terlalu dalam pada kali pertama, di mana saat itu aku belum berpengalaman dengan patah hati. Jadi, sekalinya aku kenal cinta malah trauma yang terekam. Semuanya nyata, tak terhindari, dan berakhir pada luka.
ーp.s
07 Oktober 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
ruang ilusi ✓
Poetry𝙟𝙪𝙨𝙩 𝙖𝙣 𝙞𝙡𝙡𝙪𝙨𝙞𝙤𝙣 𝙖𝙗𝙤𝙪𝙩 𝙢𝙚 𝙖𝙣𝙙 𝙮𝙤𝙪. ❝Mari, 'kan kuajak dirimu menuju ruang ilusi. Bercerita dan berbagi suka duka bersama.❞ contains about part of (phosphenous) ruang ilusi ©2018, maruflaco