Hanya Aku (Bukan) Kita
Aku menatap lekat di balik kaca jendela, mengadu tiap gundah kepada Sang Pencipta. Merapalkan doa kian berharap jiwa saling melebur. Menaruh asa kepada hamparan biru agar asih berubah amerta.
Lekuk luka menggulai tubuh layu, hingga nanah—pun berbau segar pada kenelangsaan seorang diri. Aku menggigil sebab dingin menjalar di setiap sudut ruang, tanpa dekap dirimu aku terus terjaga. Atma membentang dehidrasi menanti hujan, berharap kemarau lekas pulang.
Tetapi hadirmu hanyalah bayang, membuat imajiku semakin liar.Tak ada dekap yang kuharap, tak ada sentuhan yang kudamba, tak ada kamu di dalam ruang ini; hanya ada aku.
Hanya ada aku; di setiap cinta yang kubangun.
Tiap malam-malam yang hadir, hingga pagi benderang.
Hanya ada aku di setiap lamunanku tentang hadirmu.Dan kita adalah fatamorgana, yang akan mulai usang. Setelah kesadaran menampar keras pipi merahku. Sudah waktunya, aku menutup lembar kisah berkamuflase abadi. Memori tentangmu kutata rapi, di sela rak buku, tanpa harus kusentuh kembali.
Kita hanya kontemplasi kisah dan aku akan selamanya terjebak di antara imaji, tanpa kita yang akan bersatu.
—p.s
13 Agustus 2020
note :
jangan lupa tinggalkan vote
serta komennya ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ruang ilusi ✓
Poesia𝙟𝙪𝙨𝙩 𝙖𝙣 𝙞𝙡𝙡𝙪𝙨𝙞𝙤𝙣 𝙖𝙗𝙤𝙪𝙩 𝙢𝙚 𝙖𝙣𝙙 𝙮𝙤𝙪. ❝Mari, 'kan kuajak dirimu menuju ruang ilusi. Bercerita dan berbagi suka duka bersama.❞ contains about part of (phosphenous) ruang ilusi ©2018, maruflaco