Barangkali,
barangkali yang kali ini adalah rintik diksi terakhir yang aku titipkan pada pelangi di ujung matamu yang masih sama, tetap berwarna.Boleh dibilang,
aku masih sering menemukanmu. Di antara lagu-lagu yang aku dengar saat langit masih kelabu, matahari masih malu-malu. Di dalam laci tempat memori bersemayam memperistirahatkan diri. Di tepi atap tempat aku pura-pura tertawa pada senja buta warna, di atas penat Kota Jakarta. Pada jarak satu detik sebelum aku takluk pada lelap, di mimpi yang buat aku kalap.Dan kamu,
tetap jadi satu alasan mengapa puisi ini pernah ada di dunia. Tetap jadi ilusi semata yang diam-diam berbisik mengharap euforia sementara. Tetap jadi satu hal yang aku ingat di tenang Minggu pagi, saat aku menonton film lama lewat komputer tua, bersama masker telur di muka.Dan kamu tidak mesti tahu,
berapa banyak aksara yang aku cipta lalu aku hapus percuma. Di malam yang mana saja aku terpana di bawah teduh nirwana, lalu teringat pada semoga dan segala rencana gila yang pernah ada. Lihat kata 'pernah' di sana? Adalah jarak antara kamu dan rumah dari bata merah yang akan aku bangun di desa nantinya.Lalu aku ingin mengucapkan terima kasih,
pada segala yang telah tercipta dan dicatat oleh bintang di angkasa. Sekiranya aksara aku dan kamu pernah menjadi kita, dan aku tidak menyesal.Aku bahagia.
—p.s
24 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ruang ilusi ✓
Poetry𝙟𝙪𝙨𝙩 𝙖𝙣 𝙞𝙡𝙡𝙪𝙨𝙞𝙤𝙣 𝙖𝙗𝙤𝙪𝙩 𝙢𝙚 𝙖𝙣𝙙 𝙮𝙤𝙪. ❝Mari, 'kan kuajak dirimu menuju ruang ilusi. Bercerita dan berbagi suka duka bersama.❞ contains about part of (phosphenous) ruang ilusi ©2018, maruflaco