07- Destiny

8.4K 895 80
                                        

Setiap manusia memiliki takdir yang berbeda. Perbedaan didalam kehidupan itulah yang menjelaskan bahwa masing-masing manusia memiliki takdirnya tersendiri. Tak satupun dari manusia yang dapat mengubah nya, karena hal itu bersifat mutlak.

Tuhan adalah penyusun skenario terbaik, apa yang kita inginkan mungkin tak lebih baik dari apa yang telah Tuhan tetapkan. Garis kehidupan yang kita jalani, semuanya telah tersusun dengan rapi. Kita sebagai manusia, harus menjalani setiap lika-liku perjalanan hidup yang mungkin masih memiliki banyak misteri.

Meski takdir yang harus diterima terasa pahit dan begitu menyakitkan, kita tetap harus menerimanya dengan lapang dada. Mengikhlaskan, dan berharap akan ada kebahagiaan dibalik semua rasa sakit yang menimpa. Karena Tuhan itu adil, Ia tak mungkin memberikan kesedihan jika tak ada kebahagiaan.

. . .

Seorang gadis berponi tampak berdiri didepan jendela yang terbuka. Menikmati setiap hembusan angin yang membelai rambut nya lembut. Ia mendongak, melihat langit yang gelap tanpa kehadiran matahari. Seakan ia bersembunyi dibalik awan hitam enggan untuk memancarkan sinarnya.

Mata hazel nya beralih menatap ruangan serba putih yang sudah seperti rumahnya sendiri. Sudah sangat lama ia menetap di sana hingga rasa bosan mulai menyeruak, meminta nya untuk segera pergi dari tempat yang terasa seperti penjara.

Hari ini, Lalice akan terbebas dari rasa bosan yang menyiksa itu. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa menghirup udara segar yang selama ini tak pernah ia rasakan. Gadis berponi itu tak kuasa menahan rasa bahagia nya, karena kini semua akan baik-baik saja.

"Lalice, kau sudah siap berkemas?" Gadis dengan surai cokelat itu menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan jas putih kebanggaan nya tengah berdiri diambang pintu.

"Nde, dokter Jung." Lalice menyunggingkan senyum nya. Dokter bermarga Jung itu melangkah masuk kedalam ruangan Lalice, menghampiri gadis berponi itu dan mengusap lembut surai cokelatnya.

"Kau sudah berjuang, nak. Mulai sekarang, nikmatilah hidup mu tanpa rasa sakit." Lalice tersenyum simpul, dokter yang tak lagi muda itu benar-benar berhati mulia.

Dokter Jung menatap gadis dihadapan nya lirih. Ia sudah sangat mengenal gadis berponi itu, karena sedari kecil dialah yang merawat nya dari rasa sakit. Ia tahu bagaimana perjuangan Lalice melawan penyakit yang ia derita, dan sekarang. Ia benar-benar bersyukur karena Tuhan memberikan nya kesempatan untuk menikmati hidup.

Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Lalice, karena selama itulah ia berjuang antara hidup dan mati. Bertahan tanpa kepastian, seakan menunggu waktu merenggut nya. Ingin sekali ia melepaskan rasa sakit yang selalu menyiksa, namun sepertinya Tuhan berkehendak lain. Lalice diberi kesempatan sekali lagi untuk menikmati hidup, dan pastinya tanpa rasa sakit lagi.

"Kau jangan sampai kelelahan, dan minumlah obat mu tepat waktu. Arraseo?" Lalice mengangguk mengerti. Dokter yang kini ada dihadapan nya memang selalu memberikan perhatian. Mungkin karena ia tak dikaruniai seorang anak meski sudah menikah bertahun-tahun lamanya, jadi jika berada di dekat Lalice. Ia merasa memiliki seorang Putri.

"Gomawo, dokter Jung." Wanita paruh baya itu tersenyum.

"Kalau begitu aku keluar dulu. Hati-hati dalam perjalanan pulang, hm?" Lalice kembali mengangguk. Setelah memastikan dokter bermarga Jung itu keluar dari ruangan, gadis berponi itupun beralih mengambil barang-barang yang sudah ia kemas.

Senyum bahagia itu tak juga luntur dari wajah mungil Lalice. Ia benar-benar bahagia dan sangat bersyukur. Tuhan telah berbaik hati padanya, memberikan nya kesempatan yang Lalice pikir tak kan pernah didapatkan nya.

Alone[End]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang