18- Request

7.6K 836 54
                                    

Seorang gadis berponi tampak duduk dipinggir taman sekolah, menatap air hujan yang turun membasahi tanah. Di sana ia seorang diri, terdiam seakan terhanyut dalam dunia nya sendiri.

"Sudah kuduga kau disini," Lalice tersentak kaget. Menoleh ke samping, dan mendapati seorang yeoja yang kini menatap nya lirih.

"Seharusnya kau kembali 10 menit yang lalu, kan? Tapi kenapa kau berdiam diri disini?" gadis berponi itu hanya diam, tak merespon ucapan teman sekelasnya itu.

"Kau dicari Sonsengnim, Lalice. Kajja, kita kembali." yeoja dengan surai hitam itu menarik paksa tangan kurus Lalice. Tapi bukannya berdiri, gadis berponi itu justru tetap diam pada posisinya.

"Aku ingin disini, Eunha-ya." Suara Lalice terdengar serak, menyayat perasaan siapapun yang mendengar nya. Begitu pula dengan Eunha, hingga ia memilih untuk menuruti permintaan Lalice dan beralih duduk di samping nya.

"Mianhae, seharusnya aku datang lebih awal. Dengan begitu kau--"

"Aniyo, ini bukan salah mu. Jadi berhentilah mengatakan hal itu padaku," Eunha menutup mulut nya rapat, ucapan Lalice terdengar dingin untuk nya. Mungkin gadis berponi itu kesal karena sedari tadi Eunha selalu mengatakan hal yang sama di setiap waktu.

"Kau..., marah padaku?"

"Aku tidak punya alasan untuk marah padamu," Eunha menghela napas gusar. Jika Lalice tak marah padanya, tapi kenapa gadis itu bersikap begitu dingin?

"Apa ada sesuatu yang mengganggu mu?" Eunha kembali bertanya, jika boleh jujur. Ia tak akan tenang sebelum mengetahui permasalahan yang dialami gadis berponi itu. Karena ia tak pernah ingin melihat wajah Lalice yang murung seperti ini.

Gadis berponi itu mendongak, menatap lirih langit yang tampak begitu gelap. Ada begitu banyak kejadian tak terduga yang terjadi dalam satu hari. Dan tentu saja hal ini membuat Lalice kewalahan.

Dan yang dikatakan Eunha memanglah benar. Saat ini, ada begitu banyak hal yang terus saja mengganggu pikiran nya. Pikiran itu bercampur aduk hingga ingin rasanya Lalice berteriak untuk melampiaskan perasaan aneh yang tak menentu ini.

Ia tak tau bagaimana cara untuk melepaskan rasa sesak yang memenuhi dadanya ini. Lalice benar-benar tak tau harus melakukan apa lagi.

"Eunha-ya...."

"Hm, wae geurae?"

"Saat ini aku merasa..., takdir sedang mempermainkan ku." Eunha tersentak mendengar ujaran Lalice. Kini ia dapat melihat wajah gadis berponi itu dengan jelas. Matanya terlihat sembab dan begitu berantakan. Hingga perasaan Eunha kembali tersayat, setelah melihat air bening itu keluar membasahi pipi Lalice.

Sekarang Eunha tahu, bahwa sedari tadi Lalice sedang menangis. Bahkan langit pun seakan ikut menyuarakan isi hatinya. Inilah yang ia takutkan, karena Lalice akan selalu menyimpan rasa sakit nya seorang diri.

"Aku seakan tersesat oleh jalan hidup ku sendiri. Dan aku benar-benar tidak tau harus melakukan apa...," suara Lalice terdengar begitu parau hingga mampu mencubit perasaan Eunha. Sekuat apapun ia berusaha menahan desakan air mata itu. Tapi tetap saja lolos membasahi pipinya.

"Kau tidak sendiri, Lalice. Bukankah aku sudah mengatakan padamu? Aku akan selalu siap menjadi tempat sandaran mu. Aku akan mendengar setiap keluh kesah mu. Jadi aku mohon, jangan simpan rasa sakit itu seorang diri. Jebal, Lalice." Gadis berponi itu kembali terisak. Entahlah,ia merasa begitu lega setelah mengetahui bahwa masih ada seseorang yang bersedia mendengarkan isi hatinya.

Alone[End]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang