69- Remember

4.4K 507 73
                                    

Mata hazel gadis berponi itu terbuka saat rasa sakit di dada kirinya kembali. Keringat dingin mulai membasahi wajah dan napasnya pun mulai terasa sesak. Meski pagi sudah menjelang, tetap saja semalaman ia tak dapat tertidur dengan tenang.

Lisa melirik kearah jam di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Ia terduduk sembari meremas piyama yang dikenakan nya. Entah kapan terakhir kali ia dapat menikmati malam yang terasa singkat itu. Karena sekarang, di setiap malam Lisa akan selalu terjaga dan tak kan lagi tertidur walau sebentar.

Tok! Tok! Tok!

Perhatian Lisa teralih saat pintu kamarnya diketuk berkali-kali. Ia menghela napas panjang. Lisa tak pernah keluar dari kamar sejak kejadian di malam itu. Ia begitu takut bahkan hanya untuk menatap wajah keluarga terutama kakaknya.

"Nona Lisa, Anda sudah bangun? Saya sudah membawakan sarapan," tidak ada jawaban. Gadis berponi itu hanya diam sembari menatap lirih pintu kamar nya.

Jika dihitung, mungkin sudah sekitar tiga hari ia menetap di kamar ini. Biasanya bibi Chun akan meletakkan makanan itu di depan kamar Lisa, tapi sekarang. Sepertinya ia akan bersikeras untuk meminta Lisa keluar dari kamar nya.

"Nona Lisa, saya tidak akan pergi sebelum Anda membuka pintu ini." Lisa menegak. Dengan tertatih ia pun beranjak dari ranjang dan perlahan melangkah mendekati pintu. Lisa juga mengatur pernapasan nya agar bibi Chun tak curiga dengan keadaan nya.

"Gomawo, bi." Wanita berumur lanjut itu tampak sumringah dan mengangguk semangat karena Lisa sudah membuka pintu dan keluar dari kamarnya.

"Oh, ya. Tadi pagi tuan dan nyonya bertanya kepada saya tentang keadaan Nona. Apa terjadi sesuatu? Mereka terlihat khawatir," gadis berponi itu terkesiap. Ia sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Kedua orang tuanya pasti bertanya-tanya kenapa ia bersikap seperti ini. Tapi sampai sekarang pun ia belum siap untuk menatap wajah mereka. Hatinya, dan perasaan nya. Ia belum yakin untuk itu.

"Semua baik-baik saja, bi. Apa mereka juga ada membahas tentang keadaan Rosé unnie?"

"Oh, itu---"

"Kenapa kau tidak datang dan memastikan nya sendiri?" Lisa tersentak saat mendengar suara pria berjas hitam itu. Ia menatap Lisa lekat, merasa kesal dan sedih sekaligus.

"Aku belum siap."

"Wae? Dia kakak mu, Lisa. Mereka keluarga mu. Lalu apa yang kau takut kan?" Lisa meremas nampan yang ia pegang. Perkataan Ten mengingatkan nya kembali dengan kejadian di malam itu.

"Aku tidak ingin datang dan memperkeruh keadaan. Kehadiran ku juga tak akan diinginkan di sana," Ten mengusap wajahnya kasar. Ia mengerti bagaimana sakitnya perasaan Lisa sekarang. Ia sudah mendengar semua permasalahan yang terjadi di rumah sakit dari Jiyong. Dan ia pun tak menyangka Jennie akan mengatakan hal yang paling menyakitkan pada adiknya sendiri.

"Arraseo, tapi---"

"Ten oppa, mungkin lebih baik aku tidak datang ke sana. Jika kau mengerti, maka jangan paksa aku." Ten menegak saat gadis berponi itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan rapat. Ia tak bisa memaksa Lisa sekarang, karena dia juga butuh waktu untuk memperbaiki perasaan nya sendiri.

"Nak Ten, apa hanya aku sendiri yang merasa. Bahwa ia seperti sedang menahan rasa sakit?"

"Aku tau. Tapi Lisa, dia tak ingin berbagi rasa sakit itu pada siapapun."

.
.
.

Suasana di ruangan bernuansa putih itu tampak lebih riuh dari pada biasanya. Hal ini dikarenakan teman-teman Rosé yang datang menjenguknya selepas pulang sekolah. Mereka begitu lega setelah melihat keadaan Rosé yang perlahan membaik.

Alone[End]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang