10- Silent

8.2K 815 51
                                    

Jika diam adalah pilihan yang tepat maka Lalice sudah melakukannya dengan sempurna. Seakan menulikan telinga agar setiap kata yang mereka lontarkan tak menghujami perasaannya.

Selama ini Lalice bertahan dalam lingkaran penuh kebencian. Menguatkan hatinya agar tak terluka hingga harus menyemangati diri sendiri agar tak menyerah. Semuanya sudah ia lakukan dengan baik, hingga tak ada celah sedikitpun.

Sekarang yang perlu Lalice lakukan adalah, terus melangkah meski ia harus melalui jalan yang penuh akan duri. Menutupi lukanya seorang diri, tanpa siapapun yang mengetahui.

.   .   .

"Aigu, aku tak menyangka kita akan sekelas Lalice." Yeoja dengan surai hitam bergelombang itu tampak melompat-lompat kecil sembari tersenyum puas. Mengekspresikan perasaan nya yang tengah berbunga-bunga hari ini.

Lalice tersenyum simpul, ia juga ikut senang karena dapat sekelas dengan teman baiknya. Namun ia enggan untuk membuka suara karena suasana hatinya saat ini tidak baik. Lalice hanya tak ingin suasana ceria diantara mereka suram karena dirinya.

Tak kunjung mendapat respon yang baik, Eunha pun menghentikan langkahnya saat mereka tiba di gerbang sekolah. Menoleh kebelakang dan mendapati Lalice yang berjalan dengan kepala tertunduk.

"Wae geurae? Kau tak senang sekelas dengan ku?" Lalice mendongak dan langsung menggeleng cepat.

Merasa ada yang aneh dengan Lalice, gadis dengan surai hitam itupun kini menatap temannya itu dengan jeli. Ia dapat melihat Lalice yang tersenyum kepadanya, namun Eunha tau bahwa senyum itu palsu.

Melihat senyum itu, rasanya ada yang mencubit perasaan Eunha. Lalice memang tersenyum, tapi sorot matanya tak menunjukkan kebahagiaan.

"Aku tau kau kuat, Lalice." Gadis berponi itu terkesiap. Apa wajah sedihnya begitu ketara hingga Eunha mengatakan hal itu?

"Perkataan mereka memang sangat menyakitkan, tapi aku tau kau bisa melewati nya." Eunha menepuk bahu temannya itu pelan.

Ia tahu saat ini Lalice pasti sedang menahan rasa sakit hati yang luar biasa. Selama di sekolah, gadis berponi itu hanya menjadi bahan cemooh dan tertawaan orang-orang. Eunha yang mendengar nya saja sudah sangat kesal dan marah. Saat ia ingin melawan dengan cepat Lalice menahan nya.

Eunha selalu saja melihat Lalice tersenyum. Terlihat sangat miris karena senyum itu palsu untuk menyembunyikan rasa sakit.

Setelah cukup lama mereka terdiam, mobil mewah jemputan Eunha pun datang. Sekali lagi gadis bersurai hitam itu menoleh kearah Lalice, dan ia hanya mendapatkan sebuah senyuman khas dari gadis berponi itu.

"Kau yakin tak ingin pulang bersama ku?" Lalice mengangguk memberi jawaban. Seperti biasa, gadis berponi itu akan kembali menolak tawaran Eunha meski dipaksa sekalipun.

"Geurae, sebaiknya kau jangan pulang jalan kaki. Aku tak ingin kau kelelahan." Gadis berponi itupun tersenyum. Eunha hanya bisa menghela napas panjang dan memilih untuk naik ke dalam mobil.

"Sampai jumpa besok." Lalice membalas lambaian Eunha. Setelah memastikan mobil mewah itu pergi dari perkarangan sekolah, Lalice pun melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Kaki jenjang gadis berponi itu tampak menelusuri jalanan yang mulai sepi. Langit pun sudah mulai berubah warna menjadi jingga. Rasanya Lalice telah menjalani hari yang cukup panjang. Mungkin karena ada begitu banyak kejadian tak terduga yang terjadi di sekolah.

Jika mengingat hal yang terjadi padanya disekolah, hati Lalice semakin sakit. Mungkin melupakan hal buruk lebih baik dari pada harus diingat sepanjang waktu.

Alone[End]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang