"HARRY POTTER IS DEAD!"
Kalimat itu berputar di otak Draco. Netra abu-abunya melihat sosok setengah raksasa membopong tubuh yang terlihat mungil itu. Suara tawa para Death Eater seolah tak dapat ditangkap oleh indera pendengarannya. Indera penglihatannya pun menatap kosong kumpulan Death Eater dengan pakaian serba hitam mereka.
"Aku janji setelah perang usai, kita akan hidup bersama. Bahagia bersama. Kemanapun kau pergi, aku akan selalu ada di sampingmu."
Kalimat tersebut dalam sekejap membuat dadanya terasa ngilu. Janji yang dia tawarkan begitu manis hingga membuat Harry yang saat itu tengah berbaring di sampingnya tersenyum lalu mengecup pipinya. Kemudian mereka tidur dengan saling mendekap, berbagi kehangatan tubuh masing-masing yang tak dilapisi oleh selembar kain pun. Tak mengetahui bahwa itu akan menjadi dekapan yang terkahir untuk mereka.
Dia ingin menangis, meraung dengan keras, berteriak kepada dunia yang telah merenggut sumber kebahagiaannya. Namun itu hanyalah angannya. Dia tak mampu melakukannya. Yang mampu dilakukannya hanyalah diam bagai patung. Diam bagai makhluk tak bernyawa. Meski dadanya terasa semakin sakit. Dia mengedipkan matanya saat mendengar ayahnya memanggil namanya. Tanpa diduga setetes air mata meluncur melewati pipinya.
Kakinya masih enggan beranjak dari tempatnya berdiri. Tangannya menggenggam erat tongkat sihir. Jantungnya berpacu dengan kencang. Rasa sedihnya menguap entah kemana, digantikan oleh perasaan marah. Dan sekarang Draco sangat ingin mengumpat pada dirinya sendiri. Mengumpat pada semua orang, pada Merlin, pada sang pencipta semesta. Agar mereka tahu betapa marahnya dirinya saat ini.
"Draco," Kini ibunya yang memanggil, dan hatinya sedikit goyah, "come." lanjut wanita cantik itu.
Lalu Draco melangkahkan kakinya, jemarinya menggenggam kuat tongkat sihir. Dengan jarak lima kaki dari Dark Lord, dia mengacungkan tongkat sihir itu.
"AVADA KEDAVRA!" Serunya dengan lantang.
Cahaya berwarna kehijauan muncul dari ujung tongkat, mengenai sosok tinggi dengan pakaian serba hitam yang tak memiliki rambut juga hidung itu.
Ekspresi kemarahan terlihat jelas di wajah sang calon Lord Malfoy yang kini sedang terengah-engah. Berpasang-pasang mata terkejut bukan main ketika melihat tubuh Pangeran Kegelapan perlahan hancur menjadi serpihan. Tak ada satupun yang berani mengeluarkan suara. Hingga saat sosok Dark Lord menghilang, suara teriakan yang terdengar pilu itu memecah keheningan.
"AAAAAARRRGGGGGGGHHHH."
Draco terjatuh dengan lututnya yang menyentuh tanah terlebih dahulu. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia pikir setidaknya dengan berteriak akan membuat rasa sakit di dadanya sedikit berkurang. Ternyata dia salah. Teriakannya tak membuat perubahan sedikitpun. Dadanya tetap terasa sakit. Dia tetap menangis dengan posisi menunduk. Tidak peduli dengan berpasang-pasang mata yang melihatnya, menjadikan dirinya sebagai tontonan. Tidak peduli dengan reaksi dan komentar Father. Tidak peduli dengan dirinya yang menyandang nama belakang Malfoy.
Dia merasakan tubuhnya direngkuh oleh dua orang dari sisi kanan dan kirinya. Beberapa saat kemudian dia mengangkat kepalanya yang semula menunduk, dan pelukan itupun terlepas. Draco menolehkan kepalanya ke samping kanan, dia melihat Granger mencoba tersenyum dengan air mata mengalir di wajahnya dan Weasley yang berlutut di sampingnya dengan tangannya yang sesekali menepuk pundak gadis keturunan muggle itu.
"Drake,"
Panggilan itu membuat Draco beralih melihat sisi kirinya. Pansy ada di sampingnya, juga Blaise dan Theo yang berdiri di belakang Pansy. Gadis itu terlihat berkaca-kaca dan sebisa mungkin menahan dirinya agar tidak menangis.
"you did well. Very well." lanjut Pansy lalu memeluk sahabatnya itu.
Draco melihat Blaise dan Theo yang tersenyum tipis padanya. Namun beberapa detik kemudian Theo mengusap matanya dan memunggungi Draco.
Draco menghembuskan napasnya panjang dan menutup mata. Segalanya telah berakhir. Perang telah berakhir. Begitu pula dengan kisah cintanya, yang hanya berjalan kurang dari dua tahun. Senyuman manis si kacamata bulat kuno masih muncul di dalam kepalanya. Tawanya yang mampu membuat Draco menyunggingkan senyumnya pun masih samar-samar terdengar di dalam kepalanya.
Matanya terbuka, menampilkan iris abu-abu yang sama persis dengan milik ayahnya yang kini sedang berdiri menatapnya. Dia pun melepaskan pelukan Pansy dan menoleh ke arah dua sahabat Harry yang masih berada di dekatnya.
"Granger, Weasley, maaf untuk segala perlakuanku padamu. Dan Granger, terimakasih telah merahasiakan hubunganku dengan Harry."
Kalimat yang diucapkan oleh Draco membuat Hermione terkejut. Bukan hanya tentang permintaan maaf itu, tapi juga tentang Draco yang mengetahui bahwa Hermione tahu hubungan rahasia mereka berdua. Hermione sengaja menutup mulutnya dengan rapat dan tidak menanyakan apapun pada Harry. Dia menunggu Harry menceritakannya sendiri tanpa paksaan.
Hermione tersenyum tipis, begitu pula dengan Ron. Pemuda berambut merah itu menganggukkan kepalanya singkat ketika Draco menatapnya.
"Draco," Suara Narcissa yang memanggil putranya terdengar lirih.
Draco berdiri dan berjalan mendekati kedua orangtuanya. Lalu Narcissa memeluk putra semata wayangnya, "tak apa, menangis lah. Semua ini terlalu berat untukmu." bisiknya sambil membelai rambut pirang platina yang mirip dengan rambut suaminya.
END
Awalnya aku ga ada rencana update krn hari ini ga ngetik apa2. Tapi jam 7 an tadi buka hp dan langsung ngetik ini. Kalo banyak typo maaf bgt, ngebut ngetiknya 🙂🙂
Ga kerasa kan sedihnya? Sekali-kali bikin Harry meninggal, biar Draco sedih 🙂🙂🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
DRARRY ONESHOOT
FanfictionDrarry Oneshoot Twoshoot Multi chapter Harry Potter © J.K. Rowling Picts isn't mine Jangan plagiat