Tubir Maut

186 18 1
                                    

Jangan lupa Vote dan Komenya

🍁🍁🍁🍁

Tak lagi perduli dengan guyuran hujan yang tak kunjung mereda ditengah malam yang kian merangkak naik, setelah memperoleh penjelasan dari perawat tentang kondisi Rio yang semakin memburuk Arin dengan ditemani Amel bergegas pergi dengan menaiki mobil milik sahabatnya itu untuk memperjuangkan nyawa kakak yang kini terbaring antara hidup dan mati diruang IGD. Arin sengaja meninggalkan Sisi dirumah sakit agar tetap bisa memantau keadaan Rio.

Sesuai dengan arahan Amel malam itu juga Alfon bergerak mencari informasi tentang kemungkinan ada pendonor darah lain yang bisa menolong.

Disepanjang perjalanan Arin tak bisa lepas mengingat bagaimana perawat pria tadi menjelaskan tentang seberapa parahnya kondisi Rio saat ini.

Usaha medis yang paling mungkin bisa dilakukan saat ini hanya berusah menghentikan perdarahan dibagian organ vital Rio terutama otak. Karena dari hasil CT-Scan menunjukan ada perdarahan pada batang otak. Hal itu juga yang menyebabkan kesadaran Rio tak kunjung kembali.

Bahkan saking kerasnya benturan yang terjadi pada saat kecelakaan mengakibatkan adanya kerusakan parah pada tempurung kepala cowok malang itu.

Perawat itu menjelaskan bahwa para medis belum bisa melakukan tindakan lanjutan hingga menunggu kondisi Rio benar-benar stabil. Bahkan operasipun urung dilakukan karena kondisi Rio yang sungguh tidak memungkinkan untuk itu.

"Loe yakin mau nemuin bokap loe Rin?"

Arin tersadar dari lamunan, pandangan matanya bergeser pada sosok gadis disebelahnya

"Kalau masih ada pilihan lain dalam waktu sesingkat dan se-urgen ini, mungkin pilihan ini nggak akan gue ambil Mel. Tapi sayangnya gue nggak punya pilihan untuk saat ini, keselamatan Kak Rio taruhanya. Demi Kak Rio apapun rela gue lakukan, termasuk masuk kedalam api sekalipun"

Amel meremas jemari tangan Arin, memandang senyum getir yang terbit diwajah layu itu. bersamaan lelehan air matanya yang kembali tumpah didua sisi pipinya.

"Gue ada disamping loe dan loe nggak pernah sendiri" suara lembut itu terdengar begitu menenangkan dan membuat keberanian Arin kembali bangkit untuk menghadapi situasi seburuk apapun nanti.

Kehadiran Amel, Sisi dan Alfon sungguh adalah kado terindah dari Tuhan dalam hidupnya. Bagaimana mereka begitu mendukung dan setia menemani disaat-saat tersulit hidupnya. Bagaimana ketulusan mereka mencurahkan kasih bak seorang saudara. Sungguh Tuhan maha baik dengan menghadirkan ketiga sahabat seperti Amel, Sisi dan Alfon.

"Makasih Mel, gue nggak tahu andai nggak ada loe bertiga dalam hidup gue, apa jadinya kalau gue harus menghadapi semuanya sendiri"

Dikursi penumpang malam itu keduanya saling berpelukan dengan isakan tangis yang sungguh memilukan

"Berhenti bilang terima kasih Rin, tak ada kata terima kasih dalam persahabatan. Kita semua sayang loe. Seperti janji kita bertiga dulu, kita akan jadi sahabat sampai kapanpun dan dalam situasi apapun, loe masih inget itukan" ujar Amel sembari mengusap air mata yang membasahi pipin Arin

Arin mengangguk dan tampak berusahan menghadirkan senyum dari tarikan kedua sudut bibirnya.

Dihadapan Arin kini sebuah pagar tinggi tegak berdiri, tepat didepan sebuah rumah mewah bergaya minimalis yang sudah tak asing lagi. Mengingatkan Arin pada kejadian dimalam ulang tahun Sisi ditahun lalu.

Kondisi rumah itu masih sama megahnya seperti saat terakhir Arin menginjakkan kakinya dimalam itu, bersama Eza. Malam kelam yang akhirnya merubah jalan hidupnya. Membuka tabir yang selama tertutup rapat, tentang segala penghianatan, dusta, kebejatan dan amoral yang dilakukan Ayah sekian lama.

Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang