Satu minggu sudah Bunda dirawat di Rumah Sakit, kondisi fisik-nya jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun tidak dengan kondisi psikis yang masih tak stabil
Akhir-akhir ini Bunda lebih banyak diam, melamun dan tiba-tiba menangis. Arin dan kedua Kakaknya tak bisa berbuat banyak, berbagai macam cara mereka lalukan untuk menghibur dan menyemangati Bunda meski mereka sendiri tak kalah terpukul dengan keadaan yang ada.
Jangan tanyakan keberadaan Ayah, karena sejak malam tragis itu, sosoknya tak lagi pernah muncul, jangankan membesuk Bunda menelepon untuk sekedar menanyakan kabar istrinyapun tidak. Laki-laki itu bagai lenyap ditelan bumi.
Setelah visit tadi pagi, dan memeriksa kondisi Bunda, dokterpun memperbolehkanya untuk pulang siang ini.
Perasaan dilema dirasakan Arin dan Fikri saat mendengar keputusan dokter pagi ini, bahagia karena akhirnya Bunda dinyatakan sehat namun rasa sedih berkecamuk karena mereka tak lagi bisa membawa pulang Bunda ke rumah, Lantaran pihak Bank yang sudah menyegel rumah itu.
Tenggat waktu yang diberikan pihak Bank hanya 3 hari untuk bisa mengosongkan rumah, itupun sudah berupa keringanan mengingat kondisi Bunda yang sedang sakit.
"Aku sudah menemukan rumah yang cocok buat kita tempati nanti, nggak terlalu besar. Ada 3 kamar didalamnya. Ada halaman depan yang walaupun nggak terlalu luas tapi nanti bisa Bunda pakai buat menyalurkan hoby berkebunya, supaya Bunda nggak kesepian" ujar Rio pada Arin dan Fikri di koridor depan ruang perawatan Bunda siang itu, sesaat setelah ia kembali ke Rumah sakit.
Akhir-akhir ini Rio memang sering sekali menghilang tiba-tiba, dan kembali menjelang sore hari. Rupanya Kakak laki-laki Arin itu berkeliling untuk mencari rumah yang bisa mereka tempati setelah Bunda keluar dari Rumah Sakit.
"Berapa biaya sewanya Rio, nanti biar Kak Fikri transfer ke rekeningmu"
"Nggak perlu Kak, untuk 5 bulan ke depan kita nggak perlu mikirin biaya sewa lagi, aku udah bayar semuanya"
Fikri mengerutkan dahinya heran "Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu yo"
Rio tak langsung menjawab, cowok ganteng itu malah tersenyum meski sedikit dipaksakan "Hasil jual mobil Kak"
Fikri dan Arin tampak terhenyak, tak ada kata-kata yang keluar dari bibir keduanya. Hanya memandang lurus pada wajah Rio yang kini kembali datar tanpa ekspresi.
"Lalu gimana nanti dengan kuliahmu, Tesis-mu bahkan baru setengah jalan"
"Tenang aja Kak, semua bisa diatuuur...yang penting sekarang buat kita adalah gimana caranya buat Bunda sehat dulu, Bunda prioritas utama kita Kak"
Fikri menepuk pelan pundak Rio sembari meninggalkan remasan disana
"Kuliahmu tetap harus selesai, bagaimanapun caranya akan Kakak usahakan"
Arin hanya bisa memandang nanar dengan bola mata yang terasa kian memanas saat menyaksikan pengorbanan kedua Kakaknya. Semakin ia merasa bodoh disituasi seperti saat ini. Tak ada apapun yang bisa ia perbuat untuk keluarga tercintanya disaat sesulit ini.
Perih, rasa itu yang kini begitu pekat Arin rasakan saat melihat Bunda dengan tubuh tak berdayanya dan tatapan kosong di dorong dengan menggunakan kursi roda meninggalkan Rumah sakit Siang itu.
Eza sudah menunggu didepan lobby Rumah Sakit dengan sepeda motornya saat Arin dan kedua Kakaknya keluar dari pintu.
Sejak beberapa jam lalu cowok tampan itu sudah datang untuk membantu mempersiapkan kepulangan Bunda. Begitupun Selama Bunda dirawat, tak seharipun ia absen untuk menjenguknya.
Tak jarang saat malam hari sepulang dari kerja, Eza justru pulang ke Rumah Sakit untuk menggantikan Rio atau Fikri mendampingi Arin yang sama sekali tak pernah pulang ke rumah selama satu minggu ini.
Eza mengusak puncak kepala Arin dengan lembut dengan menyungging senyuman dikedua sudut bibirnya. Memandang wajah lelah Arin yang tergambar jelas dari lingkar hitam dan kantung mata yang menggantung, karena berhari-hari kurang tidur dan istirahat.
Keduanya dengan berboncengan motor mengikuti mobil yang membawa Bunda menuju rumah yang akan segera mereka tempati.
Arin mengeratkan rengluhan lenganya yang melingkari pinggang Eza, menyandarkan kepalanya pada punggung kekar cowok tampan itu. Matanya yang terpejam menyiratkan keletihan yang teramat sangat.
Eza meremas punggung tangan Arin, menyalurkan kehangatan yang begitu dirindui oleh gadisnya itu, sampai tanpa terasa mereka sudah tiba disebuah rumah mungil dipinggiran Kota.
Rumah bercat biru dengan pagar besi yang tak terlalu tinggi. Rumah itu terlihat sederhana jauh jika dibanding rumah megah mereka dulu.
Lingkungan sekeliling rumah terasa bersih dan asri dengan pohon mangga di halaman depannya. Tak ada suara bising kendaraan membuat suasana jadi lebih tenang.
Saat mereka sampai, semua perabot rumah sudah tertata rapih ditempatnya, beberapa vigurapun sudah ternggantung cantik disisi dinding ruang tamu dan bagian lainya.
"Selamat datang Kak" tampak srorang wanita muncul dari ruang keluarga menyambut kedatangan Bunda
"Iraaaa.." Bunda merentangkan tanganya menyambut pelukan yang datang dari Tante Ira, adik semata wayangnya bersama Om Bram dan seorang bayi dalam gendonganya
"Maaf Ira nggak bisa nengok Kakak di Rumah Sakit, anak-anak nakal itu bahkan nggak mengabari Ira kalau Kakak srdang sakit" ucapan diiringi isak tangis keluar dari bibir Tante Ira
"Ira maafin Kakak..., Kakak sungguh nggak bisa menjaga amanat Ibu dan Ayah.., semua salah Kakak Ra, karena terlalu percaya pada Mas Hendry"
Suara tangis keduanya yang pecah memenuhi seisi ruangan rumah yang tak terlalu besar itu, hingga Ayesha bayi cantik dal antheam gendongan Om Bram ikut menjerit saat menyaksikan Mamanya menangis tergugu. Bayi cantik itu seolah ikut merasai kesedihan dari ibunya.
"Sudah-sudah...berhenti nangisnya, kasihan Ayesha..dia juga jadi ikutan mewekkan" protes Arin yang kini sudah mengambil alih Ayesha dalam gendonganya dan membawa bayi mungil itu keluar dari ruangan agar tak ikut semakin larut dalam suasana mellow yang ada.
Beruntung dibawah pohon mangga terdapat ayunan mini yang bisa Arin gunakan untuk mengecoh perhatian Ayesha dari Mamanya.
Bayi berusia 10 bulan itu sebentar saja langsung bisa tertawa saat Arin memangkunya dan membiarkan Eza mendorong untuk menggerakkan ayunan itu pelan.
"Ayesha pintar..Ayesha cantiiik...Ayesa gembul" cubitan gemas mendarat dipipi bayi Chubby itu, yang segera mengundang kekehan menggemaskanya, kala Eza dengan ekspresi kocak menggoda bayi dalam gendongan Arin itu sambil terus mendorong Ayunan agar terus bergerak.
"Seneng ya yang kalau punya bayi langsung gede gini" bisik Eza pelan ketelinga Arin yang berbalas pelototan tajam dari gadis itu.
"Emang kamu nggak seneng yang, bayi gemes gini, apa jangan-jangan kamu suka buatnya aja"
Plakk
"Ezaa!!"
Kali ini tak hanya sekedar plototan tajam, bahkan sebuah pukulan mendarat telak dipundak cowok bermanik mata coklat itu.
"Sakit yang....tega bener ya kamu, uuhh" Eza mengelus lenganya yang terasa panas akibat kekejaman kekasihnya.
"Salah sendiri, mesum nggak tau tempat..."
"Hallaaaah..., kamu juga senengkaaaan...., kalau aku mesumiiin" goda Eza dengan sedikit kerlingkan matan nakalnya
Bak memancing di air keruh, Eza buru-buru kabur saat mendapati Arin yang sudah beranjak dari duduknya yang sudah pasti akan segera melancarkan serangan bertubi-tubinya nanti.
Walhasil..., suara gaduhpun hadir dihalaman depan rumah itu, membuat suasana tenang yang baru tercipta kembali riuh saat semua yang didalam terkejut dan kompak berlari untuk melihat drama yang terjadi di halaman depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu Dosa
RomanceKeceriaan gadis berparas cantik idola SMA Nusa Bangsa bernama Ariana Kamilla harus lenyap seiring gerusan cobaan hidup yang harus ia alami. Penghianatan, kehilangan, tipu daya, dan kejinya pemerkosaan yang dialami Ariana diusia belia, menjerumuskan...