Berbagi Duka

282 18 0
                                    

Jangan lupa vote dan komen

Arin seperti tak percaya dengan kenyataan yang tersaji dihadapanya, nafasnya memburu dipenuhi kemarahan yang menggelegak hebat. Nafas Arin terasa sesak hingga tanpa sadar membuat tangannya memukul keras bagian dadanya berulang kali agar nafasnya tak lagi tersengal

"Ariin maafin Ayah nak...Ayah mohon sayaaaang, mari kita bicara dulu sebentar"

Ayah tak henti membujuk Arin agar mendengar apa yang coba ia jelaskan, namun berulang kali pula Arin menolaknya.

Apa yang baru saja dilihatnya sudah cukup membuktikan bahwa selama ini praduganya adalah benar.

Orang yang pernah dilihatnya dalam lift sebuah hotel dikawasan puncak adalah benar Ayah, pria yang berjalan sambil bermesraan di Mall kemarin juga adalah Ayah, serta sikap ganjil yang ditunjukan Ayah selama dirumah serta alasan-alasanya selama ini untuk sering kali tak pulang kerumah akhirnya menemui jawaban

Ayah yang selama ini begitu ia sayang ternyata adalah seorang penghianat, sosok pria paling sempurna yang selama ini menjadi cinta pertamanya ternyata adalah seorang penipu ulung.

Meski saat ini Ayah memperlihatkan kesedihanya namun bagi Arin itu tak lebih dari sebuah kepalsuan, tangis dan air matanya tak lebih seperti air mata buaya untuk menutupi segala kesalahanya, hingga hal itu justru membuat Arin  marah dan merasa jijik.

Bayangan wajah bunda tiba-tiba melintas dalam benak Arin, betapa bunda pasti akan sangat terluka melihat ini, dimana kesetiananya, pengabdianya, pengorbananya telah benar-benar dihianati.

Arin sangat tahu pasti bagaimana Bunda begitu mencintai sosok pria dihadapanya ini, dari bagaimana bunda melayaninya setiap hari, memupujinya setengah mati, mencintainya sepenuh jiwa, bahkan namanya tak pernah luput dalam setiap bait-bait do'anya.

Arin yang tak kuasa lagi membayangkan kehancuran yang tergambar jelas dipelupuk matanya  menjerit sekuat-kuatnya untuk meluapkan perasaan kecewa, amarah dan keterkejutan akan kejadian yang sama sekali tak pernah ia duga sebelumnya.

Sambil menangis dan meraung diteras rumah itu, Arin menyerang dan memukul bahkan menampar wajah Ayahnya secara membabi buta

"AYAH JAHAT!!! AYAH PENGHIANAT...!!! AYAH TELAH MENIPU KAMI!!!...ARIN BENCI AYAH..ARIN BENCIIIII!!!!"

Eza yang menyadari Arin tak lagi bisa mengontrol emosinya segera berlari dan mendekap tubuh kekasihnya itu dalam pelukanya, disandarkan kepala Arin didadanya sembari berusaha meredam rontaan tubuh Arin  yang sempat tak terkendali.

Arin yang terlihat semakin histeris membuat Eza semakin kalang kabut

"Sayang...sayang lihat aku..., aku disini..., kamu harus kuat, kamu harus tenang, aku disini...Arin...Arin..." Eza menangkup kedua sisi wajah Arin, memaksa Arin untuk menatap manik coklat matanya yang meneduh, sambil terus mencoba menyadarkan wanitanya itu agar kembali bisa menguasai diri "kamu harus kuat sayang"

Tanpa penjelasanpun Eza tahu sepenuhnya apa yang tengah terjadi, begitupun ia bisa merasakan apa yang Arin rasakan saat ini

"Aku mau pulang Za..aku nggak mau disini..aku muak melihat semuanya Za.." Arin mengguncang-guncangkan tubuhnya dalam pelukan Eza, memohon agar kekasihnya itu segera membawanya pergi dari tempat terkutuk itu.

"Ok..ok..kita pulang sayang...kita pulang" dengan tanpa mengendurkan pelukanya sama sekali Eza membawa Arin yang masih terisak penuh kepiluan pergi meninggalkan Ayahnya yang hanya bisa memandangnya tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya.

Mungkin tak pernah terbayangkan dalam benak Eza bahwa ia akan menemui Ayah Arin dalam kondisi seperti ini.

Tanpa menoleh apa lagi permisi Eza begitu saja  meninggalkan rumah mewah itu dengan hati yang tak lagi bisa digambarkan

Mereka terus berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan mewah itu seperti tanpa tujuan, hingga jemari Arin memberi isyarat untuk mereka berhenti sejenak.

"Aku nggak mau pulang ke rumah Sisi Za...aku nggak mau mereka melihat aku dalam kondisi seperti ini...aku juga nggak siap buat njelasin semua ke mereka" Arin tertunduk berusaha menyembunyikan air matanya yang kembali tumpah

"Apa kamu mau aku antar pulang?"

Arin menggeleng

"Aku nggak sanggup liat wajah Bunda, dan juga orang dirumah pasti akan curiga melihatku dalam kondisi seperti ini"

"Laluuu..."

Sejenak Eza tampak berfikir

"Apa kamu nggak apa-apa kalau aku ajak pulang ke apartemenku"

Seperti tak mempunyai pilihan lain yang bisa ia jadikan pertimbangan Arinpun mengangguk menyetujui ajakan Eza yang akan membawanya pulang ke apartemenya.

Dengan tak lagi memperdulikan mobil dan semua barang-barangnya yang masih tertinggal dirumah Sisi, dengan menaiki sebuah taxi merekapun pulang menuju aparten Eza.

Hampir pukul 01.00 dini hari saat mereka sampai di lobby apartemen Eza. Dengan masih menggenggam erat jemari tangan Arin, Eza membimbing wanitanya itu untuk langsung menaiki lift menuju lantai 20 unit apartemenya.

Lampu ruang tengah apartemen sederhana Eza sudah padam saat mereka baru sampai, manandakan Karenina sudah tidur lebih dulu dikamarnya.

Unit itu tak terlalu besar, hanya terdiri dari sebuah ruang tamu, ruang tengah yang menyatu dengan tempat makan dan pantry juga sebuah kamar mandi di sudut ruangan

Ada dua buah kamar tidur diapartemen Eza, satu kamar tidur yang biasa ia gunakan dan satu lagi kamar tidur tamu yang di hari biasa selalu kosong. Baru beberapa hari ini kamar tamu itu terisi setelah Karen memilih untuk  pulang ke apartemen kakaknya sepulangnya ia dari luar negeri, meskipun sebenarnya rumah megah Papanya jauh lebih mewah ketimbang apartemen kecil milik kakaknya itu.

"Kamu duduk dulu ya, aku ambilkan minum" Eza melangkah menuju lemari pendingin yang berada di dapur setelah terlebih dulu membimbing Arin untuk duduk di sofa ruang tengah rumahnya.

Arin meneguk habis segelas air mineral yang Eza berikan. Gadis itu masih hanya terdiam dengan pandangan mata yang tak fokus, fikiranya tampak masih tertinggal dimana tempat kejadian gila itu terjadi.

"Malam ini kamu bisa tidur dikamarku, sementara aku bisa tidur disofa"

"Kamu nggak apa-apa tidur disofa"

"Nggak apa-apa" Eza tersenyum sambil membelai rambut panjang Arin, meyakinkan gadisnya untuk tak menghawatirkanya.

Sebuah sweater disiapkan Eza untuk Arin mengganti pakaianya agar lebih nyaman saat tidur, membimbing Arin untuk segera menaiki tempat tidurnya dan beristirahat agar bisa melupakan sejenak segala kegalauan batinya.

Sebuah kain agak tebal ditarik Eza dari sisi bawah ranjang untuk menyelimuti tubuh Arin yang sudah meringkuk di atas ranjang.

Sebelum beranjak dari dalam kamar, Eza menyempatkan untuk mengambil posisi duduk disisi samping ranjang tempat Arin kini tengah tidur, Tiba-tiba Eza meraih tangan kekasih tercintanya itu dalam genggamanya.

Arin yang sedari tadi tak melepas pandang dari wajah Eza hanya menurut tanpa ada keinginan untuk mengajukan pertanyaan.

"Untuk malam ini lupakan semuanya walaupun sebentar, tidurlah yang nyenyak...jangan pernah takut, besok saat kamu terbangun masih ada aku yang menemaimu, kita hadapi semua bersama-sama"

Arin tersenyum sembari mengangguki perkataan Eza, sesaat hatinya terasa menghangat mendengar perkataan Eza yang terdengar begitu tulus.

Arin tahu Eza tak akan pernah membiarkan ia sendiri menghadapi permasalahan ini. Arinpun sadar bahwa kehadiran Ezalah yang membuatnya merasa lebih kuat dan lebih baik hingga detik ini.

"Terima kasih karena sudah bersedia menjadi teman untuk berbagi dukaku" bisik Arin begitu perlahan ketelinga Eza saat lelaki itu mendaratkan kecupan lembut dikeningnya

Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang