Ayah

283 13 1
                                    

Jangan lupa Vote dan Komen

Entah kenapa sehari ini fikiran Arin merasa tidak tenang, di sekolahpun Arin lebih banyak diam dan melamun. Keceriaan yang biasa ia tampilkan surut tanpa jejak.

Moment perpisahanya banyak meninggalkan tanya yang menggantungi isi kepalanya. Tak seperti biasanya kak Fikri banyak menitip pesan pada Arin untuk lebih perhatian pada bunda, jangan biarkan bunda kesepian dan masih banyak pesan lain yang membuat Arin semakin dikejar rasa penasaran tentang perubahan sikap kak Fikri pada kepulanganya kali ini

"Berfikiran positif akan jauh lebih baik Rin, seringkali ekspektasi kita nggak sesuai dengan kenyataan yang ada, ketakutan loe bisa jadi terlalu berlebihan, padahal lumrah kok yang namanya beda pendapat dalam keluarga, mungkin itu yang saat ini tengah di alami Kak Fikri dan Ayah" Arin mengangguki nasihat Amel barusan, berusaha mengarahkan isi otaknya agar dapat berfikir lebih positif

"Entengin aja shaayy...." Alfon menimpali nasihat Amel sembari menepuk pundak Arin.

Ada rasa lega setelah membagi sedikit keluh kesahnya bersama ketiga sahabanya itu, mungkin ada benarnya kalau insting Arin bisa jadi keliru

Namun entah kenapa jauh disudut terkecil hatinya, Arin masih menyimpan ketakutan bahwa akan ada badai yang akan menerpa keluarga tercintanya.

*
*

"Yang...minum dulu yuuk...tenggorokkanku udah kering niih.."  rengek Eza, dibalas Arin dengan anggukan mengiyakan permintaan kekasihnya itu

Merekapun rehat sejenak, setelah hampir 2 jam berkeliling Mall mencari kado untuk untuk ulang tahun Sisi.

Eza meminta Arin untuk duduk terlebih dulu setelah mereka masuk kesebuah restoran cepat saji. Tak lama cowok itu sudah kembali dengan membawa 2 botol minuman cola dan 2 porsi dada ayam dan stik kentang ukuran besar tanpa nasi.

"Makaciih cayaang " Arin mencubit kedua pipi Eza dengan manja

Rasa lapar dan haus yang sudah menggerayangi perut mereka sedari tadi membuat mereka larut menikmati setiap suapan yangvmasuk ke mulut masing-masing.

Tak banyak orolan yang mereka umbar hingga sesi makan mereka itupun selesai

Setelah mengisi perut mereka dengan kenyang merekapun melanjutkan misi yang belum terselesaikan tadi dengan tenang.

Menyusuri tiap barisan toko yang berjajar, mengunjungi setiap stand yang memajang pernak-pernik aksesoris yang tetlihat menarik hingga Arin menjatuhkan pilihanya pada sebuah tas cantik yang sesuai sekali dengan selera Sisi sahabatnya.

Tangan Arin tak hentinya bergelayut manja pada lengan Eza, disandarkan kepalanya pada pundak Eza yang kokoh sembari keduanya duduk di sebuah kursi panjang yang berjajar rapi dilantai dasar Mall.

Arin mengurut betisnya yang terasa pegal karena terlalu lama berjalan

"Baru kerasa capek ..? tanya Eza

"Hhmmm..." sambil mengulum senyumnya Arin mengangguk

"Kamu juga pasti capek ya yang?" tanyanya pada Eza setelah mengingat bagaimana sedari tadi kekasihnya itu terus mengikutinya berjalan kesana-kemari tanpa sekalipun melayangkan protes.

"Ya lumayan...nggak nolak juga kalau setelah ini ada yang mau mijitin"

Arin tertawa geli sambil melayangkan cubitan mesranya pada pipi Eza, membuat wajah tampan itu kembali mengular senyum

Tak selalu tentang obrolan penting yang membuat keduanya betah untuk berlama-lama dalam sebuah kebersamaan. Bahkan terkadang hanya untuk sebatas bahasan konyol yang tak penting membuat keduanya cukup merasa terhibur

Seperti kali ini keduanya hanya duduk terdiam memandangi setiap lalu-lalang orang yang melintas tepat dihadapan mereka, hanya melihat sedikit tampilan unik dan terkesan nyeleneh dari seseorang yang melintas tak jarang membuat Arin sampai mencubiti pinggang Eza karena komentarnya yang kelewatan

Tapi sejurus kemudian semua berubah, tiba-tiba tawa Arin lenyap saat pandangannya tertuju pada sosok yang melintas di depan matanya.

Kepalanya yang sejak tadi bersandar pada pundak Eza menegak seketika. Matanya melotok seperti hendak melompat.

Sosok pria yang begitu mirip dengan Ayah tengah berjalan bersama seorang wanita dengan bergandengan mesra. Seketika darah Arin mendidih, jantungnya berdegup hebat. amarahnya benar-benar berkobar.

Kata-kata Amel seketika berputar diotaknya, bahwa apa yang kita lihat belum tentu sama dengan kenyataan sebenarya, bisa jadi itu buka Ayah, atau jika itu memang Ayah mungkin saja tidak seperti yang ia fikirkan saat ini

"yaang..Yang...kamu kenapa?" Arin tersentak kaget, mengingat bahwa Eza masih di sebelahnya, tentu ia akan malu sekali kalau sampai Eza tahu apa yang baru saja dilihatnya.

Belum lagi saat memikirkan bagaimana pandangan Eza mengenai Ayahnya tertangkap tangan sedang selingkuh dihadapanya sungguh ia tak akan bisa menahan rasa malunya pasti.

"Sayang..kita pulang aja yuuk, aku udah capek"

Eza sempat mengerutkan keningnya sesaat sebelum akhirnya mengiyakan permintaan Arin  "ok.., kita pulang sekarang" sahut Eza sambil menggenggam tangan Arin

Arin masih mengingat kejadian di Mall tadi, benarkah itu Ayah? rasa tak percaya dan tak ingin percaya dengan apa yang ia lihat tadi.

"yang kamu kenapa ? sejak keluar dari Mall tadi kamu jadi pendiam, nggak mau cerita?" tanya Eza yang menyadari perubahan sikap Arin

"Aku baik-baik aja kok, cuma lagi capek aja"

Arin mengulas senyum dibibirnya

"Jangan lupa besok.., Sisi ngundang kita ke rumahnya" Arin berusaha mengalihkan pembincaraan.

*

*

Setelah merapikan kado dan menyiapkan beberapa barang yang hendak di bawanya menginap di rumah Sisi, Arin segera turun untuk meminta pak Kusno segera bersiap

Dari belakang tampak Ayah berjalan cepat menuju ruang tamu, tanpa menghiraukan Arin yang tengah berdiri menatapnya dekat tangga.

Beberapa saat lalu Arin melihat mbak Asih sempat menyampaikan sesuatu pada Ayah. Rasa penasaran mendorong Arin untuk mengintip dari balik tirai pintu.

Rupanya sosok itu adalah pak Rudy, orang kepercayaan Ayah. Entah apa yang tengah  mereka bicarakan Arin tak dapatcmendengarnya dengan jelas.

Tiba-tiba Ayah beranjak dari duduknya membuat Arin kaget dan segera beranjak dari posisinya.

Gerak-gerik Ayah semakin terlihat mencurigakan dimata Arin, seperti ada sesuatu yang tengah berusaha disembunyikanya.

Wajah panik Ayah yangvterlihat saat pergi bersama pak Rudy tadi membuat Arin semakin di gulut rasa penasaran, sampai sebuah nada notifikasi yang terdengar dari ponsel membuyarkan lamunan Arin.

Rupanya sebuah pesan singkat dari Sisi yang menshare lokasi alamat rumahnya yang baru. Hampir saja Arin lupa kalau sudah 1 bulan ini  Sisi tinggal di rumah barunya.

Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang