Jalan Nasib

251 19 10
                                    

Jangan lupa Vote dan Komennya

🍁🍁🍁🍁

Disebuah koridor tepat didepan ruangan bertuliskan ruang operasi suasana tampak hening. Tak terdengar suara apapun selain derit kursi dan decitan dari telapak sepatu yang beradu dengan lantai tiap kali salah seorang dari mereka bangkit dan terlihat mondar-mandir gelisah.

Sudah hampir 2 jam lebih lampu berwarna merah yang menempel diatas pintu itu tak kujung padam, menandakan operasi masih terus berjalan.

Aura tegang tampak jelas tergambar dari wajah-wajah yang duduk berbaris dikursi panjang yang disediakan untuk keluarga pasien yang menunggu operasi

Tak terlihat ada yang memulai obrolan, semua seperti asik dalam permainan fikirannya masing-masing.

Alfond, Amel dan Sisi tak pernah beranjak dari samping Arin semenjak kejadian malam itu hingga persiapan operasi Rio dini hari tadi.

Bersyukur saat ini Fikripun sudah ada ditengah-tengah mereka setelah pagi tadi ia tiba dengan penerbangan awal dari kota B untuk ikut merawat adiknya Rio

Rasa lega bercampur haru langsung terasa saat dokter menyatakan operasi hari ini berjalan sukses. Rasanya beban ribuan ton lepas seketika mengetahui bahwa semua tak ada yang sia-sia.

Arin tergugu dalam pelukan Fikri. Menumpahkan segala beban batin yang seolah tak lagi sanggup ia tanggung.

Perih dan nelangsa harus ia cecap bersama dalam memperjuangkan nasib kehidupan kakaknya yang sempat diujung tanduk.

Diusianya yang masih sangat hijau ia harus mengambil keputusan tersulit, bahkan dengan mempertaruhakan masa depan yang seharusnya tetap bisa jadi miliknya.

Meski dokter mengatakan masih terlalu dini untuk bisa tersenyum lebar, karena kondisi Rio belum sepenuhnya dikatakan baik. Ini baru operasi tengkorak kepalanya, belum operasi untuk tulang rusuk Rio yang patah. Dan akan masih banyak rangkaian perawatan yang harus dijalani pemuda tampan itu untuk menyongsong kesembuhanya.

Dalam tangis Arin yang tak berkesudahan Fikri hanya bisa mengeratkan pelukanya pada tubuh Adik perempuanya itu, menepuk perlahan pundaknya sembari meraisai tubuh mungil yang kini terasa semakin mengurus saja.

"Kita jalani ini sama-sama sayang, Kak Fikri akan cari jalan gimana caranya supaya bisa nemenin kamu dan Bunda disini, karena kakak tahu...keadaan disini pasti terlalu sulit untuk kamu jalani sendiri"

Arin tak bergeming atau berusaha menimpali, gadis itu masih hanya memeluk Fikri dalam isakan tangisnya yang tak kunjung mereda.

Dalam benak gadis itu hanya ada sejumput kata pasrah, bahwa mungkin jalan nasiblah yang membawanya hingga sampai pada titik nadir hidup yang mau tidak mau, suka tidak suka harus ia jalani.

Tersaji lengkap dengan gambaran imaji yang menari-nari dalam otak besarnya, bagaimana ia akan melemparkan tubuhnya dengan suka rela untuk menjadi budak pemuas hasrat ranjang seorang pria yang sama sekali tidak ia cinta.

🍁🍁🍁🍁

Suasana mulai merangkak gelap, matahari sudah sejak tadi kembali keperaduanya. Semilir angin malam mulai bertiup dingin saat menyapa bulu-bulu lembut dipermukaan kulit.

Satu demi satu Arin melepas sahabat-sahabatnya yang mulai berpamitan pulang karena sudah hampir seharian mereka berada di rumah sakit.

Sengaja Arin menyuruh mereka untuk pulang dan beristirahat dirumah setelah berhari-hari mereka tak henti menemani Arin merawat Rio di Rumah Sakit.

Ada rasa kasihan yang berkelebat dalam benak Arin mana kala membiarkan mereka terlalu ikut larut dalam kerepotan yang harus ia jalani belakangan ini.

Setelah operasi 2 hari lalu kondisi Rio menunjukan peningkatan kearah membaik. Ia sudah mulai sadar dan bisa sedikit merespon beberapa pertanyaa.

Sayangnya dokter malah memberinya obat penenang sehingga cowok tampan itu terlihat lebih banyak tidur. Tujuannya agar Rio tidak terlalu merasakan sakit sehingga bisa lebih banyak beristirahat dan tidak banyak bergerak agar hasil operasi kemarin lebih baik lagi.

Jadilah malam ini Arin hanya duduk terbengong dikamar tunggu keluarga pasien yang diperuntukan bagi keluarga pasien yang di rawat diruang ICU.

Arin dan Fikri hanya sesekali bertukar obrolan singkat dan setelahnya masing-masing kembali sibuk dengan ponselnya. Begitupun Fikri kembali asik berkutat dengan laptop dan pekerjaanya yang terpaksa ia handle dari jarak jauh.

Sekitar 30 menitan lalu mereka baru saja selesai dengan sebuah panggilan video yang terhubung dengan Bunda dirumah. Melaporkan segala sesuatu yang saat ini tengah dijalani Rio di Rumah Sakit.

Ya...Perempuan tua dan lemah itu akhirnyapun harus tahu kecelakaan yang dialami Rio. Sedih dan terguncang pasti ia rasakan mana kala mendengar kabar buruk tentang putranya. Tapi sungguh tak ada pilihan lain selain harus memberitahunya.

Saat itu Arin hanya bisa pasrah atas apapun yang akan menimpa Bunda saat kabar tragis itu didengarnya. Karena jujur, seolah ia sudah kehabisan kata dan alasan saat Bunda terus saja mencecarnya, menanyakan keberadaan Rio yang tak kunjung pulang selama berhari-hari.

Naluri seorang ibu untuk buah hatinya tentu tak bisa dibohongi, nafsu makan bunda tiba-tiba saja hilang tanpa sebab selama menghilanya Rio. Berbagai mimpi aneh kerap menyambanginya dalam tidur seolah memberi isyarat bahwa putranya itu sedang tidak baik-baik saja.

Dengan sangat berat Fikripun memberitahukan keadaan yang menimpa Rio pada Bunda. Wanita itu sempat syok beberapa saat namun diluar dugaan ia bisa mengendalikan diri dan kembali kuat.

Karena kondisinya Arin dan Fikri belum mengizinkan Bunda untuk menjenguk ke Rumah Sakit. Dan sebagai gantinya Arin dan Fikri selalu mengabarkan setiap perkembangan yang terjadi pada Rio melalui panggilan telephone atau video.

Setidaknya itu bisa mengobati rasa rindu dan penasaranya.

Jam menunjukan pukul 19.00 tepat saat ponsel Arin bergetar, menandakan ada  sebuah pesan masuk.

Degub jantung Arin seketika bertalu ramai, menghasilkan debaran yang membuat dadanya naik turun lebih cepat dari semula.

Kelopak matanya sempat melebar sesaat dengan bola mata yang menajam memandang tulisan dilayar ponsel.

Satu demi satu kata ia pahami dengan sangat cermat, meski nyatanya sejak awal ia sudah paham betul apa isi dan maksudnya

Gadis cantik yang tampak panik itu terlihat mengulum bibir bawahnya, melempar pandang pada sosok Fikri yang terlihat masih sibuk mengamati deretan angka dilayar laptopnya.

Arin terlihat makin gelisah, berulang kali  bibirnya tampak hendak terbuka mengucapkan sebuah kata namun kembali ia telan

"Kak.., Arin mau ke toko buku dulu. Manager Arin baru saja menghubungi karena sudah beberapa hari Arin nggak masuk"

"Apa perlu kakak antar?" Fikri menghentikan aktifitasnya sejenak guna memberi perhatian pada adiknya

"Nggak usah kak, nggak jauh kok. Lagian kak Fikri harus tetap jaga disini kalau-kalau Kak Rio butuh sesuatu"

Fikri terlihat mengangguk "tapi jangan malem-malem ya.., kalau ada apa-apa cepat hubungi kakak"

Arin tersenyum dan mengangguk sembari menarik sling bag yang ia letakan disofa.

Mungkinkah aku akan sanggup berteriak memanggil nama kakak nanti...., Maaf kak...Maaf karena aku harus mengambil jalan ini.., bukan mauku...tapi keadaan yang memaksa aku untuk memilih ini.

Sebuah senyum kembali Arin layangkan pada kakaknya sebelum ia benar-benar lenyap dari balik pintu. Langkahnya gontai dan gemetaran menyusuri koridor panjang Rumah Sakit

"Aku sudah menunggu didepan"

Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang