Berubah

223 17 1
                                    

Eza POV

Begitu keluar dari ruang perawatan Arin, si monyet satu ini terus saja meledeku habis-habisan , membuat kupingku jadi semakin panas saja

Padahal saat diruangan tadi darahku sudah terasa mendidih ketika harus melihat Om-om nggak inget umur itu terus melancarkan aksinya merayu pacarku, belum lagi sikap yang ditunjukan Ayah Arin tadi yang terlihat sekali tak menyukai kehadiranku, sangat jauh berbeda dengan saat ia menyambut kedatangan si cowok bernama Sendy itu.

"Dasar Kadal..., Apeees nasib loe hari ini"

"Udah nyet diem, dari tadi mulut loe nggak enak tau" aku mendengus kesal mendengar ejekan Ilham semenjak keluar dari ruangan tadi, tawanya sungguh membuatku semakin ingin menyumpalnya dengan sepatu yang ku kenakan sekarang

"Ha ha ha sabar..., biar bagaimanapun gue sebagai temen tetep dukung loe, apapun yang terjadi.., tapi jujur, cowok tadi emang keren..wajar kalau Ayahnya Arin ngasih dukungan spesial buat tu cowok, sorry..biar bagaimanapun gue harus bicara sesuai fakta"

"Kampret loe..ujung-ujungnya mulut loe tetep aja nggak enak" aku terus mengumpati teman durhaka satu ini, alih-alih memberi dukungan padaku dia malah terus saja membandingkanku dengan cowok nggak inget umur tadi.

"Hey Kadal, tapi asal loe tau aja , biar bagaimanapun posisi gue tetep aja menang, mau tu cowok sekeren apapun pada kenyataanya Arin tetep cewek gue, dan dia tetep milih gue, loe mau ngomong apa lagi coba" balasku telak

"Yaa..., sekarang loe emang masih di atas angin, tapi kita nggak bakalan tahukan beberapa hari, bulan atau tahun nanti"

"Anjeeerr..., lo emang sahabat kampret ya, sebenernya loe temen gue bukan si nyet...belain amat loe sama cowok itu"

Sepanjang perjalanan menuju parkiran kami terus berdebat tanpa kenal henti dengan aku yang semakin dongkol oleh ulah teman laknatku  ini.

*
*
Arin masih terlihat berbincang dengan santai bersama Sendy, sedang Ayah Arin Hendry Wicaksono masih sibuk berkutat dengan dokumen-dokumennya, sampai suara dering ponsel terdengar sesaat berikutnya

"Hallo"

" ...."

"Iya, sebaiknya kamu handle dulu saja ya"

"...."

"Ok...Ok..., Akan saya usahakan, iya.. iya..secepatnya, ok sampai nanti"

"...."

Ayah tampak serius menerima panggilan telepon itu, air wajahnya berubah menegang beberapa saat sebelum akhirnya ia menghela nafas diakhirnya.

Arin terus memperhatikan perubahan ekspresi yang ditunjukan oleh Ayahnya disela-sela obrolanya bersama Sendy.

Tak lama setelah itu tampak Ayah beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati Arin.

"Eemm...sayang" Ayah Arin tampak ragu-ragu saat memulai kata-katanya, pria itupun berusaha memalingkan pandangan mata saat Arin menatapnya, terlihat jelas ada sesuatu yang ia sembunyikan.

"Ada apa yah...apa Ayah ingin bicara sesuatu?" Arin mencoba mengulik rasa penasara atas sikap aneh Ayahnya

"Iya pak Hendry, apa ada sesuatu yang bisa saya bantu" begitupun Sendy sepertinya dapat membaca raut ketegangan diwajah Hendry Wicaksono

"Begini Tuan Sendy, ada sesuatu yang harus saya urus dikantor, tapi saya juga tidak bisa meninggalkan Arin sendirian diasini, saya jadi..."

"Kalau memang Pak Hendry ada kepentingan saya bisa menemani Ariana disini, Pak Hendry bisa mempercayakan Ariana pada saya"

"Apa sungguh ini tidak merepotkan Tuan Sendy?"

"Tenang saja Pak Hendry, saya sedang tidak sibuk juga hari ini"

"Ee... Mas Sendy nggak perlu repot-repot, lagian Arin juga sudah baikan kok, jadi nggak masalah kalau harus sendirian disini, lagian Bunda dan Kak Rio pasti sebentar lagi juga datang, Ayah tenang aja..Arin nggak apa-apa kok yah.."

Wajah pria itu seperti melega saat Arin mengizinkannya pergi. Meskipun jauh didasar hati Arin menaruh rasa kecewa berikut tanda tanya, bagaimana Ayah bisa meninggalkanya dalam keadaan sakit dan sendiri disini

Dan yang paling aneh, Ayah bisa dengan santainya meninggalkan Arin bersama orang asing yang bahkan belum lama ia kenal, sedang tadi bahkan Ayah tak meninggalkan Arin barang sekejappun saat Eza dan Ilham menjenguknya, padahal Ilham bukanlah orang asing, ia adalah sahabat yang orang tuanyapun Ayah mengenal dengan baik

"sebenarnya Ayah ingin menemanimu disini sampai Bunda dan Kakakmu datang sayang, tapi sungguh ada urusan dikantor yang harus Ayah selesaikan, tapi ayah janji akan segera menghubungi Bunda untuk segera datang kemari nak"

Arin menjawab perkataan Ayahnya itu dengan anggukan kepala dan senyuman yang jelas  dipaksakan, sungguh Ayahnya bukan lagi seperti sosok yang ia kenal dulu.

Ayah yang ia kenal dulu adalah sosok yang sangat protektif pada putrinya, keamanan dan keselamatan putrinya adalah prioritas dalam hidupnya. Ia tak akan semudah ini mempercayakan pengawasan putrinya pada orang asing, namun sekarang Ayah berbeda, Ayah sungguh telah berubah.

Ayah sudah pergi  meninggalkan  Rumah Sakit beberapa saat lalu dan menyisakan Sendy seorang untuk menjaga Arin disini.

"Apa kamu mau sesuatu Ariana, Mas bisa bantu kamu untuk mengambikanya" Suara Sendy terdengar memecah kebuntuan yang sudah  berlangsung sejak beberapa saat lalu

"Nggak Mas, Arin masih kenyang..Eee..." Arin terdengar ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya

Kelopak mata Sendy sedikit melebar, dengan dahi yang sedikit berkerut pula, menanti Arin melengkapi kalimatnya yang terputus

"Ada apa Ariana, bilang saja...kenapa ragu hah"

Dengan wajah yang tampak malu-malu Arin mencoba mengatakan maksudnya "Mas bisa tolong bantu Arin ke kamar mandi, Arin pengen pi...piss" seketika wajah gadis itu bersemu merah membuat Sendy yang melihat itu mengulum senyum dan segera bangkit dari duduknya.

"Mas cukup bantu Arin turun aja, Arin bisa kok jalan sendiri ke kamar mandi"

Setelah Arin memposisikan tubuhnya duduk ditepi ranjang tanpa aba-aba Sendy dengan entengnya mengangkat tubuh mungil itu turun dari ranjang.

Arin yang mendapat perlakuan  begitu tiba-tiba dari Sendypun sedikit terkejut, namun berusaha bersikap senormal mungkin.

"Apa kamu merasakan pusing rin, kalau ya.., Mas bisa menggendongmu sampai kedalam"

"Nggak Mas.., Arin bisa jalan pelan-pelan kok"

"Jangan memaksakan diri, Mas takut kamu nanti jatuh"

Arin tersenyum melihat Sendy yang tampak begitu menghawatirkanya

"Tenang aja, Arin nggak apa-apa kok Mas"

Sambil mendorong tiang infus dengan perlahan Arin melangkah menuju kamar mandi dengan diikuti Sendy dibelakangnya.

Arin baru akan menarik daun pintu kamar mandi saat Sendy dengan tiba-tiba menahanya.

Seketika Arin memandang heran pada pria itu

"Mas, kenapa?" tanya Arin penuh keheranan dengan tingkah Sendy kali ini

"Jangan dikunci Rin"

Arin semakin keheranan dengan sikap Sendy itu

"Ee..e...jangan berfikir yang bukan-bukan, mas hanya takut kamu kenapa-napa didalam, jadi tolong jangan dikunci pintunya"

Arin menghela nafas lega saat mendengar penjelasan Sendy barusan, namun tidak dengan Sendy, wajah pria itu seketika bersemu dengan wajah dinginnya yang kini tampak begitu canggung

"Iya mas, nggak Arin kunci kok...tapi nggak dibuka gini juga kan..."

Seketika Sendy yang menyadari bahwa tanganya masih dalam posisi menahan daun pintu segera menariknya dan membiarkan Arin menutup pintu itu rapat.

Mungkin baru menyadari betapa konyol tingkahnya barusan, pria dingin itupun tampak mengusak kasar rambutnya berulang kali



Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang