Sandaran

227 20 4
                                    

Jangan lupa Vote dan Komen


Pandangan mata Arin menerobos keluar jendela, menatap lalu-lalang kendaraan yang mereka lalui disepanjang perjalanan mereka pagi itu.

Lamunan Arin berkelana tak tentu arah, carut-marut fikiran yang tak jelas membuat air wajahnya memuram semajak mereka memulai perjalanan tadi.

Hasil observasi dokter pagi tadi akhirnya memperbolehkan Arin untuk pulang meski dengan banyak catatan.

Arin untuk sementara waktu tak diperkenankan untuk melakukan aktifitas yang membuat ia tegang apalagi stres. Bahkan dokter menyarankan untuknya melakukan aktifitas yang menyenangkan semisal rekreasi atau liburan

Pucuk dicinta ulampun tiba, begitulah pepatah lama mengatakan. Saat entah memperoleh kabar darimana  ketika Sendy tiba-tiba datang dan meminta pada kedua orang tua Arin untuk mengajak putrinya itu jalan-jalan.

Awalnya Bunda ragu untuk melepas putrinya itu pergi dengan Sendy. Bukan tanpa alasan, mereka bahkan belum lama mengenal sosok Sendy, seperti apa karakternya dan latar belakang keluarganya.

Namun bertolak belakang dengan Hendry Wicaksono Ayah Arin yang begitu saja memberi izin pada Sendy untuk membawa putrinya itu pergi

Arin masih tak menyadari bahwa sedari tadi Sendy yang tengah sibuk mengemudikan kendaraanya selalu memperhatikan gerak-geriknya. Bahkan berbagai ekspresi yang dilukis Arin diwajahnya tak pernah luput dari perhatian pria itu.

"Ada apa Ariana, Mas perhatikan dari tadi kamu tampak sedih.., jangan bilang kamu terpaksa ya ikut sama Mas"

Arin terkesiap, seketika lamunanya buyar saat Sendy tiba-tiba memulai pembicaraan

"N..nggak kok Mas, siapa bilang Arin terpaksa, bukanya dari kemarin Arinkan sudah bilang kalau Arin pengen jalan-jalan ke pantai"

Sebuah senyum terbit dari bibir Sendy "Baguslah kalau kamu nggak merasa terpaksa, kalau nggak Mas akan merasa nggak enakkan" sindir Sendy meski wajahnya malah memamerkan kejenakaan

"Iiiiihh...Mas apaan sih lebay dehh.." seloroh Arin dengan gaya manjanya

"Hey..atau jangan bilang kalau kamu belum bilang sama pacarmu ya...kalau mau jalan sama Mas, jadi kamu kepiiran terus sekarang"

Degh

Hati Arin terasa amblas saat menyadari bahwa ia bahkan belum mengabari Eza tentang kepulanganya dari Rumah Sakit. Bagaimana mungkin bisa ia begitu saja melupakan pacarnya itu.

"Oh Tuhaaan" gumam Arin dalam hati, merutuki kebodohanya yang bisa begitu lalai melupakan salah satu orang yang terpenting dalam hidupnya itu.

Mungkin menyadari kebisuan Arin yang begitu tiba-tiba setelah ucapanya tadi, Sendypun melanjutkan kalimatnya

"Jangan bilang kalau tebakan Mas tadi benar, kamu belum pamit sama pacarmu itu ya, apa perlu Mas telepon dia sekarang untuk minta izin. Mas nggak mau ya.. nanti gara-gara Mas kamu jadi ribut sama dia"

"E..eenggak usah Mas, Eza itu anaknya dewasa banget kok, lagian dia juga pasti tau kalau aku nggak ada hubungan apa-apa sama Mas Sendy, jadi kenapa harus takut, nanti aku bisa langsung jelasin kok ke dia, dan dia pasti paham"

Sendy mengangguki penuturan Arin barusan. Meski dalam hati Arin sendiri merasakan ketidak nyamanan kerena telah mengesampingkan perasaan Eza saat ini.

Kesunyianpun kembali merayapi kebersamaan Arin dan Sendy sesaat berikutnya. Tak satupun dari mereka berdua terlihat memulai pembicaraan kembali. Keduanya malah asik terpekur dengan fikiran masing-masing, begitupun Sendy  yang kembali diam dengan ekspresi wajah yang  datar.

Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang