Gelisah

438 21 2
                                    

Hari mulai merangkak gelap saat mereka berdua berboncengan menyusuri jalanan.

Seperti biasa keduanya membisu.lamunan Arin membumbung menerka nerka kemungkinan apa yang akan ia hadapi nanti setibanya di rumah

"Huuffttt...."

Arin menghempaskan nafas dengan kasar,  berharap debaran jantungnya akan kembali sesuai ritme semula.

Perjalanan dari rumah Ilham ke rumah Arin memang terbilang jauh kurang lebih skitar 60 menitan. Arin merasa waktu berjalan semakin melambat saja, membuat pikiranya di hinggapi kegelisahan yang tak menentu.

Hawa dinginpun mulai menusuk kulitnya,  menyusup ke pori pori hingga membuat tulang dan giginya gemretuk ngilu

Arin menyilangkan lengannya didepan dada sambil sesekali memeluk tubuhnya dan menggosok gosok kedua telapak tangannya berharap mampu menghalau rasa dingin yang kian menusuk.

Terasa perlahan Eza mengurangi kecepatan motornya dan menepi di pinggir jalan. Cowok itu terlihat turun dari motor dan membuka kancing jaket jeansnya yang dikenakanya

Arin mengernyitkan dahinya sedikit heran dan bertanya tanya, namun belum sempat bibirnya terbuka, Eza sudah membuka lebar bagian depan jaketnya menangkupkanya ke punggung Arin

"Pake jaketnya, jangan sampe loe masuk angin"

Mulut Arin sedikit ternganga, merasa takjub dengan sikap yang ditunjukan padanya kali ini.

Cowok aneh ini sungguh tampak berbeda dari biasanya, meskipun tetap saja ekspresi wajahnya masih sedatar jalan aspal ini.

"Entah kesambet setan mana anak ini, kenapa jadi aneh gini" Arin masih bergumam dalam hati

"Sudah siap?"

Arin terkesiap, pertanyaan itu membuyarkan lamunanya dalam sekejap

"Hmmm...." Arin mengangguk sambil tersenyum tipis

Arin tak bisa menyembunyikan kegelisahanya sedikitpun, dari sorot mata dan kebisuanya jelas menunjukan suasana hatinya yang kian tak menentu.

Eza yang menangkap signal kecemasan yang tergambar dari pantulan bayangan wajah Arin dari kaca sepion motornya berusaha mencairkan suasana dengan sesekali melemparkan candaan ringan untuk sekedar mencairkan kekakuan dan berusaha membuat Arin sejenak melupakan kegelisahanya.

"Mukanya kok gitu mbak, aku jadi merasa bersalah"

"kenapa merasa bersalah?"

"Besok pagi kalau wajah loe yang cantik berubah jadi kanebo kering Gara-gara jalan sama gue gimana coba"

"Apa si loe, nggak lucu tau..." Arin yang merasa geli dengan gurauan Eza menyikut punggung kekar cowok itu sambil melepas tawanya.

"Emang keliatan ya..muka gue tegang banget?"

"Makanya itu gue bilang kayak kanebo kering, perlu gue basahin mbaakk..."

"Iiihh.....Eza..aa..aaa..jahat deh loo..., masak muka gue di samain kanebo.."

Arin mencubit pinggang Eza di iringi gelak tawa keduanya. Candaan mereka pun terus berlanjut
hingga tidak terasa dari kejauhan rumah Arin sudah nampak.

"Z.aa..za..., turunin gue disini aja deh" mendadak arin meminta Eza menepikan motornya sebelum sampai tepat di depan rumah

"Lo..kenapa....? kok gak sampe rumah sekalian"

"Gak apa apa Zaa, gue udah makasih banget loe mau anterin gue sampe sini"

Eza tampak mengerutkan keningnya, tapi seolah tak ingin membuat Arin terbebani dengan banyak pertanyaan yang beraseliweran di benaknya, Eza hanya mengangguk dan m3ngulas sentum tipis dibibirnya.

Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang