Bunda

203 15 0
                                    

Jangan lupa Vote dan Komenya

Pukul 20.00 malam saat Eza mengantar Arin pulang ke rumahnya. Setelah turun dari motor cowok tampan itupun membatu Arin melepas helm yang dikenakan Arin dengan perlahan.

"Sepertinya ada tamu sayang" Eza melihat kearah pintu pagar dan rumah Arin yang nampak masih terbuka dengan lampu yang menyala terang

Arin mengerutkan kening, seperti ikut menduga-duga siapa yang tengah bertamu malam ini ke rumahnya, dilihatnya mobil Ayah tengah terparkir dihalaman, menandakan ia sudah pulang malam ini.

"Sepertinya Ayah sudah pulang" jawab Arin santai

"Nggak apa-apakan kalau ketahuan aku antar" Eza terlihat sedikit khawatir

Arin mengerdikan bahunya dengan mengulas ekspresi masa bodoh diraut wajahnya "Bodo amat, aku nggak mau lagi ambil pusing"

"Nggak boleh gitu, maksud Ayahkan baik, jadi jangan semuanya ditanggapi buruk hanya karena kamu nggak suka dengan sikapnya, biar bagaimanapun Ayah ya tetap Ayah" Eza mengusak puncak rambut Arin

"Kamu kok bisa sih bilang gitu, bukannya orang tua kita kelakuannya sama ya, seenaknya sendiri dan nggak perduli sama keluarganya"

Eza hanya terdiam saat kalimat itu tiba-tiba keluar dari bibir Arin. Terdengar cowok tampan itu menghela nafas dengan begitu lembut, bibirnya memipih membetuk gurat lurus dengan pipi yang mengembung.

"Aku bukanya ingin mengatakan kehidupanmu jauh lebih baik, tapi setidaknya kamu pernah bahagia memiliki seorang Ayah yang membanggakan, yang bahkan sama sekali belum pernah aku rasakan" Eza menangkup wajah Arin dengan kedua telapak tanganya "Dendam dan kebencian itu laksana api, saat kamu menyimpanya disini" Eza menunjuk bagian dada Arin dengan telunjuknya "nanti kamu akan terbakar sendiri"

Cupp

Eza mendaratkan kecupan dikening Arin saat ia akan meninggalkan gadis itu "Tetap jadi gadisku yang manis dan baik hati, karena aku belajar banyak dari itu. Tidur nyenyak ya..aku pulang dulu"

Arin mengangguk dan tersenyum "Telepon aku kalau sampai rumah"

Eza mengangguki permintaan Arin

"Ada yang lupa" Arin dengan nada merajuknya berusaha mengingatkan  Eza yang terlihat melupakan kebiasannya

Dibukanya kaca helm yang semula sudah tertutup rapat "I love you honey"

"I love you too" jawab Arin diiringi dengan senyuman lembutnya.

Setelah motor Eza melaju kencang dan hilang ditelan kegelapan malam, Arinpun melangkah menuju kedalam rumah dengan santai.

Semakin ia mendekat kearah pintu rumahnya, suara pekik melengking terdengar dari dalam rumahnya, belum lagi raungan tangis yang bisa dipastikan milik Bundapun terngar jelas ditelinganya

"Apa mau Ayah sekarang!!! asal Ayah tahu kalau niat Ayah ingin menyakiti Bunda. Ayah langkahi dulu mayat kami berdua"

"Rio!! beraninya ya kamu mengancam Ayah, kemana rasa hormat kamu pada Orang Tua, hah!!"

"hah, memang selama ini apa balasan Ayah saat kami menaruh hormat sama Ayah, bukanya Ayah malah selingkuhkan diluar"

"Rio! jaga mulut kamu"

"Rio..jangan nak ,hikk...hikk..hikk..Rio...Rio!!"

Arin berlari masuk kedalam rumah saat pekikan Bunda terdengar begitu keras meneriakan nama Kak Rio

"Fikri!! tahan Rio Fikri..., jangan sampai adika kamu nekat"

Betapa terkejutnya Arin saat melihat Bunda ditemani Mbak Asih dalam keadaan tersungkur dilantai dengan bersimbah air mata, sedang di ambang kamar Bunda, terlihat Fikri yang tengah menghalau Rio yang terbakar emosi sedang berusaha menerobos masuk kedalam kamar.

"Bundaa....Bunda..., apa yang terjadi Bunda, kenapa ini Bunda, ada Apa iniii" Arin meraup tubuh Bunda dalam dekapanya menciumi wajah Bunda yang malam itu terlihat begitu kacau.

Wanita itu seakan tak mampu menjawab apapun, bibirnya terkunci rapat. Hanya isak tangis yang tak henti membahana ke sesisi ruangan.

"Bajingan kamu!! kamu fikir kamu bisa seenaknya.., setelah semuanya habis kamu pergi meninggalkan kami seperti gembel" kilatan amarah tampak jelas dimata Rio saat itu,  entah karena apa dia bisa begitu marahnya pada Ayah hingga sumpah serapah dan makian begitu saja meluncur dari mulutnya.

"Seharunya kamu yang pantas jadi gembel dan gelandangan, Bukan Bunda!!"

"Tenang Rio, sadar...jangan terbawa emosi, sadar Rio.."

Andai saat ini tak ada Fikri yang berusaha menghalang-halangi Rio, sudah pasti cowok pendiam itu sudah menerobos masuk dan entah apa yang akan terjadi pada Ayah sungguh tak bisa diprediksi.

"Riooo.. sadar nak, sudah nak..." tubuh Bunda melemas seperti tak bertenanga, kepalanya lunglai dalam pelukan Arin, mendadak suaranyapun melirih hingga membuat Arin ketakutan bukan main

"Bunda..Bundaa..jangan seperti ini Bunda, Bunda harus kuat, Bunda harus bertahan demi kami Bunda. Kak Fikri...Kak Rio...Bunda Kak!!!" Arin berteriak histeris saat mendapati Bunda yang jatuh pingsan dalam pelukanya.

"Ibu..sadar buuu...., sadar buu.." Begitupun Mbak Asih terdengar panik, wanita itu mnggoncang-goncangkan tubuh Bunda sambil menyerukan namanya.

Tanpa diduga, saat melihat kondisi Bunda yang terlihat lemah seketika Rio dan Fikri  menghambur bersamaan memeluk Bundanya.

"Gimana ini kak, Bunda!! Bunda!! dengar suara Rio Bunda"

Rio berteriak-tetiak saking paniknya, mengguncangkan tubuh Bunda yang terlihat tak memberi respon sama sekali.

"Kita bawa Bunda ke Rumah Sakit skarang" Belum selesai Fikri dngan ucapanya Rio sudah membopong tubuh wanita kesayanganya itu seperti tanpa beban.

Dengan wajah panik ia segera membawa Bundanya menuju Mobil yang terparkir di garasi rumahnya.

Di Ruang IGD Rumah Sakitpun wajah panik ketiganyapun tak kunjung sirna, terlebihbsaat melihat para perawat memasangkan selang oksigen pada Bunda.

Seorang perawat bahkan harus mengusir Rio untuk keluar saat pemuda itu berterian dan nyaris menerobos masuk kedalam ruang tindakan.

Sedang Arin hanya bisa menangis tergugu dibamgku yang berada diselasar ruang IGD. Tak ada suara tangis melainkan air mata yang menghujani wajahnya tanpa henti.

Bibir gadis itu tak henti menggigiti ujung jarinya yang terlihat gemetaran. Sorot mata penuh ketakutan tergambar jelas diwajah gadis cantik berambut panjang itu.

Bayangan kengerian tentang apa saja yang bisa menimpa Bundanya saat ini, membuat nyalinya semakin menciut. Entah kejadian apa yang sudah ia lewatkan beberapa saat lalu hingga tiba-tiba saja badai seolah memporak porandakan suasana rumahnya.

Rasa hangat terasa saat sebuah lengan kekar mendekap erat tubuh rapuh Arin yang mendingin gemetaran, tak satu kata terucap dari bibir pria itu melainkan kehangatan yang coba ia berikan pada gadis muda yang tampak duduk kebingungan diselasar ruang IGD malam itu.

Disibaknya rambut Arin yang tampak berantakan menutupi sebagian wajahnya, dirapihkan surai rambut yang sedikit basah olek keringat bercampur air mata gadis cantik itu kesisi belakang telinganya

"Jangan takut, Bunda nggak akan kenapa-napa..kita do'akan semoga Bunda cepat siuman yaa..."

Arin mengangguk pasrah kemudian mengeratkan pelukanya.

Bunda...Maafin Arin..., Arin nggak ada saat Bunda butuh Arin. Tapi Arin janji..ini nggak akan terjadi lagi, apapun akan Arin lakukan untuk menebus semua ini, sekalipun dengan kebahagiaan ataupun nyawa Arin sekalipun

🌸🌸🌸

Mohon maaf untuk keterlambatan dan typo yang bertebaran

Tolong ditandai ya pada bagian typonya, untuk perbaikan🙏🙏

Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang