Kebencian

274 20 2
                                    

Jangan lupa Vote dan Komen


Tatapan mereka yang tiba-tiba bertemu membuat keduanya terkesiap. Selama seper sekian detik keduanya sempat saling pandang hingga kesadaran yang menghampiri mereka membuat keduanyapun saling membuang wajah dan acuh

Arin yang melihat kejadian itu hanya bisa menggeleng dan membuang nafasnya kasar, berusaha bersikap senetral mungkin seolah tak terjadi apapun

Seperti tak menghiraukan suasana rumah yang tengah ramai dengan banyak pengunjung siang itu, Rio tak menggubris dengan seolah tak ambil pusing dengan situasi yang ada, dengan santai ia melangkah menuju lemari pendingin yang letaknya bersebelahan dengan meja makan.

Tanpa berniat menyapa orang disekelilingnya diteguknya habis sebotol air mineral dingin dari dalam lemari dan berlalu dengan tetap mengunci rapat bibirnya.

Wajah lelah cowok tampan itu tergambar jelas dari lingkar matanya yang menghitam, rambut acak-acakan serta sweater lusuh yang semakin menegaskan betapa semrawutnya penampilan Rio

"Nak sudah pulang?" Suara lembut Bunda menyapa saat Rio sudah hendak melangkah pergi menuju kamarnya

"Iya Bunda.., Rio capek. Mau pamit ke kamar dulu dan istirahat"

"Ya sudah.., jangan lupa mandi dulu biar lebih segeran" pekik Bunda pada Rio yang sudah lebih dulu berlalu

"Siap Bunda" jawab Rio sembari melangkah cepat menaiki anak tangga, tatapan matanya sempat beradu dengan tatapan mata Eza yang masih duduk setia disofa ruang keluarga, senyum tipis Rio layangkan yang disambut Eza dengan anggukan kepala menyapa.

"Nanti antar saja makanan Kakakmu ke kamarnya sayang, kalau sudah sibuk begitu biasanya dia lupa makan"

Arin mengangguk "Memang Kak Rio semalam nggak pulang juga Bunda" tanya Arin sembari menyiapkan piring dan sendok diatas meja

"Iya..., ada event penting diperusahaan tempat Kakakmu magang, jadi dia harus lembur sampai beberapa hari, dia juga harus maraton mempersiapkan bahan laporan untuk tesisnya, saking sibuknya sampai-sampai 2 hari ini dia nggak sempat pulang"

Setelah semua menu siap tersaji diatas meja makan merekapun menikmati makan siang bersama dengan suasana yang hangat dan penuh keriangan, obrolan-obrolan ringan ikut menghidupkan suasana diatas meja makan itu

Kebersamaan yang hangat hari itu dirumah Arin membuat waktu tak terasa merambat hingga sore, Eza dan ketiga sahabat Arin itupun akhirnya berpamitan untuk segera undur diri.

Setelah berpamitan pada Bunda, Arinpun melepas Eza dan ketiga sahabatnya didepan teras rumah.

Seperti sengaja mengulur waktu Eza membiarkan ketiga sahabat Arin untuk pulang terlebih dulu.

Eza terlihat berat saat akhirnya ia harus melepaskan genggaman tanganya dari Arin. Sungguh banyak kegilaan yang mereka lalui hari ini, seharian penuh berusaha sebisa mungkin mencuri kesempatan untuk bisa bergandengan tangan dan bermesraan seperti saat ini tanpa diketahui Bunda.

Seperti tadi Eza dengan sengaja mencuri ciuman singkat di pipi Arin saat ia melancarkan aktingnya membantu membereskan piring kotor dari meja makan.

Belum lagi saat cowok iseng itu mengerjai Arin dengan sembunyi-sembuyi menggenggam jemari tangan gadis itu dibawah meja makan sepanjang acara makan siang.

"Aku pulang dulu sayang, jaga diri baik-baik.., jangan terbawa suasana lagi. Dan ingat, ponselku akan aktif 24 jam penuh untuk mendengarkan curhatanmu"

Arin mengangguk dengan bibirnya yang memipih segaris "Terima kasih untuk selalu ada buat aku"

Senyum Eza mengular sesaat sebelum matanya bergerilya kesana kemari seperti tengah mengamati sesuatu, sebelum akhirnya

Cup

Sebuah kecupan manis mendarat dipipi Arin sebagai tanda perpisahan sore itu

"Ezaaa..., gimana kalau ada yang liat" mata Arin membulat sempurna dengan kedua pipi yang merah merona, nada bicaranya penuh kekhawatiran. Ia membisik tajam pada pria yang masih berdiri dengan santai dihadapanya.

Pandangan mata Arin menyapu keseluruh penjuru halaman bahkan kedalam pintu ruang tamu, mengamati suasana sekitar, takut bila Bunda atau Rio muncul tiba-tiba atau bahkan mereka melihat kejadian barusan.

Kepulangan Amel, Sisi dan Alfon yang terlebih dulu sungguh ternyata dimanfaatkan Eza. Ia tak lagi harus dikhawatirkan dengan gangguan dan ejekan dari mulut reseh ketiga sahabat Arin itu.

Senyum simpul Eza mengembang menyaksikan wajah panik Arin saat ini "Nggak usah takuut.., kalau ketahuan paling juga kita bakal dinikahin" goda Eza dengan ringanya yang seketika memancing Arin mendaratkan sebuah pukulan dipundaknya.

Plak

Cowok itu meringis sebentar sebelum akhirnya sebuah senyum licik terbit dari wajah tampanya, bukan Eza namanya kalau tidak sekalipun memancing rasa kesal Arin.

Dengan senyum jahil dan gaya tengilnya Eza melambaikan tangan sembari memonyongkan bibirnya seperti hendak mencium, meledek Arin yang semakin menunjukan wajah gusarnya.

"I love you honey...love you..love you..love you...love you...muach..muach..muach.." bisiknya lirih sambil melangkah mundur perlahan-lahan hingga menjauh

Arin yang menyadari tingkah usil Eza itu hanya bisa pasrah dan membiarkan kekasihnya itu tanpa bisa berbuat apa-apa, karena dia tahu persis, cowok itu sengaja memancingnya untuk bereaksi hingga pasti akan berakhir dengan kegaduhan saat ia menanggapinya, maka diam adalah pilihan terbaik saat ini. Membiarkan Eza pergi dengan aman tanpa meninggalkan masalah.

*
*

Malampun menggulirkan pekat gelapnya seiring  sang surya yang kembali keperaduan. Arin yang sedari sore memilih untuk berdiam diri dikamar setelah telinganya menangkap suara bising yang selalu ia dengar saat Bunda menyambut kedatangan suami tercintanya.

Seketika perasaan campur aduk bergerilya dalam benak Arin. Kemarahan yang meletup-letup seperti kemarin ia rasakan muncul lagi, ingun rasanya ia menerobos pintu kamar, berlari menuruni anak tangga dan merobek topeng ksatria yang masih melekat sempurna diwajah Ayahnya.

Topeng ksatria seorang suami yang pulang dengan berpeluh disekujur tubuh demi kebahagiaan keluarga tercintanya, sungguh peran yang menjijikan yang selama ini dimainkan Ayah di depan mereka

Andai Bunda tahu kenyataan yang tersaji sebenarnya, disetiap kali kedua bahunya menyambut dengan tulus tubuh berkeringat dalam pelukanya, yang ternyata basah berpeluh dari hasil percintaan dengan wanita lain

Betapa akan terlukanya Bunda saat ia tahu prianya itu berselingkuh hingga memiliki bayi dari hasil hubungan gelapnya itu.

Arin tak lagi kuasa membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk lain yang  akan menimpa keluarganya saat skandal Ayah ini terbongkar.

Bagaimana kelangsungan keluarga ini selanjutnya saat kesetian sang nahkoda sudah terkoyak.

Benarkan kata-kata Amel akan jadi kenyataan bahwa Ayah tak akan mau meninggalkan wanita itu, benarkah Ayah akan lebih memilih wanita murahan itu ketimbang Bundanya.

Arin hanya mampu menenggelamkan kepalanya dibawah tumpukan bantal dan guling diatas ranjang, berharap isakan tangisnya yang sedikit keras tak akan terdengar dari balik pintu kamar yang sudah ia kunci rapat.

Semalaman gadis itu hanyut dalam kecamuk fikiran liarnya yang seolah makin tak terkendali.

Arin meremas kuat sudut bantal dengan suara gemretak giginya yang saling beradu

Dadanya bergemuruh hebat saat senyum bunda yang menyambut dan melayani Ayah melintas dibenaknya. Kebencianya pada sosok Ayah semakin menjadi saat wajah Siska malam itu tiba-tiba muncul diingatanya.

Wajah yang penuh kepalsuan, wajah penggoda yang telah menghancurkan keluarganya, wanita jalang yang telah merenggut kesetiaan Ayahnya

"Aku benci Ayah...aku benci Siska...aku benci...aku benciiiiiii"


Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang