Tak tersisa

311 22 2
                                    

Jangan lupa Vote dan Komenya

Fikri POV

Siang itu disebuah coffee shop ternama dikota A, aku menemui pak Januar. Pengaca keluarga sekaligus kuasa hukum PT. Mandala Karya. Atau lebih tepatnya orang kepercayaan Hendry Wicaksono Ayahku

Ku sruput kopi hitamku yang masih mengepulkan uap panas beraroma kopi original yang merupakan favorit-ku. Rasa pahit masih kental terasa karena aku memang hanya menambahkan sedikit gula kedalamnya, begitulah rasa kopi yang selalu menjadi candu bagiku.

Ku letakkan cangkir kopi kembali kebali keatas meja dengan pandangan mata kembali tertuju pada sosok pria didepanku ini.

"Apa saya bisa tanya sama pak Januar prihal penjualan tanah di Jl. Senopati pak, setahu saya tanah itu adalah peninggalan Eyang, dan sertifikatnyapun atas nama Bunda, tapi bagaimana Ayah bisa dengan mudah menjualnya, bisa tolong bapak jelaskan kronologis-nya" dengan emosi yang kutekan hingga kedasar hingga hanya menunjukan ekspresi yang datar ku lontarkan pertanyaan itu. Walaupun jujur aku mengaku dadaku bergemuruh hebat saat ini.

"E..ee..begini Mas Fikri, tidak benar kalau penjualan tanah di Jl. Senopati itu tanpa persetujuan dari Ibu Irma, karena saat proses penjualan Pak Hendry sudah mengantongi surat kuasa atas nama Ibu Irma jad-"

"Kenapa harus menggunakan  suarat kuasa, bukanya itu aneh pak Januar?" ku sambar secepat kilat kata-kata pria berusia seumuran Ayah itu meski ia belum tuntas menjelaskan

"Pak Januar tahukan Bunda saya masih hidup dan sehat..., jadi kenapa harus menggunakan surat kuasa, kalau memang penjualan tanah itu secara transparan tanpa unsur tipu-tipu, Bapak pasti tahu kalau semua itu adalah rekayasa"

Pria itu terlihat menggosok hidungnya beberapa kali dan berdehem sebelum memberi penjelasan berikutnya "Itu tidak bisa menjadi dasar tuduhan Mas Fikri, yang jelas surat kuasa itu legal, dengan dibubuhi tanda tangan ibu Irma diatas materai, yang  menjadi dasar keabsahan surat kuasa itu

Sial

Aku mengumpat dalam hati keras-keras, mengetahui betapa bajingannya Ayahku, yang sudah menipu anak dan Istrinya habis-habisan.

"Bagaimana dengan Rumah Pak, bukanya rumah itupun dibeli atas nama Bunda, bahkan Bapak taukan kalau itu hadiah Ayah untuk Bunda saya"

Eheem

Begitupun rumah itu Mas, sesuai surat kuasa saat mengajukan kredit di,Bank, Ibu Irmapun sudah memberi kuasa penuh pada Pak Hendry prihal pengajuan kredit, saya bisa menunjukan salinanya jika Mas Fikri bersedia"

Aku tak lagi bisa berkata-kata, seperti buntu otakku memikirkan betapa sadisnya Ayah menghabisi kami. Bahkan sama seperti Rio malam itu, aku sudah menyumpah dan mengumpati Ayah dalam hati saat ini,

Aku memang tak seberani dan se-frontal Rio adikku, atau malah bisa dibilang aku lebih pengecut ketimbang dia yang pendiam.

Kadang aku salut dengan keberanian anak itu, mungkin jika saat ini yang duduk dikursi ini adalah Rio, aku sudah pasti yakin kalau Pak Januar tak akan keluar dengan kemeja dan jas rapihnya atau bisa jadi kopi dihadapanku ini bukannya habis diminum melainkan sudah tumpah berhamburan ke wajahnya.

Namun beginilah, aku dan Rio memang berbeda.

"Jadi aset apa yang tersisa saat ini untuk kami pak, yang masih bisa kami perjuangkan, setidaknya apa yang tersisa itu bisa membuat kami berfikir kalau Ayah kami masih manusia"

Mata pria itu seketika membola, hingga sesaat ia terlihat seperti mengamatiku. Ya..mungkin aku si lemah lembut ini membuatnya kaget bukan main karena bisa mengatakan hal se-sarkas itu.

Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang