Jalan Nasib 3

311 19 8
                                    

Jangan lupa Vote dan Komennya

🍁🍁🍁🍁

Flashback  On

Selembar kertas berisikan draf kontrak antara Arin dan Sendy sudah tergeletak diatas sebuah map berwarna biru diatas meja tepat dihadapan Arin duduk saat ini.

Kontrak berisikan perjanjian yang intinya menjelaskan bahwa Arin dengan sukarela menyerahkan segala penguasaan atas dirinya pada Sendy tanpa paksaan atau tekanan. Bahwa selama perjanjian berlangsung bila terjadi kontak fisik berupa (Seks dan segala bentuknya) semua atas persetujuan dan kerelaan Arin sendiri.

Dan selama kesepakatan itu berlangsung, Sendy mengambil alih sepenuhnya tanggung jawab atas apapun beban moril maupun materiil yang selama ini Arin tanggung termasuk pengobatan Rio, hingga sembuh.

"Kamu bisa fikir ulang keputusan ini, jangan merasa terbebani. Karena disini sama sekali tidak ada pemaksaan. Dan perlu kamu ingat, sekali kamu mengambil keputusan maka kamu tak punya waktu lagi untuk berbalik dan menyesalinya"

"Apa saya terlihat punya pilihan lain pak, saya rasa Pak Krisna tau jawabanya" Arin menatap wajah pria dihadapanya itu dengan tatapan sendu.

Pandanganya kini beralih kembali pada lembaran kontrak perjanjian yang sudah menantinya. Arin sadar betul bahwa nasibnya kini hanya tergantung pada lembaran kertas itu.

"Tolong beri saya waktu sebentar saja pak Krisna, biarkan saya menikmati setiap detik kebebasan ini, karena saya tahu setelah saya menandatanganinya hidup saya tak akan lagi sama. Saya akan terikat dengan segala peraturan yang ada didalamnya. Dan saya bukan lagi manusia bebas seperti saat ini" bulir bening mengiringi setiap kata yang keluar dari bibir merah merona itu.

"Andai saya punya pilihan lain, andai nasib tak menggiring saya pada situasi sesulit ini" Arin menghela nafasnya perlahan, terasa ada beban berat yang menghalangi setiap tarikan nafasnya

"tapi sayang....semua hanya angan-angan saya saja, karena pada giliranya saya tetap tidak punya pilihankan pak Krisna?"

Bibir Krisna terkatup rapat, sepersekian detik ia sempat melempar pandanganya pada wajah gadis malang yang duduk dihadapanya itu. Tatapan yang sangat sulit diartikan. Entah kasihankah, iba atau semacamnya. Meski sejurus kemudian wajahnya kembali terlihat datar tanpa ekspresi.

Setelah Arin selesai membubuhkan tanda tanganya diatas selembar kertas itu, Krisna kembali menjelaskan detail isi kontrak dan semacamnya.

Arin baru beranjak dari duduknya dan hendak meninggalkan ruangan kerja Krisna ketika pria berusia 30an itu menguntai sebuah pernyataan yang membuat Arin merasa sedikit terhibur.

"Kamu diberi waktu untuk istirahat selama beberapa hari kedepan, jadi nikmatilah waktu yang ada. Daaaan....kakakmu segera dipindahkan ke Rumah Sakit terbaik di kota ini. Operasinya sedang dipersiapkan, semua dokter yang menanganinya terpilih dan profesional. Obat-obatan dan fasilitas yang digunakan semuanya yang terbaik"

Arin membalikan tubuhnya dan menatap Krisna yang tampak kembali sibuk dengan tumpukan dokumen diatas meja kerjanya. Mata Arin terlihat berkaca-kaca dengan senyum bahagia yang berusaha ia sunggingkan

"Terima kasih Pak Krisna, setidaknya apa yang saya korbankan nggak sia-sia"

Flasback Off

Kesunyian kamar itu semakin membuat Arin dicekam rasa yang mengaduk-aduk hati dan fikiranya

Wajah cantik gadis itu tertunduk lesu dengan memeluk erat tubuhnya sendiri. Tubuh mungil yang kini duduk berselonjor diatas ranjang besar dikamar yang malam ini akan menjadi saksi bisu kisah kelamnya.

Arin mengelus sendiri pundaknya sambil memeluk lututnya yang tertutupi selimut tebal.

Layaknya seorang pengantin wanita yang menanti mempelai prianya dimalam pertama, seperti itulah gambaran yang terjadi malam ini, meski kenyatanya yang terjadi malam ini adalah sebuah transaksi belaka. Dimana sebuah jasa yang harus dibayar dengan penyerahan kehormatan dengan sukarela.

Dada Arin berdegub keras saat menyadari pintu kamar itu terbuka perlahan, menampakkan sosok pria tampan, tinggi dengan tubuh atletisnya yang malam ini terbalut piama berwarna senada dengan gaun yang Arin kenakan.

Wajah dingin dan kaku itu masih sama, meski sesaat lalu Arin sempat berharap bahwa wajah tampan bermata sedikit sipit itu akan kembali menujukan keramahanya seperti saat pertama mereka saling mengenal dulu. Namun semua hanya tinggal harapan, karena kemungkinan inilah wajah asli yang dimilikinya.

Sendy sungguhlah sosok yang berbeda belakangan ini. Entah kemana raibnya sosok yang ramah, baik hati lagi lemah lembut itu. Tak tahu pasti kenapa sikapnya jadi berubah 180°.

Seperti saat ini, pria itu tiba-tiba saja menyelinap kedalam selimut dan merebahkan tubuhnya tanpa permisi.

Arin yang sedari tadi tengah bergumul dengan ketakutan dan rasa tegang membayangkan semua yang mungkin saja terjadi hanya terbengong mendapati sikap Sendy yang terkesan aneh itu.

Gadis itu tak henti memandangi wajah Sendy yang tampak tenang terlelap disampingnya

"Apa kamu nggak capek mandangin aku terus, tapi terserah kalau kamu masih betah begadang semalaman"

Arin semakin dilanda kebingungan mendapati sikap Sendy yang aneh ini. Entah sosok seperti apa sebenarnya pria yang tengah terbaring disebelahnya ini.

Kadang sikapnya sangat baik dan lembut. Tiba-tiba bisa berubah dingin dan menyeramkan. Baru beberapa saat lalu dia bersikap seolah hendak memangsanya hidup-hidup, namun sedetik berikutnya ia bersikap acuh dan seakan tak perduli sama sekali

Sebenarnya ada berapa wajah yang disembunyikan oleh pria ini.

Perlahan Arin merebahkan tubuhnya. Meluruskan kedua kakinya yang semula merasakan pegal karena harus tertekuk sekian lama. Seperti hendak memastikan bahwa situasinya telah benar-benar aman, gadis itu kembali memperhatikan Sendy yang terlihat sudah memejamkan matanya rapat-rapat

Dengan sangan perlahan Arin memiringkan tubuhnya kekanan guna mencari posisi tidur ternyamannya.  Dengan posisi saat ini secara otomatis ia tidur membelakangi Sendy.

Baru saja Arin akan terlelap dalam tidurnya, tiba-tiba ia merasakan sebuah lengan kekar melingkar tepat dipinggannya. Menarik tubuh mungilnya untuk merapat lebih dekat kesisi yang lain.

"Siapa yang bilang kamu boleh tidur membelakangi aku hah"

Nafas Arin seketika tercekat, tubuhnya mendadak gemetaran dan kaku. Semula ia ingin berontak namun seketika itu juga tenaganya melemah, begitu mengingat bahwa ia tak punya kuasa apapun untuk melawan.

Nalarnya  seketika buntu kala tersadar bahwa ia sudah menyerahkan tubuh dan kehormatanya sepenuhnya pada pria itu.

Jadilah Arin hanya bisa pasrah ketika Sendy memeluk tubuhnya dari belakang dengan begitu erat.

Begitu jelas tengkuknya dapat merasakan hangat nafas Sendy yang berhembus teratur, bahkan Arin menahan tubuhnya agar tidak bergetar dan menolak kala beberapa kali Sendy terasa menciumi tengkuknya dengan perlahan.

Mungkin ini bukan kali pertama Arin tidur satu ranjang dengan seorang pria, sebelumnya iapun pernah bermalam dalam satu ranjang dengan Eza. Namun sungguh ini sangat berbeda.

Ada rasa tertekan, takut dan jijik saat Sendy memperlakukanya seperti itu. Meski Arin merasakan sama sekali tak ada prilaku kasar atau memaksa dari pria itu. Berbanding terbalik dengan sikapnya yang dingin bahkan terkesan kasar dalam setiap perkataannya

Meski dengan mata terpejam bulir bening itu tak bisa tertahan untuk tetap  merembes dari celah sudut mata Arin

Sambil menahan isaknya agar tak pecah, bibir gadis itu memipih seperti menahan rasa sakit yang teramat sangat. Bukan karena luka yang berdarah-darah tapi terkoyaknya harga diri menggoreskan rasa sakit yang teramat dalam direlung hati dan jiwanya













Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang