Sumpah

211 21 2
                                    

Jangan lupa Vote dan Komennya

Liburan telah usai, sudah satu bulan lebih atau 6 minggu lebih tepatnya Arin telah kembali berjibaku dengan tumpukan buku-buku pelajaran. Menikmati tahun terakhirnya di sekolah menengah atas dan tentunya menuju bulan-bulan menegangkan ujian akhir sekolah.

Bukan ujian akhir sekolah yang menjadi soal bagi Arin kali ini, lembaran-lembaran kertas yang diterimanya sejak beberapa hari lalu dari bagian administrasi telah sukses mengambil alih konsentrasinya. Angka-angka dengan rincian rupiah yang berderet dengan nominal yang terhitung fantastis baginya kini menunggu untuk segera dilunasi.

Berbagai solusi yang mungkin bisa Arin ambil sebagai penuntas masalahnya seolah menjadi buntu saat ini. Termasuk beasiswa prestasi yang ternyata programnya sudah dihapuskan tahun ini.

Mungkin nilai ini tak ada artinya dulu saat ia masih hidup dalam segala fasilitas dan kemewahan yang ada, namun semua serasa berbanding terbalik saat ini, yang bahkan Arinpun harus rela kesekolah dengan menaiki angkutan umum bila Eza tak sempat untuk menjemputnya dipagi hari.

Kepala Arin terasa berdenyut nyeri memikirkan langkah apa yang harus ia ambil. Bibirnya seperti tak sanggup terbuka saat hendak mengeluh pada Bunda yang sekarangpun harus tergantung pada kiriman dari Kakaknya Fikri untuk semua kebutuhan sehari-hari.

Arin sendiri bahkan tahu tak sedikit uang yang digelontorkan Kakaknya itu untuk membantu Rio menyelesaikan Tesisnya, tentunya keluh kesahnya kali ini akan sangat membebani kakak sulungnya itu. Hal itu membuat Arin akhirnya urung untuk menceritakan masalahnya.

Hingga sudah sekitar 2 jam lebih Arin hanya bisa memandangi buku tabungan ditanganya, nilai yang tertera disaldo bahkan tak mencapai serempat dari total biaya yang ia butuhkan.

Uang yang berasal dari sisa uang sakunya selama ini mungkin hanya cukup untuk membeli buku dan berbagai keperluan sekolahnya saja.

Kembali Arin mengurut pelipisnya, otaknya mungkin akan dengan cepat tanggap jika dihadapkan dengan soal Matematika dan berbagai rumus semacamnya namun seolah menjadi buntu saat harus berhadapan dengan rumitnya pemecahan masalah yang kini seolah hilir mudik mengikutinya.

Arin sadar betul bahwa ia selama ini terlalu di nina bobokan dengan segala kemudahan hidup yang nyaris tanpa riak dan gelombang, hingga menjadikan ia tak terlatih untuk menghadapi permasalah hidup, hingga begitu mudah ia terseok dan jatuh hanya dengan jalan kerikil dan berbatu.

🌷🌷🌷

Wajah Pak Rudy tampak tegang, senyum yang biasanya begitu ringan mengembang kali ini jarang terlihat, kalaupun muncul sesekali itupun terlihat begitu dipaksakan, wajahnya hanya tertunduk tanpa berani menatap pada Bunda yang tepat berada didepanya

Rasanya lengkap sudah keberengsekan yang ditunjukan Hendry Wicaksono sebagai seorang laki-laki. Siang ini dengan begitu pengecutnya ia mengutus dua orang kaki tanganya yaitu Pak Rudy dan Pak Januar untuk mengantarkan surat gugatan cerai yang ditujukan pada Bunda.

Air mata tampak mulai menggenang di kedua kelopak mata bunda saat membaca selembar surat ditanganya. Rupanya tak cukup dengan hanya menghancurkan rumah tangganya kini bahkan dengan pengecutnya Hendry Wicaksono hendak lari dari semua tanggung jawab atas kehancuran yang sudah ia buat, bahkan ia seolah ingin terlepas dari hubungan apapun dengan wanita yang sudah memberinya tiga anak itu.

Rio dengan menahan segala amarah yang seakan sudah membumbung sampai ke ubun-ubun mempertanyakan prihal kejadian yang sebenarnya terjadi antara Ayahnya dan Siska, meski sebenarnya itu tak lagi penting saat ini, namun rasa penasaran akan sejak kapan dan penyebab keberengsekan Ayahnya dimulai seolah menjadi penting untuk Rio ketahui

Belenggu DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang