Suasana cukup canggung untuk mereka yang sudah lama tak berinteraksi. Yola meremas tangannya yang terasa berkeringat, ia terus menatap lurus tanpa peduli dengan pria disampingnya yang sibuk dengan wajah dinginnya."Kenapa lo gak turun?" Akhirnya Ben melontarkan pertanyaan yang harusnya keluar setengah jam yang lalu.
"Males." Singkat, padat, dan jelas.
"Kemarin Nyokap lo nelfon gue." Yola menoleh, "Mama? Ada apa?"
Ben tersenyum miris, "ini semua karena lo." Detik itu juga, Yola seakan tertampar oleh ucapan Ben.
"Nyokap lo marah-marah gak jelas ke gue, dia belum tau kalau yang buat ulah anaknya bukan gue." Ben tertawa garing, ia menatap Yola, "La, berhenti." Pandangan mereka bertemu, mata Yola memerah.
"Cukup, udah, jangan lagi, gue bisa maafin lo, tapi gimana sama yang lain? Apa mereka mau maafin lo? Gak semua orang itu pemaaf La." Yola masih diam, bingung harus mengatakan apa.
"Padahal gue udah mencoba buat terima lo, walau sulit, tapi nyatanya lo yang mulai hancurin semuanya."
"Kakak sadar gak?" Suara Yola bergetar, "Kakak sadar gak kalau kakak yang udah buat gue jadi kayak gitu?"
"Kalau aja kakak gak cuek ke gue, mungkin gue gak bakal lakuin ini."
"Apa gue kurang perhatian sama lo? Selama ini gue anggap lo ada, bahkan gue nolak Aruna didepan banyak orang demi lo, tapi lo masih kurang terima. Gue juga diem tiap orang tua lo bilang ke nyokap gue soal sikap gue ke lo, gue gak pernah dendam apalagi benci sama orang tua lo, gue terima semuanya. Tapi lo dengan gampangnya bilang buat batalin perjodohan ini dan sembunyi dibalik nama gue, apa gue kurang baiknya buat lo? Gue__"
"Cukup kak! Gue tau gue salah, tapi percuma buat pertahanin semua itu, kakak lebih cinta sama Aruna dibanding sama gue, cewek yang cinta mati sama kakak. Dan sekarang, gue dicap sebagai cewek yang serakah, maunya dapet dua-duanya, gue juga gak punya teman, gue butuh kak Ajun disamping gue, karena cuma dia yang mau peduli sama gue, gak ada orang lain." Tubuh Yola lemas, apa yang dulu ia pendam sendiri sekarang telah keluar dengan mulusnya. Dan Ben lah orang yang mendengarnya.
"Gue tau, gue perusak hubungan orang, gue egois, bohong kalau gue bilang gue cinta sama kak Ajun, bohong kalau gue bahagia sama hubungan ini, bohong kalau gue bilang gue cewek paling spesial dihidup kak Ajun, nyatanya kalian sama, kalian gak ada rasa buat gue, kalian cuma kasihan sama gue, kalian nerima gue karena rasa kasihan kalian ke gue kalian anggap sebagai rasa sayang. Gue tau tapi gue diem karena gue mau pertahanin hubungan gue sama Kak Ajun."
"Sekarang semua ditangan lo, terserah mana yang mau lo pilih. Gue pergi." Ben melangkah pergi meninggalkan Yola yang menangis tanpa suara.
Dan tanpa mereka sadari, dibalik tembok bercat putih itu terdapat hati yang retak.
***
Malam terakhir di Bandung, sekumpulan anak remaja itu menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang. Barbeque party adalah yang terbaik untuk malam ini.
"Bang tolong bawa ini," Aruna menyerahkan sepiring daging sapi yang sudah dipanggang pada Yozi yang sepertinya kurang kerjaan.
"Oke cantik." Yozi mengedipkan sebelah matanya genit, dan dibalasan kekehan kecil dari Aruna.
"Ayo guys makan guys.."
Semua hidangan sudah siap dan tinggal di hap. Mereka sibuk memakan dan bercanda, ditengah candaan mereka, tiba-tiba Miya membawa tiga botol minuman yang sepertinya mengandung alkohol.
Larutan cap kaki tiga.
"Ngapain lo bawa gituan?"
"Kita main game."
"Gue gak ikut." Seru Ame yang masih melahap marshmellow.
"Eh gak bisa, harus ikut, yang gak bisa jawab harus minum ini." Miya tersenyum miring, ia lalu meletakkan tiga botol minuman itu ditengah-tengah mereka tak lupa gelas kecil untuk menampung nanti.
"Gila lo Bi? Gue sih gak masalah, tapi ini ada bocil njir, ntar kalau mabok gimane?" Lucas mengambil minuman itu dan menyimpannya dibalik tubuhnya.
"Ck, heh nak anak kecil, kalian mending out deh, jangan disini, orang gede mau main nih."
"Bangke, lo juga bocah setan, umur lo aja belum tujuh belas."
"Kata siapa sat, umur gue mau jalan 18 ini. Sembarangan aja belum ada tujuh belas."
"Adik-adik, kalian main petak umpet aja sana." usir Dira pada bocah-bocah kunyuk yang seakan tak mau beranjak.
"Gak, gue mau main." Ucap Qiana.
"Gue juga mau makan." Timpal Justin.
"Dek Azwan ajak teman-teman lucknut kamu masuk gih." Dira menatap Azwan yang sibuk makan, Azwan pun menatap Dira polos, ia lalu mengangguk pelan.
"Guys, main hago yuk didalem." entah apa yang merasuki mereka, sepertinya Azwan cukup kuat untuk dijadikan pawang bocil-bocil itu. Qiana menarik Haruto untuk ikut dengannya, lumayan buat pacaran kan. Sedangkan Justin dan Azwan pergi dari taman villa menuju kamar. Dan Yola, gadis itu masih didalam kamar, tak ikut makan malam, dan tak ada yang peduli. Miris.
"Gue gak ikut." Arthur hendak berdiri, namun dengan cepat Miya menahannya. Ia lalu tersenyum misterius, dan anehnya Arthur akhirnya kembali anteng.
"Kita main buka-bukaan fakta, kita puter botol dulu habis itu pemain utamanya ngajuin pertanyaan ke mangsa selanjutnya.." Jelas Miya. "Puter botolnya Bang Lucas."
"Hmm.." botol terus berputar, ada wajah santai, tenang dan juga gugup.
Dan yap, botol berhenti didepan Ame. Gadis itu menghela nafas, kalau cuma anak-anak cewek mah dia bakal terbuka, tapi ini kan banyak orang, ada kakak kelasnya juga. Terlalu ngeri untuk buka fakta.
Terpaksa ia mengambil gelas kecil yang berisi air putih itu, menegaknya pelan. Pahit manis secara bersamaan, kepalanya terasa pening, tapi tenang, Ame mampu mengatasinya.
"Kenapa Me? Lebih milih minum daripada buka-bukaan?" Tanya Miya mengejek.
"Haus."
"Haha, ayo Me mau lo kasih siapa tuh minuman." Ame mengisi gelas itu kembali, ia lalu meletakannya didepan Uncuk.
"Satu fakta Bang, tentang lo sama Dira."
Semua mata menatap Uncuk yang tampak santai, "Jawab aja lah Cuk dari pada minum, gak seru." Ucap Yozi.
"Gue pernah cium Dira."
"Bangsat."
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Waiji
Hayran KurguJudul awal => Kampung Waiji Sekarang => High School Waiji Jngn lupa voment and follow 😉