Rumah kosong pitaloka

134 21 8
                                    


Ame sibuk memilih camilan yang akan ia beli, dengan menenteng keranjang Alfamart gadis itu memasukkan camilan yang cocok untuk ia makan nanti kalau pas maraton nonton drakor :)

"Ini enak gak ya?" Tak pikir panjang, ia segera mengambil beberapa camilan dengan macam rasa berbeda. Lalu melangkah menuju kasir untuk membayar. Ame menyerahkan belanjanya dan mengeluarkan kartu berwarna hitam.

"Totalnya 345 ribu mbak." Ame lalu menyerahkan kartu atm miliknya.

"Maaf mbak, saldo tidak cukup." Ame melongo tak percaya, saldo tidak cukup gimana maksudnya.

"Mbak jangan sembarangan kalau ngomong, saya tuh orang kaya, malu lah orang kaya atm saldo tidak cukup." Semprot Ame pada Mbak-mbak kasir.

"Tapi emang gak ada saldonya Mbak, kartunya juga udah gak berfungsi loh ini." Mbak Kasir ternyata tak mau kalah. Ame menatap geram gadis dengan dandanan menor didepannya ini.

"Gini yah Mbak, Papa saya tuh sering transfer uang ke kartu saya jadi gak mungkin kalau saldo tidak cukup."

"Mbak gak percaya? Sini saya buktikan." Ame memejamkan matanya kala tulisan dialat itu mengatakan jika saldonya memang tak cukup.

"Tap__"

"Sekalian sama punya saya Mbak." Ame terdiam, ucapannya terpotong oleh seseorang yang suaranya familiar di telinga gadis itu. Ame menoleh, menatap Ajun yang hanya menatap ke depan. Merosot sudah harga diri Ame.

"Ini Mas terima kasih. Mbaknya beruntung, untung ada Masnya jadi security gak usah repot-repot tarik Mbak keluar." Ucap Mbak Kasir dengan nada mengejek, Ame mendengus pelan. Dalam hatinya terus mengumpat, sialan.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ame keluar dengan kaki menghentak kesal. Tangannya terangkat, ia melihat kartu atm miliknya yang ada ditelapak tangannya. Masih berpikir gimana bisa gak ada saldonya? Ah malukan orang kaya gak punya uang.

"Anjim malu gue sumpah." Ia menoleh, hampir terkejut melihat Ajun yang berdiri dengan jarak dekat dengannya.

"Jangan berharap gue bakal bilang makasih sama Kakak, dan kakak tenang aja nanti gue bakal ganti uang lo." Ucapnya sarkas. Ajun menatap Ame dengan alis terangkat.

"Gak usah, gue juga gak perlu ucapan makasih lo. Dan ya, gak perlu lo ganti." Setelahnya Ajun melangkah pergi.

"Ha sialan. Kenapa dulu gue suka sama dia? Ya sekarang juga masih suka sih."

***

"Arthur kamu bisa anter aku ke toko buku gak?" Gadis bertubuh pendek dengan kacamata yang setia bertengger di hidungnya itu menatap Arthur dengan berharap.

"Sekarang?"

"Iya sekarang, ayo.." Arthur berdiri dan mengambil jaket serta kunci motornya. Sedangkan Acha mengikuti Arthur dari belakang.

Motor Arthur melaju di ramainya jalan malam hari, pegangan di pinggang Arthur sedikit membuatnya tak nyaman.

Setelah sampai, Acha turun dan berjalan masuk ke toko buku. Arthur hanya menunggu diluar tak berniat masuk. Ia benci membaca :)

Dering ponselnya mengalihkan perhatiannya pada jalanan, ia dengan cepat mengambil ponselnya yang berada di saku jaketnya. Nomor dengan nama Crazy People  tertera disana.

Awalnya Arthur tak menjawab, namun  orang itu tak menyerah untuk terus menghubungi Arthur. Lama-kelamaan Arthur merasa ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu. Ia pun mengangkat panggilan itu.

Bukan suara gadis itu melainkan suara krusak krusuk yang tak jelas.

"Miya?"

"...."

"Heh?"

"Ar__ Arthur.." suara putus-putus yang membuat Arthur mengernyit.

"Apa?" Balasnya ragu.

"Tolongin gue.." samar namun Arthur dapat mendengarnya dengan jelas.

"Lo dimana?" Baik, kali ini Arthur sedikit khawatir. Hanya sedikit.

"Gang kecil sekola__ akh.."

"Miya? Halo Miya?" Dengan cepat Arthur memasukkan ponselnya kedala saku, mengendarai motornya dengan cepat menuju sekolah. Ia memang tak tau apa maksud dari Miya, namun perasaannya tak enak saat ini. Hatinya berbisik jika Miya sedang tak aman.

Jalan sempit yang lumayan gelap. Walau ragu, Arthur tetap melangkah. Dengan bantuan cahaya bulan, ia berjalan hingga kakinya menginjak sesuatu. Tangannya bergerak mengambil benda itu, ponsel milik Miya dengan keadaan pecah bagian layarnya seperti bekas diinjak oleh seseorang.

Arthur kembali melangkah lagi, telinganya mendengar suara seseorang melangkah kearahnya. Dan itu tepat di__

Bughh..

Arthur menahan nyeri di punggungnya, ia menoleh. Seorang dengan topeng serta pakaian hitam tengah berdiri didepannya dengan balok kayu.

"Siapa lo?" Tanyanya datar.

Tak ada jawaban, melainkan serangan yang dengan cepat Arthur lawan. Jangan salah, gini-gini Arthur juga jago bela diri you know.

Dengan gesit Arthur melawan seorang bertopeng itu, walau satunya pake balok kayu satunya lagi tangan kosong.

Bugh

Bugh

Brakk

Cukup mengerikan, pelipis Arthur sudah berdarah karena pukulan yang cukup keras dari orang sialan itu.

"Mana Miya?"

"Mati."

"Bangke, gue gak bercanda sialan."

Bugh

Arthur terus meninju wajah orang itu dengan membabi buta. Balok kayu yang awalnya ada ditangan orang bertopeng itu sudah terlempar jauh.

"Dimana Miya?" Tanya Arthur tajam.

"Rumah kosong Pitaloka."

Tak peduli dengan motornya yang ia parkir di depan gang, Arthur berlari masuk lebih dalam kearah gang sempit ini. Ia tau dan ingat tentang rumah kosong Pitaloka, rumah yang berada dipojok gang. Rumornya rumah itu angker, tapi untuk apa Miya kesana? Bego emang. Diujung gang, lampu remang-remang adalah tujuan Arthur. Dengan nafas yang tersengal-sengal, ia tetap berlari. Mencoba membuka pintu namun selalu gagal.

"Aaaaa.." teriakan nyaring yang Arthur yakini jika itu adalah Miya membuatnya semakin panik. Ia lalu berlari kearah belakang rumah itu. Mendobrak pintu belakang dan segera masuk. Tak ada pencahayaan disini, namun Arthur masih dapat melihat walau samar.

Gubrak..

Arthur menoleh kearah ruangan yang ada disampingnya, namun tak ada apapun disana. Ia tau ini hanya pengalihan, ia terus berjalan menuruti kata hatinya. Cielah kayak punya hati aja lu dugong.

"Aww.. arghhh.." teriakan itu lagi, Arthur semakin khawatir kan. Tangannya meraba tembok, siapa tau ada saklar lampu biar ni rumah terang. Gelap gini kan horor jadinya.

Klik..

Byarrr

Lampu menyala. Seketika tubuh Arthur kaku melihat orang yang ia cari ada didepannya dengan keadaan yang benar-benar ngeri dan miris.

"Miya.." Arthur segera membuka jaketnya, memakaikannya pada tubuh Miya yang setengah telanjang, dengan mata yang tertutup kain hitam.

"Miya.." nyatanya hanya itu yang mampu keluar dari bibir Arthur, ia terlalu syok melihat keadaan Miya saat ini. Wajah yang penuh luka lebam, dan sayatan terdapat dilengan kirinya.

"Pliss lo kuat.." Arthur menggendong tubuh Miya, membawa Miya keluar dari rumah sialan itu. Berlari pelan menyusuri gang sempit nan gelap. Kata-kata agar Miya tak menutup matanya terus Arthur ucapkan.

Kembali ke rumah kosong pitaloka.

Seorang gadis menatap geram pria yang baru saja keluar dari rumah ini dengan membawa korbannya.

"Arghh sialan, gue belum puas anjir."

"Bersyukur kita gak ketahuan Bil."

High School WaijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang