###
Bau tanah setelah hujan adalah kenikmatan tersendiri bagi mereka pecinta hujan. Aruna kini duduk di kursi belakang villa ditemani Dira dan minuman berkafein berwarna coklat muda. Ini masih pagi dan dua gadis itu memilih menunggu waktu dengan menikmati sejenak pemandangan desa yang indah ini.Ini momen langka, Aruna dan Dira jarang bersama, Dira yang memang supel sejak lahir, ia mampu dekat dengan siapa saja, berbeda dengan Aruna yang sok-sokan cuek sama orang. Padahal aslinya butuh temen.
"Lo ngerasa gak, kalau yang udah buat Miya jatuh kemarin itu Acha?" Tanya Aruna, matanya sibuk menatap dedaunan hijau didepannya.
"Tapi kenapa gue malah ngerasa kalau itu rencana Nabila ya.."
"Lo dendam apa gimana sih sama tuh anak?"
"Ya bukan apa-apa, secara tuh Acha kan__"
"Gue udah bilang kan Cla don't__"
"Don't judge a book by it's cover. Aruna pliss, hilangin rasa nethink lo dari Acha."
"Dan lo juga hilangin rasa nethink lo dari Nabila." Alasan mereka jarang kumpul berdua ya ini, gak ada yang mau ngalah :)
"Lo sahabatan apa sama Nabila?"
"Lah lo sendiri sahabatan apa sama Acha?"
"Hihh ayo gelut Na, gue pengen nyakar wajah glowing lo."
"Ayo, gue juga pengen nyobek mulut cabe lo."
"Eh sadar diri, situ juga mulutnya cabe."
"Enak aja, mulut gue suci ya asal anda tau."
"Alah suci, tapi bekas dua orang." Aruna melotot, ia lalu menjambak rambut Dira hingga kebelakang. "Apaan anjir dua orang?!"
"Itu si Bensu sama Jiun. Lo pikir gue gak tau ha?"
"Gak sengaja pe'a, lagian kalau bukan gara-gara Bu Aini, kejadian kissue itu gak bakal terjadi!!"
"Halah pake ngeles segala, tapi lo seneng kan dicium Ben?"
"Enggak, gue gak pernah bilang seneng.."
"Ah masak? Cius miapa?"
"Gue tabok ya lo.."
Tanpa mereka sadari, seseorang sedari tadi mendengar semua perkataan yang keluar dari mulut mereka. Ada rasa tak suka saat salah satu dari mereka dengan gamblang mengatakan jika Ben pernah mencium seorang gadis yang kini tengah tertawa bersama sepupunya.
"Gue gak tau, tapi hati gue sakit Kak."
***
"Eh bangun.." Arthur menggoyang-goyangkan tubuh Miya, gadis itu masih setia menutup matanya. Sejenak Arthur mengamati wajah gadis disampingnya ini, Miya memiliki hidung yang benar-benar mancung dan lancip, bibirnya yang tipis serta kelopak mata yang cantik. Tangan Arthur terangkat untuk mengusap wajah putih Miya, cukup lama Arthur memandangi wajah damai itu, tanpa sadar bibirnya terangkat membentuk cekungan.
"Enghh.." dengan cepat Arthur menarik tangannya. Ia lalu mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar.
"Udah pagi?"
"Masih sore.."
"Yaudah tidur lagi.."
"Udah pagi Miyabi!!" Arthur segera menarik lengan Miya agar gadis itu berdiri.
"Ayo balik ke villa."
Miya mengikuti Arthur dari belakang, langkahnya masih gontai, kan dia baru bangun.
"Aduh.." Arthur menoleh saat suara orang jatuh terdengar. Ia melihat Miya yang tersungkur dengan mata masih setengah terpejam.
"Makanya kalau jalan pake mata, haha.." mata Miya seketika buyar saat mendengar Arthur tertawa, "lo ketawa?" Sadar, Arthur segera mengubah mimik wajahnya.
*Ada yang tau kenapa Arthur ketawa?
"Ayo berdiri.."
"Gak bisa, kaki gue sakit, mau patah rasanya."
"Ck, ayo naik, gak usah di slowmo langsung naik aja.." Miya berdecih pelan, ia lalu naik kepunggung lebar Arthur.
Emang sih Arthur itu dingin, tapi aslinya enggak kok, emang kadang cowok ini kasar, tapi sekali perhatian auto melayang. Miya tersenyum, ia lalu mengeratkan pelukannya dileher pria itu.
"Lo mau nyekik gue?" Baik, Arthur mengacaukan semuanya.
Gak jadi romantis kan :')
***
Semua murid kini sudah lengkap, Miya kakinya terkilir, jadi gadis itu kini menatap lapangan dengan sendu, pasalnya ia tak bisa ikut jelajah. Padahal dia mau buat kenangan yang indah sama Arthur, kan nyesek jadinya kalau gak jadi :(
Miya dapat melihat semua murid mulai menghilang satu-satu dari pandangannya. Ia menghela nafas, lalu memilih tidur.
Key menatap sinis Acha yang kini diapit oleh dua pria tampan, dengan kesal Key berjalan mendahului tiga pemuda itu dengan sengaja menyenggol pundak Yozi.
"Hati-hati Key jalannya, nanti jatuh." Tegur Yozi pada gadis itu, namun bukan Key namanya kalau jawab sopan. Gadis itu malah menunjukkan jari tengahnya pada tiga orang dibelakangnya.
"Tuh anak emang ya, pantes diputusin Cio." Hujat Dobby, Key dengan cepat menoleh dan menjambak rambut pria itu.
"Gak usah bawa-bawa tuh anak kurcaci ya, urusin aja tuh selir lo." Dengan kesal Key berjalan mendahului mereka. Ia bahkan tidak peduli lagi dengan kakinya yang masih sedikit sakit karena terjatuh tadi malam. Kepalanya juga terasa sedikit pening, hanya saja ia tetap kekeuh ingin ikut untuk mengawasi Cio dari jauh ;)
Berbeda dengan grup sebelah, grup yang satu ini malah cukup akur. Saling membantu dan tidak tebar sensasi macam grup ono tuh.
"Bang, nanti soalnya yang jawab Abang aja ya, gue kan masih kelas sepuluh." Ucap Qiana pada Lucas yang berjalan disampingnya.
"Ya terus urusannya sama gue apa? Gue kelas duabelas kalau lo nanya."
"Sabar ya allah, bukan gitu Bang, maksud Qiana yang imut ini, Abang kan yang paling tua nih, jadi nanti Abang yang ngerjain soalnya."
"Lah, gunanya kita dijadiin grup apa? Buat ngerjain semuanya bareng kan? Gak adil banget kalau gue yang ngerjain sendiri."
"Ya Abang kan pengalamannya lebih banyak gitukan, jadi ya Bang Lucas nanti yang ngerjain seperlapan soalnya."
"Gue lempar ya lo lama-lama, ini jurang loh dibawah."
Mon maap, tolong diralat, grup ini juga banyak tebar sensasi :)
***
"Dir, bulan lahir lo berapa, sama tanggal lahir lo..?" Dira heran dengan pertanyaan Jerry yang tiba-tiba, namun ia tetap menjawab.
"Tanggal 12 bulan 12.."
"Wahh sama ya kayak Ibu.."
"Ibu siapa?"
"Ibu dari anak-anak kita nanti.."
Mau dosa takut ketawa..
"Bwahahahanjirr.."
"Baper kan lo Dir?"
"Barium Silikon.."
"Apaan tuh?"
"BASI!!"
Titttt, telah berpulang ke Rahmatullah :)
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Waiji
FanfictionJudul awal => Kampung Waiji Sekarang => High School Waiji Jngn lupa voment and follow 😉